PEMILIHAN PIMPINAN KEPALA DAERAH DI ERA
OTONOMI DAERAH
(STUDI KASUS PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI
KABUPATEN MAMUJU UTARA)
Oleh Muh.
Firyal Akbar A
Pengantar
Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) UUD
1945 menyebutkan secara rinci penyelenggaraan otonomi daerah yaitu:
pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dan memiliki
Dewan Perwakilan Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
Pasal 18 ayat (4) manyebutkan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota
dipilih secara demokratis. Negara Republik Indonesia, menyelenggaraan
Pemerintahan Daerah menggunakan asas desentralisasi dan tugas pembantuan,
kedudukan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah memegang peran penting dalam
menentukan suatu keputusan publik. Metode pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode penelitian yuridis. Pemilihan Kepala daerah dan
Wakil kepala daerah merupakan salah satu fenomena yang terjadi di pemerintahan
daerah kita hingga saat ini, di mana pemilihan kepala daerah sudah ada sejak
era orde lama dengan penunjukkan langsung, hingga memasuki era orde baru dengan
sistem sentralistik dan kemudian hari ini kita menjadi sebagian pelaku sejarah
akan demokrasi yang berkembang di negara ini, di mana pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah dilaksanakan secara terbuka, yakni dipilih oleh warga
masyarakat secara langsung. Implementasi dari pemilihan kepala daerah pada
dasarnya dapat memenuhi ekspektasi pemerintahan khususnya warga masyarakat itu
sendiri, dengan asumsi dengan pemilihan langsung warga masyarakat dapat memilih
pemimpin yang dianggap memiliki kapabilitas dan kompetensi yang baik dalam
memimpin daerahanya, namun yang terjadi ialah harapan itu nampaknya sulit untuk
terwujud dikarenakan beberapa hal. Oleh karena hal itu dalam tulisan ini akan
diberikan gambaran mengenai implementasi pemeilihan kepala daerah secara
langsung dengan segala permasalahannya,
dengan mengambil satu contoh kasus pemilihan kepala daerah di Kabupaten Mamuju
Utara.
A.
Konsep
Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung
Dalam
isi UU No 32 2004, bagian kedelapan paragraf kesatu pasal 56 dijelaskan bahwa
Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang
dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas,
rahasia,jujur dan adil. Selanjutnya dijelaskan bahwa pasangan calon yakni
kepala daerah dan Wakil kepala daerah diusulkan oleh partai politik dan
gabungan partai politik. Adapun perubahan dalam UU No12 tahun 2008 ditambahkan
mengenai pasangancalon yang berasal dari jalur perseorangan yang didukung oleh
sejumlah orang yang memenuhi persyaratan sebagaimana dalam ketentuan
Undang-undang terkait.
Selanjutnya juga dalam isi UU No 32 tahun
2004 dijelaskan mengenai syarat untuk seorang calon kepala dan Wakil Kepala
daerah dalam mengikuti pemilihan kepala daerah, di mana calon Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi
syarat:
a. bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia
kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik
lndonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, dan kepada Negara
Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah;
c.
berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau sederajat;
d. berusia
sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
e. sehat
jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim
dokter;
f. tidak
pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih;
g. tidak
sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;h. mengenal daerahnya dan dikenal oleh
masyarakat di daerahnya;
i.
menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;
j. tidak
sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan
hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan negara.
k. tidak
sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap;
l. tidak
pernah melakukan perbuatan tercela;
m. memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai
bukti pembayaran pajak;
n.
menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat
pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri;
o. belum
pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 (dua)
kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; dan
p. tidak
dalam status sebagai penjabat kepala daerah.
B.
Deskripsi
Tentang Implementasi Pemilihan Kepala Daerah Di Indonesia
Diterapkannya pilkada merupakan
event demokrasi yang bermakna dalam sejarah politik Indonesia. Untuk pertama
kali kontestasi kepala daerah dengan pemilihan langsung oleh rakyat diterapkan
setelah lebih separuh abad republik ini menyatakan kemerdekaan-nya. Ini juga
bersifat koheren dengan penyelenggaraan pemilihan presiden/wakil presiden
secara langsung (Pasal 6 A UUD 1945). Dalam konteks konsolidasi dan penguatan
demokrasi, pilkada bisa jadi merupakan pilar yang bersifat memperkukuh bangunan
demokrasi secara nasional. Sebagaimana dinyatakan oleh Tip O’ Neill, “all
politics is local”,1 yang berarti demokrasi akan berkembang subur dan terbangun
kuat di aras nasional apabila dalam tingkatan yang lebih rendah (lokal)
nilai-nilai demokrasi berakar kuat. Pilkada mewujudkan makna tersebut. Dengan
pemahaman seperti itu, penyelenggaraan pilkadal dapat memberikan dampak positif
terhadap penguatan demokrasi di Indonesia.
Pertama,
partisipasi politik. Dalam pilkadal, rakyat terlibat langsung untuk menentukan
siapa layak (memiliki kredibilitas dan kapabilitas memperjuangkan aspirasi dan
memenuhi kepentingan rakyat) menjadi “pelayan” (pejabat publik) mereka. Melalui
proses semacam itu, dapat tumbuh kesadaran bahwa merekalah (rakyat) pemegang
kedaulatan politik yang sebenarnya. Termasuk dalam kesadaran ini adalah
kehati-hatian dalam menentukan pilihan, sebab kesalahan memilih dapat membawa
akibat buruk terhadap kehidupan mereka. Kedua,
kompetisi politik. Pilkada membuka ruang untuk kompetisi yang fair dan adil
antara kontestan yang bersaing. Diharapkan tidak ada lagi suatu kontestan dari
partai politik tertentu mendominasi secara terus menerus proses yang
berlangsung dan menutup ruang bagi kelompok lainnya untuk turut berkompetisi
secara fair. Ketiga, legitimasi
politik. Berbeda dengan cara pilkada tidak langsung seperti yang diterapkan
sebelumnya, yakni melalui institusi DPRD, pilkada akan memberikan legitimasi
yang kuat kepada kepemimpinan daerah terpilih. Dalam mekanisme pemilihan
langsung ini, kepemimpinan yang terwujud akan merefleksikan konfigurasi
kekuatan politik dan kepentingan konstituen pemilih (rakyat). Sehingga dapat
dipastikan bahwa kandidat yang terpilih secara demokratis mendapat dukungan
dari bagian besar dari masyarakat pemilih. Pemilihan kepala daerah secara tidak
langsung oleh DPRD bersifat elitis yang kerap kali menelikung aspirasi rakyat. Keempat, minimalisasi manipulasi dan
kecurangan. Salah satu unsur yang mendorong penyelenggaraan pilkadal adalah
maraknya berbagai kasus money politics dan bentuk kecurangan lainnya dalam praktek
pemilihan kepala daerah yang selama ini terjadi. Intervensi pemerintah memang
dapat diminimalisasi dalam pilkada selama hampir 4 tahun otonomi daerah
dilangsungkan. Namun bandul permasalahan kini malah berayun ke tubuh lembaga
perwakilan daerah yang diberi kewenangan memilih kepala daerah. Politik uang
(money politics) terjadi hampir secara merata ke seluruh daerah. Kelima, accountability. Dalam pemilihan
langsung oleh rakyat, accountability kepala daerah menjadi sangat penting.
Sebab, apabila rakyat sebagai pemilih menilai bahwa kepala daerah yang terpilih
ternyata tidak dapat menjalankan tugas-tugasnya secara baik dan bertanggung
jawab, rakyat akan memberikan sanksi dalam pilkadal berikutnya dengan tidak
memilihnya kembali.
Berdasarkan pada pengaturan politis
yang tercermin dari UU 32/2004, beberapa aspek perlu dikritisi bersama.
Pertama, berkaitan dengan pencalonan. Sejumlah ketentuan mengatur tentang hal
ini. Pasal 59 ayat 1 menyebutkan: “Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh
partai politik atau gabungan partai politik”. Dalam Pasal 59 (2) dinyatakan
bahwa yang dapat mendaftarkan pasangan calon adalah parpol atau gabungan parpol
yang memiliki minimal 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15%
dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu DPRD. Keberadaan calon
perseorangan dinyatakan dalam pasal 59 (3), bahwa “Partai politik atau gabungan
partai politik wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon
perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan
selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis
dan transparan.” Ketentuan-ketentuan ini nampak kurang memihak pada prinsip
partisipasi dan kompetisi politik. Sebaliknya, kepentingan-kepentingan partai
politik, terutama partai-partai besar, kelihatan menonjol. Ayat 1 di atas,
misalnya, menegaskan sebenarnya bahwa hanya melalui partai politik pasangan
calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat dinominasi atau menominasikan
diri untuk pilkadal ini. Ketentuan semacam ini membatasi partisipasi publik,
dan sebaliknya mengutamakan partai politik. Apalagi jika dikaitkan dengan
ketentuan berikutnya pada ayat 2, hanya partai-partai besar dapat berpartisipasi
dalam proses pemilihan ini. Lebih dari itu, ayat 3 tidak memberikan jaminan
bahwa mekanisme seleksi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh partai
politik akan dilangsungkan secara demokratis dan transparan. Sebab ketentuan
ini amat longgar, karena tidak memberikan batasan yang jelas tentang kedua
mekanisme tersebut dan sanksi yang tegas jika kewajiban ini tidak dilaksanakan.
Dengan ketentuan seperti ini, kompetisi menjadi terbatas dan tertutup yang
hasilnya bisa jadi merupakan transaksi politik “bawah tangan.” Calon-calon yang
berkualitas, kompeten dan kapable, serta bersih dalam proses pilkada mungkin
sekali akan sulit diperoleh.
Kedua, soal penyelenggara pilkada.
Dalam pasal 57 ayat 1 ditegaskan bahwa pilkadal diselenggarakan oleh KPUD yang
bertanggungjawab kepada DPRD. Selanjutnya pasal 65 ayat 4 menyatakan bahwa KPUD
berpedoman kepada Peraturan Pemerintah (PP) dalam melaksanakan tugas persiapan
dan pelaksanaan pilkadal. Persoalan yang dikhawatirkan dari kenyataan ini
adalah rawannya KPUD dari intervensi dan tekanan dari elite ataupun massa
partai politik lokal, terutama dalam masalah tarik ulur pencalonan. Di samping
itu, pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD mengandung beberapa ketidakjelasan. UU
tersebut tidak merinci bentuk dan proses
pertanggungjawaban serta pelaporan KPUD kepada DPRD. Termasuk
konsekuensi-konsekuensi yang dimunculkan apabila DPRD ternyata mengambil sikap
menolak pertanggung-jawaban yang disampaikan KPUD. Selain itu, DPRD juga akan
menjadi sasaran politis, mulai sejak proses awal, ketika ketidak-puasan muncul
di kalangan konstituen tertentu. Persoalan lain yang bersifat lebih substansiil
terkait dengan penyelenggara-an pilkada yang bergantung pada Peraturan
Pemerintah. Hal ini merupakan kemunduran dari visi penyelenggaraaan pemilu yang
jurdil yang bebas dari intervensi pemerintah, dan dengan demikian merupakan
kemunduran pula bagi demokratisasi di Indonesia. Ditambah dengan kedudukan KPUD
sebagai institusi penyelenggara pilkadal, persoalan menjadi melebar kepada
masalah “pertentangan” dengan UUD 1945, yang pada pasal 22 menggariskan bahwa
Pemilu dilaksanakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Kenyataan ini menyuratkan secara jelas bahwa pemilihan kepala daerah tidak
dianggap sebagai bagian dari pemilih umum. Mungkin saja kesalahan terdapat pada
UUD 1945 yang tidak menyatakan pilkadal sebagai bagian dari pemilihan umum.
Tetapi, sepanjang pilkadal dinyatakan sebagai proses pemilihan yang mendasarkan
pada prinsip-prinsip pemilihan umum, maka sulit untuk menerima logika yang
mendudukkan pilkadal bukan bagian dari pemilihan umum. Karena itu, wajar saja
jika terdapat kecurigaan kuat bahwa pilkadal memang sengaja didudukkan di bawah
“rezim” pemerintahan daerah untuk maksud-maksud politis yang menguntungkan
pemerintah pusat.
Ketiga, terkait dengan kepanitian
pengawas pilkadal. Pengawas dalam penyelenggaraan pilkadal dibentuk oleh DPRD
(Pasal 57 ayat 7). Panitia Pengawas terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan,
perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat. Panitia Pengawas juga
bertanggungjawab kepada DPRD dan berkewajiban menyampaikan laporannya. Adanya
ketentuan menyangkut unsur perguruan tinggi dan press sebagai anggota Panitia
Pengawas terasa berlebihan. Bisa jadi nantinya anggota Panitia Pengawas di
tingkat kabupaten/ kota didominasi oleh orang-orang yang berasal dari ibukota
provinsi, mengingat sebagian besar kabupaten/kota tidak memilik press dan
perguruan tinggi. Duplikasi pelaksanaan pemilu nasional (legislatif, DPD dan
presiden/wakil presiden) ke dalam pemilu lokal ini seolah-seolah
menggeneralisasi persoalan. Persoalan lain yang muncul terkait dengan
independensi Panitia Pengawas. Sebab, DPRD merupakan “kepanjangan tangan
parpol” yang turut terlibat dan sarat kepentingan dalam penyelenggaraan pilkada
langsung, berikut hasil akhirnya. Dapat dipastikan parpol akan berlomba-lomba
menaruh “orangnya” dalam komposisi kepanitiaan pengawas pilkada. Dengan
demikian dikhawatirkan Panitia Pengawas akan menjadi kepanjangan kepentingan
partai politik dalam menjalankan tugasnya, dan karena itu, tidak lagi bersifat
independen.
Keempat, berkaitan dengan penetapan
hasil pemilihan. Antara pasal 107 (1) dan 107 (2) terjadi kontradiksi terkait
dengan jumlah suara sah untuk penetapan pasangan calon terpilih. Pada pasal 107
(1) dinyatakan calon yang memperoleh lebih dari 50% suara sah langsung
ditetapkan sebagai pasangan terpilih. Tetapi ketentuan ini dibatalkan oleh ayat
2 yang menegaskan bahwa peraih suara terbanyak di atas 25 % dinyatakan sebagai
pasangan calon terpilih. Apabila ketentuan ini diberlakukan (paling besar
diatas 25% dinyatakan terpilih), persoalan mendasar yang muncul akan berkaitan
dengan kulaitas legitimasi. Pilkada dengan demikian memberikan kemungkinan
terbentuknya pemerintahan “minoritas” dengan legitimasi yang lemah.
Pemerintahan seperti ini mungkin sekali bukan merupakan pemerintahan yang
menyelesaikan masalah, sebaliknya justru bisa jadi sumber masalah-masalah baru
di daerah. Banyak persoalan lain masih dapat dirinci dari pengaturan politis
tentang pilkadal. Tetapi, beberapa catatan di atas kiranya cukup untuk
menunjukkan bahwa meski pilkada dapat memacu demokratisasi pada tingkat lokal,
penyelenggaraannya mengandung banyak kelemahan yang dapat mengganggu
langkah-langkah maju demokratisasi di daerah. Jika kelemahan ini tidak segera
di atasi, pilkada malahan dapat menimbulkan komplikasi persoalan justru setelah
proses pemilihan kepala daerah menetapkan hasil-hasilnya.
Selain
beberapa masalah di atas masih ada beberapa masalah klasik yang membayangi
pemilihan kepala daerah secara lansung seperti :
1. Money
Politik
Rendahnya pengetahuan dan partisipasi masyarakat membuat
masyarakat mudah dipengaruhi oleh money politik, belum lagi keadaan ekonomi
yang lemah sangat mendukung money politik ini. Contoh yang nyata dialami oleh
penulis ketika pilkada kabupaten Bandung beberapa waktu lalu di daerah cibiru
ada salah satu tim sukses pasangan calon bupati yang membagi-bagikan uang dan
sembako dengan kesepakatan untuk memilih pasangan calon tersebut. Ini
menunjukan bahwa pilkada masih kental dengan money politik dan menjadi masalah
yang sangat serius dalam proses demokrasi.
2. Intimidasi
Selain money politik yang sasarannya untu masyarakat golongan
ekonomi lemah, intimidasi dengan kekerasan sering terjadi untuk memaksakan
kehendak dalam pilkada sehingga calonnya terpilih. Menggunakan kekerasan
intimidasi terhadap masyarakat sangat beresiko fatal sebab selain mencederai
proses demokratisasi juga berpotensiterjadinya konflik horizontal. Hal ini
sangat bertentangan dengan asas penyelenggaraan pilkada yang luber dan jurdil.
3. Mendahului start
kampanye
Pelanggaran ini juga sangat sering terjadi, pemasangan alat peraga
kampanye padahal belum memasuki masa kampanye sangat sering kita jumpai
sehingga merusak pemandangan kota. Di samping itu juga pemanfaatan media
televisi juga sering dilakukan padah belum memasuki jadwal kampanye.
4. Black Campaign
Pelanggaran ini bisa bersifat
fitnah, tuduhan atau peruasakan nama baik calon yang satu oleh calon yang lain. Pelanggaran ini jelas sangat
merusak citra demokrasi yang
seharusnya santun dalam berpolitik.
C.
Pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Mamuju Utara
Pemilihan Kepala daerah dan wakil
kepala daerah Kabupaten Mamuju Utara dilaksanakan pada tahun 2010 dengan 3
pasangan calon yang bersaing yakni pasangan Ir. H. Abdullah Rasyid dan Bachtiar
Syam, selanjutnya pasangan Ir. H. Agus Ambo Djiwa, MP dan Drs. H.Muhammad Saal
dan yang terakhir pasangan Ir. H. Syamsuar Faisal M. M., dan Adriani
Apasamlangi. Dari hasil pemilihan sendiri berdasarkan surat keputusan KPU
Mamuju Utara Nomor 19 KPTS, KPU Kabupaten KAB 003.43345/2010. Tercatat di situ
perolehan suara dari nomor urut satu yaitu Saudara Abdul Rasyid dan Saudara Bahtiar
Syam 22.354 dengan prensentase 31,99%, sedangkan kandidat nomor urut 2 saudara
Ir. H. Agus Ambujiwa Magister Pertanian dan Drs. Muhammad Saal dengan nomor
urut dua perolehan suara 43.174 dengan presentase 61,79%, nomor urut tiga Ir.
H. Syamsuar Faisal M. M., dan Adriani Apasamlangi nomor urut tiga perolehan
suara 4.342 dengan presentase 6,22%.
Dalam
pelaksanaannya banyak cerita-cerita yang terjadi dalam proses pemilihan kepala
daerah yang merupakan sesuatu hal yang pada dasarnya lazim terjadi hampir di seluruh
daerah di indonesia. cerita-cerita itu saja tak lepas dari seputar masalah yang
terjadi dalam pelaksanaan pilkada itu sendiri yang penuh dengan trik dan
intrik. Apa yang penulis ingin paparkan di sini tidak menyangkut mengenai salah
seorang pasangan tertentu, di mana penulis akan bersikap objektif akan kesan
dan mungkin fakta-fakta yang terjadi selama proses pelaksanaan PILKADA dimulai
dari tahapan awal pemilihan dan pasca pemilihan.
Sebagai permulaan penulis ingin
menjelaskan bahwa Kabupaten Mamuju Utara merupakan daerah otonomi baru yang
masih berusia kurang lebih 9 tahun sejaqk dimekarkan dari Kabupaten induk,
yakni kabupaten Mamuju yang kini juga berubah status menjadi Provinsi Sulawesi
Barat. Pemilihan yang terakhir pada tahun 2010 yang lalu adalah pemilihan
kepala daerah yang ke dua yang dilaksanakan sejak terbentuknya daerah ini.
Sebagai salah seorang warga yang tingga di Kabupaten Mamuju utara, setidaknya
telah memiliki gambaran tentang peta politik yang terjadi selama proses PILKADA
di daerah ini. Proses pemilihan calon kepala daerah di kabupaten Mamuju utara
mengalami proses dinamika yang beragam dengan segala isu negatif yang
mengiringinya, dimulai dengan isu sara, berupa intimidasi dan diskriminasi pada
kelompok-kelompok tertentu, isu money politic, black campaign, dan
praktek-praktek kecurangan dalam proses pemilihannya.
Apa yang terjadi dalam proses
pemilihan disana merupakan sesuatu yang wajar ketika pemahaman dan kebiasaan
akan demokrasi yang baik, kemudian tidak dipahami oleh sebagian besar
masyarakat khususnya mereka yang memiliki kepentingan-kepentingan. Hal itulah
yang mengakibatkan pada pemilihan kemarin antara para simpatisan dan para
relawan maupun tim sukses masing-masing calon berusaha untuk memenangkan
calonnya dengan berbagai cara dan tidak dipungkiri norma-norma yang sifatnya
formil maupun non formil dilanggar. Isu yang paling hangat terjadi pada
pemilihan kepala daerah di kabupaten Mamuju utara ialah isu mengenai kepantasan
dan kelayakan memimpin daerah tersebut, di mana isu yang berkembang ialah
adanya asumsi untuk bagaimana pemimpin yang akan dipilih adalah putra daerah.
dengan asumsi tersebut tentu saja menimbulkan gesekan-gesekan pada kalangan
masyarakat dikarenakan hal tersebut juiga menyangkut masalah sara. Sebagai gambaran
bahwa antara pasangan nomor urut 1 dan 2 lebih rentan konflik dengan asumsi
ini. Dalam perkembangan yang terjadi bahwa kenyataan itu setidaknya telah
mencederai norma-norma berdemokrasi yang mengutamakan persatuan. Apalagi isu
sara yang sempat berkembang pada pemilihan di Kabupaten Mamuju utara berujung
pada intimidasi-intimidasi baik itu fisik maupun psikis yang membuat sebagian
masyarakat takut, dan tentu saja berdampak pada psikologis mereka pada saat
memilih, di mana menurut beberapa sumber yang didapatkan bahwa jika mereka
tidak memilih salah satu pasangan calon tertentu maka mereka akan “diusir” dari
kampung, dan itu sungguh sangat disayangkan. Permasalahan yang selanjutnya
ialah masalah klasik yakni praktek “money politic” dan black campaign yang juga
senantiasa mengiringi cerita demokrasi di pemilihan kepala daerah Kabupaten
Mamuju utara, dimulai dari serangan terhadap pembunuhan karakter antar calon,
serangan fisik dengan ilmu hitam(guna-guna), hingga serangan fajar (bagi-bagi
uang dan sembako). Tentunya hal ini tidak dibenarkan sebagaimana yang telah
diatur dalam peraturan perundang-undangan baik itu yang ada di UU No 32 2004
maupun undang-undang tentang pemilu.
Implikasi dari praktek yang kurang
baik dalam pemilihan kepala daerah di kabupaten mamuju Utara dapat dirasakan
saat ini, jujur harus dikatakan bahwa sebagai salah seorang warga masyarakat
biasa menilai bahwa ada dampak negatif dari pemilihan yang lalu. Dampak negatif
yang dimaksud ialah mengenai susunan perangkat daerah yang mengalami perubahan
secara signifikan khususnya untuk birokrasi daerah dalam hal ini satuan kerja
perangkat daerah (SKPD). Bagaimana tidak mereka yang dianggap tidak mendukung
dan memilih pasangan yang terpilih dalam hal ini bupati terpilih mengalami
pemindahan, dan rotasi jabatan secara tidak wajar bahkan hingga harus ada
pejabat dengan pangkat yang tinggi di nonjobkan. Praktek semacam ini sebenarnya wajar selama
masih dalam koridor konstitusi yang mengatur, dapat diterima ketika Bupati
sebagai pihak yang berwenang dalam melakukan itu berpedoman pada UU No 32 Tahun
2004 Bab V Pasal 130 ayat 1 dan 2 dimana pengangkatan, pemindahan dan
pemberhentian dari dan dalam Eselon II pada pemerintahan daerah sepenunya
merupakan domain kepala daerah (Gubernur, Walikota dan Bupati), ini memberikan
legitimasi hukum yang kuat menyangkut kewenangan daerah dalam mengelola
kepegawaian daerah. Pasal ini sangat jelas menggambarkan Kepala Daerah
mempunyai otoritas kuat dalam memetakan dan menentukan formasi jabatan di
daerah. Dengan otoritasnya yang begitu kuat, implikasi penyalahgunaan wewenang
ini sering kali terjadi dalam mengelola apartur atau pegawai negeri sipil
daerah.
Pola pembinaan manajemen dan
kaitannya dalam menentukan orang-orang dalam rangka memenuhi pengangkatan,
pemindahan dan pemberhentian yang seharusnya dilakukan dengan asas kepastian
hukum, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas
profesionalisme, asas akuntabilitas, asas efisiensi dan asas efektifitas,
tetapi kecendenderungan yang terjadi asas-asas tersebut diabaikan, karena
seringkali kepala daerah menggunakan pendekatan politis dalam rangka membangun
jaringan dan memetakan konsolidasi birokrasi sebagai cara membangun kekuatan
politik dari dalam birokrasi. Siapa mendukung siapa, adalah patron yang
digunakan dalam rangka membentuk formatur pejabat daerah, dan hal inilah yang
setidaknya terjadi di Kabupaten Mamuju Utara saat ini, tanpa mengurangi rasa
hormat harus dikatakan perlu sedikit profesional, proporsional dan kemampuan
manjerial yang baik untuk seorang Bupati dalam menyikapi hal ini, walaupun
penulis tahu Bupati berada pada posisi dilema, antara harus objektif atau
menghianati tim-tim sukses yang memenangkan dia termasuk para konstituent.
Dampak lain tentu saja pada kinerja pemerintahan daerah Mamuju Utara saat ini.
Mungkin sudah dapat ditebak ketika ketidakmampuan menempatkan para personil
dalam jabatan tertentu khususnya untuk jabatan yang sedikit sulit dan strategis
akan berdampak kurang maksimalnya kinerja pemerintahan. Ditambah lagi menurut
penulis orang-orang yang ditempatkan pada posisinya saat ini belum memiliki
kompetensi yang baik untuk memikul atau menjalankan tugas tersebut. Kini
harapan masyarakat sudah sedikit terusik oleh statement-statement yang
berkembang di Mamuju Utara mengenai kepemimpinan Bupati saat ini dibanding
kepemimpinan Bupati sebelumnya, dan tentunya hal ini sangat disayangkan
terjadi.
D.
Solusi Dalam
Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung
Diperlukan suatu terobosan dalam
melihat kembali pemilihan langsung kepala daerah, dengan melihat beberapa
kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam implementasi pilkada langsung ini.
Setidaknya kita tidak berharap akan adanya korban-korban dari masyarakat karena
konflik antar pendukung calon kepala daerah, kita juga tidak berharap berapa
banyak dana lagi yang harus habis dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam
proses pilkada, dan kemunduran pendidikan politik yang menciptakan
pemilih-pemilih yang primitif, tradisonal yang jauh dari pemilih rasional.
Apa yang semestinya dilakukan ?
dengan melihat praktek yang terjadi tentunya sudah pantasnya pemerintah
melakukan evaluasi mengenai kekurangan-kekurangan tersebut. Presiden RI ketiga
B.J. Habibie mencatat bahwa tahun 2004 merupakan tonggak demokrasi yang penting
di Indonesia, karena pada tahun ini terjadi sinergi antara kemerdekaan dan
kebebasan, di mana kedaulatn sepenuhnya dikembalikan kepada rakyat.
Presiden/Wapres dan Pilkada dipilih secara langsung oleh rakyat. Seiring dengan
kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang sudah sangat terbatas dan
menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah yang besar, maka
efektifitas system pemilihan gubernur secara langsung perlu dilakukan
peninjauan kembali sebagai berikut:
a. Tinjauan
yuridis
Berdasar:
1) Pasal 1 ayat (2) UUD
Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "kedaulatan ada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang",
2) Pasal 18 ayat (4) UUD
Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota
dipilih secara demokratis",
3) Pasal 28D ayat (3) UUD
Negara Rl Th 1945 menyatakanbahwa, "setiap warga negera berhak memperoleh
kesempatan yg sama dalam pemerintahan",
Bahwa tidak ada perintah
pemilihan gubernur dipilih secara
langsung, sehingga pemilihan
gubernur dilakukan melalui system perwakilan tidak bertentangan dengan
konstitusi.
b. Tinjauan
filosofis
1) Dari sisi ruang
partisipasi rakyat utk memilih, pemilihan Gubernur melalui sistem perwakilan
memiliki derajat ruang partisipasi rakyat untuk memilih lebih rendah dibanding
dengan system pemilihan langsung. Sedangkan ruang partisipasi untuk dipilih
sama, jika persyaratan calon gubernur sama.
2) Dari sisi ruang
partisipasi rakyat utk dipilih, baik sistem pemilihan secara langsung maupun
melalui perwakilan, akan memiliki nilai sama jika persyaratan bagi kedua sstem
tersebut sama.
3) Dari sisi terbukanya
partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan di daerah (provinsi) kurang
dapat dijadikan dipertimbangan, karena Gubernur tidak lagi operasional
berhubungan langsung dengan masyarakat. Kalaupun ada sebatas kebijakan yang
terkait dengan kebijakan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
4) Dari sisi efektifitas
kebijakan pusat di daerah dan harmonisasi kepentingan pusat dan daerah,
pemilihan Gubernur melalui perwakilan dimana selain DPRD, Pemerintah juga
mempunyai peran dalam menentukan seorang Gubernur akan memiliki nilai yang
lebih baik, karena di satu sisi gubernur harus menjamin terlaksananya kebijakan
pemerintah pusat di daerah, di sisi lain Gubernur juga harus memperhatikan
kepentingan masyarakat di daerah yang direpresentasikan oleh DPRD.
5) Dari sisi terjaminnya
pelayanan publik, dimana Gubernur harus dapat mejamin dilaksanakannya standar
pelayanan minimal bagi pemerintah kabupaten/kota, maka posisi Gubernur yang
diangkat oleh pemerintah akan lebih mempunyai wibawa bagi pemerintah
kabupaten/kota. Dibanding jika sama-sama dipilih langsung oleh rakyat yang
menyiratkan adanya kesejajaran.
6) Dari sisi kesesuaian
dengan format pemerintahan, dengan kewenangan gubernur dalam memberikan
pelayanan langsung kepada masyarakat sudah sangat minim, tinggal yang terkait
dengan urusan lintas kabupaten/kota maka relevansi penentuan gubernur melalui
pemilihan langsung sudah kurang relevan lagi dibandingkan biaya yang harus
dikeluarkan oleh melakukan pemilihan langsung.
c. Tinjauan
Politis
1) Perkuatan sistem NKRI.
Sebagaimana yang diatur dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa
Indonesia menganut bentuk Negara Kesatuan. Sistem ini bertujuan untuk
menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara, sehingga dengan jumlah
daerah otonom yang banyak dan luasnya wilayah NKRI, maka untuk mengatasi rentang
kendali pemerintahan diperlukan gubernur yang mempunyai ikatan yang kuat dengan
pemerintah. Ikatan yang kuat antara pemerintah dengan gubernur akan dapat
terwujud jika pemerintah mempunyai peran menentukan terpilihnya gubernur. Untuk
itu bagi tegaknya NKRI pemilihan gubernur melalui perwakilan dan juga adanya
peran pemerintah dalam menentukan terpilihnya gubernur akan memililki nilai
yang lebih baik dibandingkan jika dipilih langsung.
2) Penataan posisi
gubernur dan sumber legitimasi.
Pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat sama dengan
pemilihan bupati/walikota telah memposisikan gubernur setara dengan bupati/
walikota sebagai kepala daerah. Pandangan ini juga tercermin pada perangkat
daerah yang besar yang membantu gubernur setara atau bahkan lebih besar dengan
perangkat daerah yang membantu bupati/walikota, padahal kewenangan gubernur
sebagai kepala daerah sudah sangat minim. Seiring dengan minimnya kewenangan
gubernur sebagai kepala daerah dan tugas berat sebagai wakil pemerintah, maka
sumber legitimasi gubernur akan lebih sesuai jika tidak langsung dari rakyat.
d. Tinjauan
Sosiologis
1) Menumbuhkan budaya
persaingan yang sehat.
Kondisi masyarakat dengan kultur masyarakat yang masih
mementingkan kepentingan sesaat dari pada kepentingan jangka panjang, dan belum
mendasarkan pilihannya berdasarkan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung
dan melalui perwakilan akan banyak menemui kendala dalam menumbuhkan budaya
persaingan yang sehat. Akan tetapi dengan melalui pengaturan tertentu pemilihan
melalui perwakilan dapat diupayakan para calon bersaing secara sehat.
2) Menumbuhkan kesadaran
akan kebutuhan pemimpin
yang mampu membawa kemajuan
daerah.
Dalam kondisi masyarakat yang belum
mendasarkan pilihannya atas visi, misi, dan program, pelaksanaan Pilkada secara
langsung masih sulit diharapkan untuk menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan
pemimpin yang mampu membawa kemajuan daerah, dibanding dengan melalui
perwakilan. Karena para wakil rakyat setidaknya akan mendapat beban moral untuk
memberi pertanggungjawaban atas pilihannya kepada rakyat yang memilihnya.
e. Tinjauan
efektifitas dan efisiensi
Dari segi kemudahan untuk dilaksanakan,
efektifitas dan efisiensi pelaksanaan pemilihan kepala daerah melalui
perwakilan jauh lebih baik dibanding dengan melalui Pilkada secara langsung.
Berdasar tinjauan yuridis, filosofis, politis, sosiologis, dan praktis sistem
pemilihan gubernur secara langsung lebih banyak kelemahannya dibandingkan
dengan jika dipilih melalui sistem perwakilan.
Selanjutnya perlu juga diperhatikan
mengenai sistem pemilihan wakil kepala daerah, di mana dalam UUD Negara Rl Th
1945 Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota
dipilih secara demokratis". Tidak ada amanat dalam UUD Negara Rl Tahun
1945 bahwa wakil kepala daerah harus dipilih secara berpasangan dengan kepala
daerah. Sistem pemilihan wakil kepala daerah secara langsung berpasangan dengan
kepala daerah semula dalam rangka kesesuaian dengan Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden secara berpasangan. Akan tetapi dalam perjalanan penyelenggaraan
pemerintahan daerah pasca reformasi sampai sekarang, banyak terjadi hubungan
antara kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak harmonis, sehingga
adanya wakil kepala daerah diharapkan dapat membantu atau terdapat hubungan
sinergi dengan kepala daerah justru hubungan yang saling melemahkan. Hal
terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah yang juga sarat
dengan kepentingan politik membuat hubungan antara kepala daerah dan wakil
kepala daerah menjadi saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver politik yang
saling menjatuhkan. Berkenaan dengan kondisi hubungan yang tidak harmonis
tersebut perlu dilakukan perumusan ulang sistem pemilhan wakil kepala daerah,
agar tidak mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dapat menempatkan
wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah.
Dari kenyataan-kenyataan di atas
nampak bahwa system demokrasi pada umumnya dan system pilkada pada khususnya harus jujur diakui masih
mengalami kendala sistemik. Dari sisi hukum hal ini terkait pemahaman tentang
“legal system” sebagaimana diajarkan oleh Lawrence Friedmann, bahwa sub-sistem hukum terdiri atas substansi hukum
(legal substance) berupa pelbagai produk legislative yang mendasari system
hukum tersebut; kemudian struktur hukum (legal structure) berupa kelembagaan
yang menangani system tersebut dan budaya hukum (legal culture) berupa kesamaan
pandangan, sikap, perilaku dan filosofi yang mendasari system hukum tersebut.
Dalam ketiga sub-sistem tersebut demokrasi dan termasuk pilkada masih
memerlukan konsolidasi. Warna transksional dan pragmatism masih menonjol ,
belum lagi munculnya multi tafsir dan sikap mendua (ambiquitas) dalam berbagai hal,apalagi apabila budaya
hukum semacam ini menghinggapi para pemangku kepentingan, termasuk tokoh-tokoh
partai politik yang sering disebut sebagai “legal culture of the insider”.
%*SEKIAN*%
R E F E R E N S I
Dirjen Otda Depdagri, 2009, Evaluasi Pemilu Kepala Daerah Periode 2005-2008.
Legowo,
Tommy A. 2005.Pemilihan Kepala Daerah
Secara Langsung,Good Governance, dan Masa Depan Otonomi daerah. Jurnal
Desentralisasi Vol.5
UU NO.32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
UU NO.12
Tahun 2008 tentang Otonomi Daerah
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, Jogjakarta,
Gradien Mediatama.
politik lokal/Patologi Politik dalam Implementasi Otonomi
Daerah.htm