Selasa, 08 November 2011

Konsep Penempatan Pegawai Bukan Pada Tempatnya (Aktualisasi Prinsip The Right Man On The Right Place/Job)

 Konsep Penempatan Pegawai Bukan Pada Tempatnya (Aktualisasi Prinsip The Right Man On The Right Place/Job)
Oleh : Muh. Firyal Akbar A

A. Deskripsi Konsep Penempatan Pegawai (The Right On The Right Place/Job)
Pengakatan PNS dalam jabatan tentunya berdasarkan kompetensi yang dimiliki dengan filosofi "The Right Man on The Right Place/Job" yaitu mendudukan PNS yang tepat pada tempatnya atau jabatan yang tepat pula. Penataan organisasi dalam lingkup Pemprov maupun Pemerintah Kabupaten/Kota, termasuk penempatan PNS dalam jabatan struktural pada esensinya merupakan bagian integral dari upaya reformasi birokrasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mewujudkan ‘good govermance' dan ‘clean government' di suatu pemerintahan, yang bertumpu pada reformasi organisasi, sumber daya manusia dan manajemen birokrasi.
Dilihat aspek reformasi organisasi, filosofinya adalah semua jenjang dan strata organisasi pemerintah secara fundamental adalah berfungsi sebagai instrumen pelayanan publik. Dengan demikian, struktur organisasi dan ketatlaksanaannya harus didesain secara tepat agar mampu merespons dan adaptif terhadap tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Dalam konteks tersebut, maka desain organisasi dengan prinsip "ramping struktur kaya fungsi" menjadi pilihan atau alternatif saat ini, yang dianggap tepat dengan mengimplementasikan konsep penyederhanaan atau pengurangan struktur organisasi.
Dibalik penataan birokrasi di jajaran Pemerintahan daerah, tentunya harus dipahami juga seseorang pejabat akan bekerja secara berdayaguna dan berhasil guna apabila mengetahui dengan jelas posisinya dalam suatu organisasi kerja. Kejelasan itu sangat penting artinya bagi setiap pejabat karena memungkinkan mengetahui peranan dan sumbangan pekerjaan terhadap pencapaian tujuan kerja secara keseluruhannya. Seorang pejabat harus ditempatkan dengan posisi dan peranannya yang lebih jelas di dalam organisasi kerja.
Dalam penempatan pejabat juga masih perlu diperhatikan persyaratan kesesuaian antara minat, bakat, pengetahuan, ketrampilan dan keahlian pegawai dengan jenis dan tingkat pekerjaan/jabatan yang dipercayakan kepadanya. Dengan kata lain penempatan harus berpegang kepada prinsip "The Right Man on The Right Place and The Right Man on The Right Job" yang artinya penempatan orang-orang yang tepat pada tempat dan untuk jabatan yang tepat. Dengan melakukan penempatan pejabat yang sesuai dengan prinsip tersebut di atas diharapkan akan meningkatkan kinerja pegawai sehingga tujuan organisasi dapat tercapai.
Dalam fungsi manajemen bahwa penempatan karyawan (pegawai) disebut dengan staffing. Teori Manajemen Sumber Daya Manusia modern menekankan bahwa penempatan tidak hanya berlaku bagi para pegawai baru akan tetapi berlaku pula bagi pegawai lama yang mengalami alih tugas dan mutasi. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Siagian bahwa konsep penempatan mencakup promosi, transfer, dan bahkan demosi sekalipun. Sebagaimana halnya dengan pegawai baru, pegawai lamapun perlu direkrut secara internal, perlu dipilih dan biasanya juga menjalani program pengenalan sebelum mereka  ditempatkan pada posisi baru dan melakukanpekerjaan baru pula. Menurut Saydam bahwa :
“Penempatan pegawai merupakan mengisi lowongan pekerjaan yang tersedia dalam organisasi, agar orang yang ditempatkan itu tidak terombang-ambing lagi dalam menunggu tempat dan apa yang akan dikerjakan serta menempatkan orang yang tepat pada posisi  dantempat yang tepat, agar organisasi dapat bertindak efisien dengan memanfaatkan sumber daya manusia yang berhasil direkrut”.
Lebih lanjut Thoha menjelaskan bahwa : penempatan pegawai yaang telah diterima dapat dibedakan atas penggunaan atau pengangkatan dalam jabatan, perbantuan,  dipekerjakan kembali dan pejabat negara.Menempatkan pegawai yang tepat pada jabatan  atau posisi yang tepat (the right man on the right place) belakangan ini banyak menjadi   isu sentral dalam manajemen sumber daya manusia. Terdapat adanya korelasi positifantara  penempatan pegawai dengan peningkatan produktifitas kerja. Di samping itu, menempatkan pegawai secara tepat dan benar pada dasarnya sebagai upaya untuk memotivasi pegawai memeperoleh kepuasan dalam pekerjaannya. Siswanto menyatakan bahwa :
“Penempatan tenaga kerja adalah suatu proses pemberian tugas dan pekerjaan kepada tenaga kerja yang lulus dalam seleksi untuk dilaksanakan secara kontinuitas dengan wewenang dan tanggung jawab sebesar porsi dan komposisi yang ditetapkan serta mampu
 mempertanggungjawabkan segala risiko dan kemungkinan yangterjadi atas fungsi dan  pekerjaan, wewenang dan tanggung jawab tersebut.
Penempatan pegawai pada suatu jabatan tertentu, dapat merupakan promosi bagi pegawai yang bersangkutan apabila jabatan yang dipangku saat ini memiliki grade, tanggung jawab dan wewenang yang lebih besar dibandingkan dengan jabatan sebelumnya. Sebaliknya dapat merupakan demosi bila jabatan yang dipangku saat ini memiliki grade, tanggung jawab dan wewenang yang lebih kecil dibandingkan dengan jabatan sebelumnya. Penempatan pegawai selain merupakan kewenangan atasan atau pimpinan sepenuhnya untuk mengisi jabatan yang kosong, melainkan juga mengandung unsur promosi atau demosi. Transfer, di samping merupakan kewenangan pimpinan, dapat pula atas permintaan pegawai untuk dipindah ke suatu tempat yang lowong. Pada prinsipnya, tranfer tidak mengadung unsur promosi maupun demosi serta tidak diikuti oleh perubahan gaji dan tingkat jabatan (grade).
Penempatan pegawai yang tepat dan benar pada dasarnya sebagai upaya untuk memotivasi pegawai, baik dengan uang, kebutuhan untuk berafiliasi, kebutuhan untuk berprestasi dan ingin memberikan sesuatu yang berarti di dalam pekerjaannya. Jadi jika penempatan pegawai pada jenjang jabatan secara benar, dampaknya akan memberikan motivasi kepada pegawai lainnya serta memberikan penilaian positif terhadap sistem yang
diterapkan oleh instansi. Metode yang terbaik untuk memotivasi pegawai adalah memberikan penekanan pada kebutuhan sosialnya, oleh karenanya menjadi tanggung jawab pimpinan untuk menjadikan pegawai lebih berguna dan merasa dipentingkan dalam suatu jabatan, dengan cara memberikan fasilitas yang memuaskan kebutuhan sosialnya melalui penempatan yang tepat dan benar. Hal yang harus menjadi perhatian Pemerintah Daerah adalah bahwa para pegawai mulai menekankan bahwa pekerjaan perlu diintegrasikan secara efektif dengan kebutuhan manusia untuk pertumbuhan pribadi, harapan keluarga, dan persyaratan etika masyarakat. Jadi karier merupakan serangkaian pengalaman kerja yang sungguh-sungguh berurutan menuju ketingkat tanggungjawab, status, kekuasaan, dan penghargaan yang lebih besar.
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor. 13 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural menyatakan Baperjakat Instansi Pusat, dan Baperjakat Instansi Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota mempunyai tugas memberikan pertimbangan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian dalam pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural eselon II ke bawah; pemberian kenaikan  pangkat bagi yang menduduki jabatan struktural, menunjukkan prestasi kerja luar biasa baiknya, atau menemukan penemuan baru yang bermanfaat bagi negara; perpanjangan batas usia pensiun bagi PNS yang menduduki jabatan struktural eselon I dan eselon II; dan pengangkatan sekretaris daerah propinsi/kabupaten/kota. Pengangkatan pegawai negeri sipil dalam jabatan struktural dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor pendidikan dan pelatihan jabatan, kompetensi, serta masa jabatan seorang PNS sejak pengangkatan pertama dalam jabatan tertentu sampai dengan pensiun.

B.   Implementasi Konsep The Right Man On The Right Place/Job
Megenai implementasi konsep penempatan pegawai dengan prinsip The Right Man On The Right/Job, khususnya untuk konteks Indonesia hingga saat ini,  masih jauh dari harapan. Asumsi ini kemudian muncul dengan berbagai fakta bahwa hampir di sebagian pemerintah daerah hingga hari ini baik itu pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota belum menempatkan pegawai-pegawainya dalam posisi-posisi ideal atau pada jenis pekerjaan yang sesuai dengan tingkat keahlian, pendidikan dan kompetensi yang dimilikinya. Yang terjadi ialah mereka yang ditempatkan yang bukan pada kriteria-kriteria yang telah ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai masalah pengangkatan pegawai pada suatu posisi atau jabatan.
Beberapa contoh kasus yang menjadi indikator bahwa konsep The Right Man On The Right Place/Job belum diterapkan dengan maksimal, khususnya di Indonesia ialah sebagai berikut :
-      Di lingkup pemerintahan Kabupaten Mamuju Utara Provinsi Sulawesi Barat, di temukan fakta bahwa dari 13 kecamatan yang ada, 10 camat berlatarbelakang pendidikan sarjana pendidikan yang mana profesi sebelum menjadi camat ialah sebagai kepala sekolah dan guru.
-      Masih di Pemerintahan Kabupaten Mamuju Utara ditemukan fakta bahwa Kepala Badan Kepegawaian Daerah dijabat oleh seorang pejabat yang berkualifikasi sarjana pendidikan yang sebelumnya berprofesi sebagai seorang guru.
-      Di lingkup pemerintahan Kabupaten Kolaka Utara ditemukan fakta bahwa Kepala Dinas kesehatan dijabat oleh seorang Sarjana Agama dan Kepala Dinas Perhubungan dijabat oleh seorang sarjana pendidikan.
-      Di lingkup Pemerintah Daerah Kabupaten Majene ditemukan juga bahwa kepala dinas pendidikan adalah seorang sarjana ekonomi, dan sekretaris Bappeda adalah seorang dokter.
-      Mr.x , seorang calon pegawai negeri sipil (CPNS) berjenis kelamin laki-laki, berasal dari salah satu kota di Jawa, dan berpendidikan diploma akuntansi, setahun yang lalu ditempatkan di BPS Provinsi Maluku Utara– tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Setelah 3 hari menghilang, diketahui kalau Mr. X sudah berada di rumah orang tuanya di kota asalnya. Orang tuanya mengatakan kalau Mr. X mengalami depresi dan harus konsultasi ke psikolog.
-      Kasus yang sama terjadi sebelumnya, dimana seorang CPNS lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) berjenis kelamin perempuan, meninggalkan wilayah tugasnya di kantor salah satu BPS Kabupaten, dan diketahui kembali ke kota asalnya di Jawa. Kondisinya sama yakni depresi. 
Untuk  dua contoh kasus terakhir dapat terlihat bahwa Kasus ini memunculkan beberapa pertanyaa,  seberapa siapkah CPNS ditempatkan di suatu wilayah? Apa yang menyebabkan mereka depresi? Sistem seperti apa yang tepat diterapkan dalam penempatan CPNS di suatu wilayah? Kebijakan penempatan CPNS oleh BPS sebenarnya sudah tepat. Lulusan STIS ditempatkan di BPS Kabupaten/Kota dengan harapan dapat menyebar luaskan serta mengembangkan statistik disana. Hal ini didasarkan kepada pertimbangan bahwa di era otonomi, peran BPS Kabupaten/Kota menjadi sangat penting. Sementara, CPNS yang berlatar belakang ilmu khusus (akuntansi, ekonomi, dll) pada umumnya ditempatkan di BPS Provinsi untuk mendukung kegiatan teknis. Dasar pertimbangan ini benar secara konseptual, tapi harus melalui suatu proses yang optimal serta beberapa faktor pendukung. Menilik kasus X, proses rekrutmen sebenarnya sudah menggaransi kesiapan penempatan tugas. Melalui penyaringan administratif, tes akademi, tes kesehatan termasuk di dalamnya tes psikologis, seorang CPNS juga dimintakan kesiapannya untuk ditempatkan dimana saja. Penyaringan administratif, tes akademi dan tes kesehatan (fisik) mungkin tidak terkait dengan depresi seseorang, persoalannya dapat dimungkinkan oleh lemahnya tes psikologis yang dilakukan. Seyogyanya, tes psikologis mampu menjamin bahwa seorang CPNS benar-benar siap ditempatkan dimana saja di suatu wilayah tugas, tidak hanya dinyatakan dalam satu lembar pernyataan kesiapan. Yang terakhir ini tidak lebih dari suatu pembelaan lembaga pemerintah kalamana seorang menolak pada saat ditempatkan. Tapi, kesiapan disini harus juga menyangkut kesiapan mental seseorang kalamana ditempatkan di suatu wilayah tugas.
Permasalahan yang muncul kemudian mengenai penerapan konsep The Right Man On The Right Place/Job ialah dilema yang terjadi dalam pemerintahan daerah itu sendiri. Dilema yang dimaksud ialah bahwa konsep The Right Man On the Right Place/Job merupakan suatu konsep ideal yang akan efektif jika diterapkan dengan baik oleh suatu organisasi ataupun pemerintahan. Konsep yang diajukan oleh beberapa pakar ini khususnya oleh Max Webber ini kemudian menjadi suatu penemuan yang eksis hingga saat ini. Hal yang perlu diingat ialah bahwa konsep ini lebih ditujukan bagi negara-negara dunia pertama yang telah memiliki tingkat kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi sehingga mungkin konsep ini mungkin mudah untuk diterapkan di beberapa Negara yang sudah maju semacam Amerika, Inggris dan negara maju lainnya, namun untuk konteks Indonesia mungkin masih sangat sulit dengan kondisi Negara kita yang baru berkembang untuk bersaing dengan Negara-negara maju. Lepas dari asumsi itu semestinya kita tidak terjebak dalam dilema konsep ini, bagaimanapun juga sebagai negara yang ingin mewujudkan pemerintahan yang baik maka konsep ini semestinya bisa digunakan di Negara kita.
Sebagai Negara yang memperjuangkan semangat reformasi birokrasi, hal yang perlu dilakukan ialah aktualisasi konsep penempatan pegawai pada tempatnya dalam mewujudkan pemerintahan yang efektif. Pemerintah sendiri bukannya tidak menghendaki konsep The Right Man On The Right Place/Job lahir di birokrasi kita, hal ini digambarkan dengan aturan tentang kepegawaian tentang pengangkatan pegawai yang menjelaskan bahwa seorang pegawai yang diangkat atau ditempatkan pada posisinya jika memiliki kompetensi, tingkat pendidikan dan  keahlian yang dimiliki sehingga mampu untuk menempati suatu jabatan atau posisi dalam pemerintahan.
Dari pengamatan kami ada beberapa hal yang kemudian sulit untuk mewujudkan konsep The Right Man On The Right Place/job di Negeri ini, misalnya bahwa pengaruh poiltisasi sangat menghegemoni dalam penempatan pegawai di beberapa pemerintahan yang ada di daerah. Hal ini kemudian terjadi dikarenakan para PNS baik secara langsung maupun tidak dalam tanda kutip dipaksa untuk berpolitik praktis dengan asumsi jika mereka tidak melakukan itu maka bisa saja posisi mereka terancam dalam pemerintahan. Padahal seperti yang diketahui bahwa PNS sangat tidak diperkenankan untuk terlibat dalam masalah politik pemerintahan khususnya pemilihan kepala daerah. Hal yang menakutkan bagi mereka ketika calon kepala daerah yang akan maju adalah incumbent maka menjadi suatu yang mengharuskan mereka untuk setidaknya mendukung incumbent dengan asumsi posisi mereka akan aman jika incumbent akan menang. Namun yang menjadi musibah atau berkah ketika setelah pemilihan, bagi mereka tidak mendukung tentunya akan mendapatkan posisi yang aman bahkan kenaikan posisi jabatan yang lebih tinggi, namun bagi mereka yang tidak mendukung siap-siap saja untuk dimutasi ke wilayah-wilayah terpencil dan dinonjobkan. Hal inilah kemudian menjadi ironi di Negara kita saat ini, atau dapat dikatakan bahwa salah satu dampak yang buruk dari pemilihan kepala daerah ialah bagaimana sistem penempatan pegawai yang sangat dipolitisasi.
Dari gambaran ini sebenarnya muncul suatu fenomena bahwa pada dasarnya secara sadar atau tidak bentuk penempatan pegawai secara politik atau dari imbalan politik adalah suatu sistem baru yang buruk yang berdampak sistemik terhadap kinerja pegawai-pegawai yang impactnya kembali pada daerah itu sendiri. Betapa tidak mereka yang diangkat atau ditempatkan pada posisi-posisi dengan cara politisasi sudah tidak melewati proses atau kriteria-kriteria yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang sebenarnya dalam hukum sudah terjadi pelanggaran yang bisa untuk ditindaklajuti pula secara hukum. Namun yang terjadi ialah fenomena ini sudah menjadi budaya baru di pemerintahan kita khususnya di pemerintah-pemerintah daerah. Padahal sebenarnya PNS atau pegawai yang bersangkutan mungkin saja tidak ingin melakukan atau katakanlah memilih salah satu pasangan calon secara terpaksa namun karena budaya ini telah menjadi teror dan pressur yang luar biasa maka kenetralitasan pegawai hilang dengan sendirinya. Olehnya itu konsep netralitas birokrasi sebagai komponen dari semangat reformasi birokrasi di Negara ini dapat dikatakan gagal dalam hal penempatan pegawai.
Hal lain yang menjadi kendala dalam penempatan pegawai dengan prinsip The right Man On The Right Place/Job di Negara ini ialah pembentukan daerah baru dalam skop Pemerintah provinsi dan Kabupaten/Kota menjadi salah satu faktor, hal ini digambarkan jika daerah baru tersebut berubah status dari misalnya kecamatan menjadi suatu kabupaten tentunya membutuhkan beberapa sumber daya dalam rangka proses jalannya pemerintahan. Nah hal yang biasanya terjadi dalam kondisi ini ialah bagaimana pemerintah daerah yang baru ini melakukan sistem penempatan pegawai pada posisi-posisi sentral katakanlah untuk posisi kepala bidang, kepala bagian, maupun kepala seksi dari mereka yang tidak memiliki keahlian dan kompetensi dalam bidang itu. Kenyataanya hal ini dikarenakan sumber daya manusia yang diprioritaskan untuk mengisi posisi-posisi tersebut belum ada. Adapun mereka yang kemudian mengisi posisi itu ialah para tenaga pengajar ataupun kepala sekolah atau pegawai yang sudah memiliki golongan minimal III A. Hal ini kemudian menjadi suatu fakta bahwa daerah baru cenderung tidak menempatkan pegawai yang memiliki keahlian dengan posisi kerjanya. Namun kejadian seperti itu bukanlah menimbulkan suatu permasalahan pelik, kita tidak mungkin kembali untuk meributkan daerah yang sudah berubah status tersebut dari kecamatan menjadi kabupaten dengan alasan ketidaksiapan sumber daya aparatur, nah hal yang perlu diperhatikan ialah bagaimana kondisi semacam ini bisa diantisipasi sebelumnya yakni dengan lebih mengetatkan regulasi dalam pembentukan suatu daerah baru untuk lebih siap dalam penyediaan sumber daya aparatur yang memiliki kompetensi dan kualitas. Tentunya masalah ini adalah domain pemerintah untuk mengurus masalah tersebut.
Hal yang menjadi masalah kemudian dalam pelaksanaan penempatan pegawai dengan prinsip The right Man On The Right Place/Job di pemerintahan kita ialah bagaimana ketersediaan dari para aparatur atau pegawai itu sendiri. Harus kita sadari bahwa masalah kurang kompetitifnya sumber daya manusia kita menjadi masalah klasik yang menyebabkan reformasi birokrasi hingga saat ini masih kurang maksimal.
Selain budaya korupsi yang lagi ngetrend di Negara kita saat ini kapasitas dan kualitas pegawai-pegawai kita yang ada saat ini masih kurang baik dalam hal pemberian pelayanan publik. Masalah-masalah ataupun keluhan-keluhan masyarakat khususunya bagi mereka yang terlibat dalam interaksi dengan pegawai-pegawai negara dalam bidang pelayanan menjadi salah satu bukti bahwa mental pegawai kita masih kurang baik. Satu hal yang kemudian menjadi penyebab rendahnya mental pegawai dan ketidakmampuan untuk menjalankan tugas dengan baik ialah sistem rekruitmen pegawai yang tidak transparan dan sarat akan kolusi dan nepotisme, masalah ini kemudian hampir terjadi di beberapa daerah dan hampir disetiap penerimaan pegawai yang menjadi budaya buruk bangsa kita. Impactnya? Ya tentu saja terhadap kinerja pemerintahan itu sendiri, di mana mereka yang terpilih untuk menjadi pegawai Negara dengan hasil nepotisme dipastikan tidak memiliki kemampuan untuk menjalankan suatu tugas-tugas teknis pemerintahan.

C.   Beberapa Hal Dalam Mewujudkan Konsep The right Man On The right place/Job
Dengan melihat deskripsi mengenai masalah-masalah yang ada dalam penempatan pegawai dengan prinsip The right Man On The Right place/Job maka kami mencoba untuk menampilkan beberapa hal yang kemudian dapat menjadi bahan rekomendasi dalam melaksanakan konsep tersebut.
Jika merujuk pada konsep Webber, Taylor dan Smith tentang spesialisasi pekerjaan maka seharusanya para pegawai dalam suatu organisasi khususnya organisasi pemerintah hendaknya ditempatkan pada posisi jabatan sesuai dengan tingkat keahlian yang  dimilikinya. Keahlian yang dimaksud adalah kemampuan para pegawai atau pekerja dalam melaksanakan tugasnya sesuai denga tempat tugas mereka sehingga apa yang menjadi tujuan organisasi yakni efektivitas program-program dapat tercapai.
Sedangkan Jewell berpendapat bahwa dalam pengambilan keputusan penempatan pegawai, ada empat strategi dasar alternatif yang dapat diakui yaitu :
1. Tempatkan individu yang mampu dalam pekerjaan yang mempunyai prioritas tertinggi.
2. Tempatkan individu dalam pekerjaan yang menunjukkan probabilitas keberhasilannya paling tinggi.
3. Tempatkan individu dalam pekerjaan yang diharapkan dapat mengembangkan kemampuannya.
4. Tempatkan individu dalam pekerjaan yang disukainya diantara pilihan yang dinilai paling cocok.
Pendapat Jewel di atas dilaksanakan setelah pemerintah mendapatkan pegawai yang selektif dan memiliki kualitas dan kredibilitas yang tinggi.
Hal lain yang dapat dilakukan pemerintah maupun pemerintah daerah ialah :
1.    Sistem rekruitmen pegawai yang harus lebih selektif dengan mengedepankan kompetisi tanpa nepotisme atau hal-hal lain yang di luar dari aturan yang ada.
2.    Mereka yang kemudian terpilih ialah mereka yang memiliki tingkat pendidikan dan keahlian yang kompetitif dan memiliki mental bekerja yang baik.
3.    Membuat aturan yang lebih jelas dan akurat mengenai penempatan, promosi dan mutasi pegawai tanpa campur tangan politik
4.    Pengawasan yang ketat dalam pendidikan pelatihan seperti prajabatan dan Diklat-diklat tertentu sehingga pegawai lulus secara  objektif.
5.    Mendorong pemerintah daerah untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sifatnya menambah pengetahuan para pegawai akan tugas pokok dan fungsinya sebagai pegawai negeri.
6.    Pemberian reward and punismant kepada mereka yang memiliki kinerja yang baik diberikan penghargaan dan pemberian sanksi berupa pemindahan (mutasi) jika tidak bekerja dengan baik dengan penilaian objektif.