Kamis, 21 Maret 2013

PEMILIHAN PIMPINAN KEPALA DAERAH DI ERA OTONOMI DAERAH (STUDI KASUS PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI KABUPATEN MAMUJU UTARA)




PEMILIHAN PIMPINAN KEPALA DAERAH DI ERA OTONOMI DAERAH
(STUDI KASUS PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI KABUPATEN MAMUJU UTARA)
Oleh Muh. Firyal Akbar A
Pengantar
            Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 menyebutkan secara rinci penyelenggaraan otonomi daerah yaitu: pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dan memiliki Dewan Perwakilan Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Pasal 18 ayat (4) manyebutkan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Negara Republik Indonesia, menyelenggaraan Pemerintahan Daerah menggunakan asas desentralisasi dan tugas pembantuan, kedudukan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah memegang peran penting dalam menentukan suatu keputusan publik. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis. Pemilihan Kepala daerah dan Wakil kepala daerah merupakan salah satu fenomena yang terjadi di pemerintahan daerah kita hingga saat ini, di mana pemilihan kepala daerah sudah ada sejak era orde lama dengan penunjukkan langsung, hingga memasuki era orde baru dengan sistem sentralistik dan kemudian hari ini kita menjadi sebagian pelaku sejarah akan demokrasi yang berkembang di negara ini, di mana pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan secara terbuka, yakni dipilih oleh warga masyarakat secara langsung. Implementasi dari pemilihan kepala daerah pada dasarnya dapat memenuhi ekspektasi pemerintahan khususnya warga masyarakat itu sendiri, dengan asumsi dengan pemilihan langsung warga masyarakat dapat memilih pemimpin yang dianggap memiliki kapabilitas dan kompetensi yang baik dalam memimpin daerahanya, namun yang terjadi ialah harapan itu nampaknya sulit untuk terwujud dikarenakan beberapa hal. Oleh karena hal itu dalam tulisan ini akan diberikan gambaran mengenai implementasi pemeilihan kepala daerah secara langsung dengan segala  permasalahannya, dengan mengambil satu contoh kasus pemilihan kepala daerah di Kabupaten Mamuju Utara.


A.     Konsep Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung

            Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pengantar bahwa dalam konstitusi UUD 1945 telah dijelaskan mengenai konsep pemerintahan di daerah, bahwa pemerintahan setelah pemerintahan yang ada di pusat, dibagi dalam pemerintahan daerah, baik itu yang berada di pemerintahan Provinsi maupun yang berada di pemerintahan untuk tingkat kabupaten/Kota. Pemerintahan yang ada di Daerah tersebut kemudian dipimpin oleh masing-masing Kepala Daerah, yakni seorang gubernur dan Wakil Gubernur untuk Pemerintahan Provinsi dan Bupati dan Wakil Bupati atau Walokota dan Wakil Walikota untuk pemerintahan Kabupaten/Kota. Dalam sejarahnya, pemilihan kepala daerah baik itu untuk pemerintahan Provinsi maupun Kabupaten/kota mengalami dinamika perubahan seiring dengan perkembangan sistem pemerintahan di Indonesia.  dimulai dari era pada awal kemerdekaan tau era ordelama dengan pemilihan atau penunjukkan secara langsung para kepala daerah oleh pemerintah pusat, dilanjutkan dengan era orde lama dengan sistem Sentralisasi kekuasaan oleh rezim Soeharto dengan penunjukkan langsung hingga pemilihan oleh DPRD (UU No 22 Tahun 2009)  pada awal reformasi hingga berakhir dengan pemilihan langsung oleh rakyat pada tahun 2005 sebagai manifestasi dari lahirnya UU NO 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah hingga saat ini UU No 12 tahun 2008.
            Dalam isi UU No 32 2004, bagian kedelapan paragraf kesatu pasal 56 dijelaskan bahwa Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia,jujur dan adil. Selanjutnya dijelaskan bahwa pasangan calon yakni kepala daerah dan Wakil kepala daerah diusulkan oleh partai politik dan gabungan partai politik. Adapun perubahan dalam UU No12 tahun 2008 ditambahkan mengenai pasangancalon yang berasal dari jalur perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi persyaratan sebagaimana dalam ketentuan Undang-undang terkait.
     Selanjutnya juga dalam isi UU No 32 tahun 2004 dijelaskan mengenai syarat untuk seorang calon kepala dan Wakil Kepala daerah dalam mengikuti pemilihan kepala daerah, di mana calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah;
c. berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau sederajat;
d. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
e. sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter;
f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih;
g. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;h. mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;
i. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;
j. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan negara.
k. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
l. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
m. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak;
n. menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri;
o. belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; dan
p. tidak dalam status sebagai penjabat kepala daerah.

B.     Deskripsi Tentang Implementasi Pemilihan Kepala Daerah Di Indonesia

            Diterapkannya pilkada merupakan event demokrasi yang bermakna dalam sejarah politik Indonesia. Untuk pertama kali kontestasi kepala daerah dengan pemilihan langsung oleh rakyat diterapkan setelah lebih separuh abad republik ini menyatakan kemerdekaan-nya. Ini juga bersifat koheren dengan penyelenggaraan pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung (Pasal 6 A UUD 1945). Dalam konteks konsolidasi dan penguatan demokrasi, pilkada bisa jadi merupakan pilar yang bersifat memperkukuh bangunan demokrasi secara nasional. Sebagaimana dinyatakan oleh Tip O’ Neill, “all politics is local”,1 yang berarti demokrasi akan berkembang subur dan terbangun kuat di aras nasional apabila dalam tingkatan yang lebih rendah (lokal) nilai-nilai demokrasi berakar kuat. Pilkada mewujudkan makna tersebut. Dengan pemahaman seperti itu, penyelenggaraan pilkadal dapat memberikan dampak positif terhadap penguatan demokrasi di Indonesia.
            Pertama, partisipasi politik. Dalam pilkadal, rakyat terlibat langsung untuk menentukan siapa layak (memiliki kredibilitas dan kapabilitas memperjuangkan aspirasi dan memenuhi kepentingan rakyat) menjadi “pelayan” (pejabat publik) mereka. Melalui proses semacam itu, dapat tumbuh kesadaran bahwa merekalah (rakyat) pemegang kedaulatan politik yang sebenarnya. Termasuk dalam kesadaran ini adalah kehati-hatian dalam menentukan pilihan, sebab kesalahan memilih dapat membawa akibat buruk terhadap kehidupan mereka. Kedua, kompetisi politik. Pilkada membuka ruang untuk kompetisi yang fair dan adil antara kontestan yang bersaing. Diharapkan tidak ada lagi suatu kontestan dari partai politik tertentu mendominasi secara terus menerus proses yang berlangsung dan menutup ruang bagi kelompok lainnya untuk turut berkompetisi secara fair. Ketiga, legitimasi politik. Berbeda dengan cara pilkada tidak langsung seperti yang diterapkan sebelumnya, yakni melalui institusi DPRD, pilkada akan memberikan legitimasi yang kuat kepada kepemimpinan daerah terpilih. Dalam mekanisme pemilihan langsung ini, kepemimpinan yang terwujud akan merefleksikan konfigurasi kekuatan politik dan kepentingan konstituen pemilih (rakyat). Sehingga dapat dipastikan bahwa kandidat yang terpilih secara demokratis mendapat dukungan dari bagian besar dari masyarakat pemilih. Pemilihan kepala daerah secara tidak langsung oleh DPRD bersifat elitis yang kerap kali menelikung aspirasi rakyat. Keempat, minimalisasi manipulasi dan kecurangan. Salah satu unsur yang mendorong penyelenggaraan pilkadal adalah maraknya berbagai kasus money politics dan bentuk kecurangan lainnya dalam praktek pemilihan kepala daerah yang selama ini terjadi. Intervensi pemerintah memang dapat diminimalisasi dalam pilkada selama hampir 4 tahun otonomi daerah dilangsungkan. Namun bandul permasalahan kini malah berayun ke tubuh lembaga perwakilan daerah yang diberi kewenangan memilih kepala daerah. Politik uang (money politics) terjadi hampir secara merata ke seluruh daerah. Kelima, accountability. Dalam pemilihan langsung oleh rakyat, accountability kepala daerah menjadi sangat penting. Sebab, apabila rakyat sebagai pemilih menilai bahwa kepala daerah yang terpilih ternyata tidak dapat menjalankan tugas-tugasnya secara baik dan bertanggung jawab, rakyat akan memberikan sanksi dalam pilkadal berikutnya dengan tidak memilihnya kembali.
            Berdasarkan pada pengaturan politis yang tercermin dari UU 32/2004, beberapa aspek perlu dikritisi bersama. Pertama, berkaitan dengan pencalonan. Sejumlah ketentuan mengatur tentang hal ini. Pasal 59 ayat 1 menyebutkan: “Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”. Dalam Pasal 59 (2) dinyatakan bahwa yang dapat mendaftarkan pasangan calon adalah parpol atau gabungan parpol yang memiliki minimal 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu DPRD. Keberadaan calon perseorangan dinyatakan dalam pasal 59 (3), bahwa “Partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.” Ketentuan-ketentuan ini nampak kurang memihak pada prinsip partisipasi dan kompetisi politik. Sebaliknya, kepentingan-kepentingan partai politik, terutama partai-partai besar, kelihatan menonjol. Ayat 1 di atas, misalnya, menegaskan sebenarnya bahwa hanya melalui partai politik pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat dinominasi atau menominasikan diri untuk pilkadal ini. Ketentuan semacam ini membatasi partisipasi publik, dan sebaliknya mengutamakan partai politik. Apalagi jika dikaitkan dengan ketentuan berikutnya pada ayat 2, hanya partai-partai besar dapat berpartisipasi dalam proses pemilihan ini. Lebih dari itu, ayat 3 tidak memberikan jaminan bahwa mekanisme seleksi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh partai politik akan dilangsungkan secara demokratis dan transparan. Sebab ketentuan ini amat longgar, karena tidak memberikan batasan yang jelas tentang kedua mekanisme tersebut dan sanksi yang tegas jika kewajiban ini tidak dilaksanakan. Dengan ketentuan seperti ini, kompetisi menjadi terbatas dan tertutup yang hasilnya bisa jadi merupakan transaksi politik “bawah tangan.” Calon-calon yang berkualitas, kompeten dan kapable, serta bersih dalam proses pilkada mungkin sekali akan sulit diperoleh.
            Kedua, soal penyelenggara pilkada. Dalam pasal 57 ayat 1 ditegaskan bahwa pilkadal diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggungjawab kepada DPRD. Selanjutnya pasal 65 ayat 4 menyatakan bahwa KPUD berpedoman kepada Peraturan Pemerintah (PP) dalam melaksanakan tugas persiapan dan pelaksanaan pilkadal. Persoalan yang dikhawatirkan dari kenyataan ini adalah rawannya KPUD dari intervensi dan tekanan dari elite ataupun massa partai politik lokal, terutama dalam masalah tarik ulur pencalonan. Di samping itu, pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD mengandung beberapa ketidakjelasan. UU tersebut tidak merinci  bentuk dan proses pertanggungjawaban serta pelaporan KPUD kepada DPRD. Termasuk konsekuensi-konsekuensi yang dimunculkan apabila DPRD ternyata mengambil sikap menolak pertanggung-jawaban yang disampaikan KPUD. Selain itu, DPRD juga akan menjadi sasaran politis, mulai sejak proses awal, ketika ketidak-puasan muncul di kalangan konstituen tertentu. Persoalan lain yang bersifat lebih substansiil terkait dengan penyelenggara-an pilkada yang bergantung pada Peraturan Pemerintah. Hal ini merupakan kemunduran dari visi penyelenggaraaan pemilu yang jurdil yang bebas dari intervensi pemerintah, dan dengan demikian merupakan kemunduran pula bagi demokratisasi di Indonesia. Ditambah dengan kedudukan KPUD sebagai institusi penyelenggara pilkadal, persoalan menjadi melebar kepada masalah “pertentangan” dengan UUD 1945, yang pada pasal 22 menggariskan bahwa Pemilu dilaksanakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Kenyataan ini menyuratkan secara jelas bahwa pemilihan kepala daerah tidak dianggap sebagai bagian dari pemilih umum. Mungkin saja kesalahan terdapat pada UUD 1945 yang tidak menyatakan pilkadal sebagai bagian dari pemilihan umum. Tetapi, sepanjang pilkadal dinyatakan sebagai proses pemilihan yang mendasarkan pada prinsip-prinsip pemilihan umum, maka sulit untuk menerima logika yang mendudukkan pilkadal bukan bagian dari pemilihan umum. Karena itu, wajar saja jika terdapat kecurigaan kuat bahwa pilkadal memang sengaja didudukkan di bawah “rezim” pemerintahan daerah untuk maksud-maksud politis yang menguntungkan pemerintah pusat.
            Ketiga, terkait dengan kepanitian pengawas pilkadal. Pengawas dalam penyelenggaraan pilkadal dibentuk oleh DPRD (Pasal 57 ayat 7). Panitia Pengawas terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat. Panitia Pengawas juga bertanggungjawab kepada DPRD dan berkewajiban menyampaikan laporannya. Adanya ketentuan menyangkut unsur perguruan tinggi dan press sebagai anggota Panitia Pengawas terasa berlebihan. Bisa jadi nantinya anggota Panitia Pengawas di tingkat kabupaten/ kota didominasi oleh orang-orang yang berasal dari ibukota provinsi, mengingat sebagian besar kabupaten/kota tidak memilik press dan perguruan tinggi. Duplikasi pelaksanaan pemilu nasional (legislatif, DPD dan presiden/wakil presiden) ke dalam pemilu lokal ini seolah-seolah menggeneralisasi persoalan. Persoalan lain yang muncul terkait dengan independensi Panitia Pengawas. Sebab, DPRD merupakan “kepanjangan tangan parpol” yang turut terlibat dan sarat kepentingan dalam penyelenggaraan pilkada langsung, berikut hasil akhirnya. Dapat dipastikan parpol akan berlomba-lomba menaruh “orangnya” dalam komposisi kepanitiaan pengawas pilkada. Dengan demikian dikhawatirkan Panitia Pengawas akan menjadi kepanjangan kepentingan partai politik dalam menjalankan tugasnya, dan karena itu, tidak lagi bersifat independen.
            Keempat, berkaitan dengan penetapan hasil pemilihan. Antara pasal 107 (1) dan 107 (2) terjadi kontradiksi terkait dengan jumlah suara sah untuk penetapan pasangan calon terpilih. Pada pasal 107 (1) dinyatakan calon yang memperoleh lebih dari 50% suara sah langsung ditetapkan sebagai pasangan terpilih. Tetapi ketentuan ini dibatalkan oleh ayat 2 yang menegaskan bahwa peraih suara terbanyak di atas 25 % dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih. Apabila ketentuan ini diberlakukan (paling besar diatas 25% dinyatakan terpilih), persoalan mendasar yang muncul akan berkaitan dengan kulaitas legitimasi. Pilkada dengan demikian memberikan kemungkinan terbentuknya pemerintahan “minoritas” dengan legitimasi yang lemah. Pemerintahan seperti ini mungkin sekali bukan merupakan pemerintahan yang menyelesaikan masalah, sebaliknya justru bisa jadi sumber masalah-masalah baru di daerah. Banyak persoalan lain masih dapat dirinci dari pengaturan politis tentang pilkadal. Tetapi, beberapa catatan di atas kiranya cukup untuk menunjukkan bahwa meski pilkada dapat memacu demokratisasi pada tingkat lokal, penyelenggaraannya mengandung banyak kelemahan yang dapat mengganggu langkah-langkah maju demokratisasi di daerah. Jika kelemahan ini tidak segera di atasi, pilkada malahan dapat menimbulkan komplikasi persoalan justru setelah proses pemilihan kepala daerah menetapkan hasil-hasilnya.
            Selain beberapa masalah di atas masih ada beberapa masalah klasik yang membayangi pemilihan kepala daerah secara lansung seperti :


1.      Money Politik
Rendahnya pengetahuan dan partisipasi masyarakat membuat masyarakat mudah dipengaruhi oleh money politik, belum lagi keadaan ekonomi yang lemah sangat mendukung money politik ini. Contoh yang nyata dialami oleh penulis ketika pilkada kabupaten Bandung beberapa waktu lalu di daerah cibiru ada salah satu tim sukses pasangan calon bupati yang membagi-bagikan uang dan sembako dengan kesepakatan untuk memilih pasangan calon tersebut. Ini menunjukan bahwa pilkada masih kental dengan money politik dan menjadi masalah yang sangat serius dalam proses demokrasi.
2.  Intimidasi
Selain money politik yang sasarannya untu masyarakat golongan ekonomi lemah, intimidasi dengan kekerasan sering terjadi untuk memaksakan kehendak dalam pilkada sehingga calonnya terpilih. Menggunakan kekerasan intimidasi terhadap masyarakat sangat beresiko fatal sebab selain mencederai proses demokratisasi juga berpotensiterjadinya konflik horizontal. Hal ini sangat bertentangan dengan asas penyelenggaraan pilkada yang luber dan jurdil.
3.  Mendahului start kampanye
Pelanggaran ini juga sangat sering terjadi, pemasangan alat peraga kampanye padahal belum memasuki masa kampanye sangat sering kita jumpai sehingga merusak pemandangan kota. Di samping itu juga pemanfaatan media televisi juga sering dilakukan padah belum memasuki jadwal kampanye.
4. Black Campaign
            Pelanggaran ini bisa bersifat fitnah, tuduhan atau peruasakan nama baik calon yang            satu oleh calon yang lain. Pelanggaran ini jelas sangat merusak citra demokrasi             yang seharusnya santun dalam berpolitik.

C.      Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Mamuju Utara

            Pemilihan Kepala daerah dan wakil kepala daerah Kabupaten Mamuju Utara dilaksanakan pada tahun 2010 dengan 3 pasangan calon yang bersaing yakni pasangan Ir. H. Abdullah Rasyid dan Bachtiar Syam, selanjutnya pasangan Ir. H. Agus Ambo Djiwa, MP dan Drs. H.Muhammad Saal dan yang terakhir pasangan Ir. H. Syamsuar Faisal M. M., dan Adriani Apasamlangi. Dari hasil pemilihan sendiri berdasarkan surat keputusan KPU Mamuju Utara Nomor 19 KPTS, KPU Kabupaten KAB 003.43345/2010. Tercatat di situ perolehan suara dari nomor urut satu yaitu Saudara Abdul Rasyid dan Saudara Bahtiar Syam 22.354 dengan prensentase 31,99%, sedangkan kandidat nomor urut 2 saudara Ir. H. Agus Ambujiwa Magister Pertanian dan Drs. Muhammad Saal dengan nomor urut dua perolehan suara 43.174 dengan presentase 61,79%, nomor urut tiga Ir. H. Syamsuar Faisal M. M., dan Adriani Apasamlangi nomor urut tiga perolehan suara 4.342 dengan presentase 6,22%.
Dalam pelaksanaannya banyak cerita-cerita yang terjadi dalam proses pemilihan kepala daerah yang merupakan sesuatu hal yang pada dasarnya lazim terjadi hampir di seluruh daerah di indonesia. cerita-cerita itu saja tak lepas dari seputar masalah yang terjadi dalam pelaksanaan pilkada itu sendiri yang penuh dengan trik dan intrik. Apa yang penulis ingin paparkan di sini tidak menyangkut mengenai salah seorang pasangan tertentu, di mana penulis akan bersikap objektif akan kesan dan mungkin fakta-fakta yang terjadi selama proses pelaksanaan PILKADA dimulai dari tahapan awal pemilihan dan pasca pemilihan.
            Sebagai permulaan penulis ingin menjelaskan bahwa Kabupaten Mamuju Utara merupakan daerah otonomi baru yang masih berusia kurang lebih 9 tahun sejaqk dimekarkan dari Kabupaten induk, yakni kabupaten Mamuju yang kini juga berubah status menjadi Provinsi Sulawesi Barat. Pemilihan yang terakhir pada tahun 2010 yang lalu adalah pemilihan kepala daerah yang ke dua yang dilaksanakan sejak terbentuknya daerah ini. Sebagai salah seorang warga yang tingga di Kabupaten Mamuju utara, setidaknya telah memiliki gambaran tentang peta politik yang terjadi selama proses PILKADA di daerah ini. Proses pemilihan calon kepala daerah di kabupaten Mamuju utara mengalami proses dinamika yang beragam dengan segala isu negatif yang mengiringinya, dimulai dengan isu sara, berupa intimidasi dan diskriminasi pada kelompok-kelompok tertentu, isu money politic, black campaign, dan praktek-praktek kecurangan dalam proses pemilihannya.
            Apa yang terjadi dalam proses pemilihan disana merupakan sesuatu yang wajar ketika pemahaman dan kebiasaan akan demokrasi yang baik, kemudian tidak dipahami oleh sebagian besar masyarakat khususnya mereka yang memiliki kepentingan-kepentingan. Hal itulah yang mengakibatkan pada pemilihan kemarin antara para simpatisan dan para relawan maupun tim sukses masing-masing calon berusaha untuk memenangkan calonnya dengan berbagai cara dan tidak dipungkiri norma-norma yang sifatnya formil maupun non formil dilanggar. Isu yang paling hangat terjadi pada pemilihan kepala daerah di kabupaten Mamuju utara ialah isu mengenai kepantasan dan kelayakan memimpin daerah tersebut, di mana isu yang berkembang ialah adanya asumsi untuk bagaimana pemimpin yang akan dipilih adalah putra daerah. dengan asumsi tersebut tentu saja menimbulkan gesekan-gesekan pada kalangan masyarakat dikarenakan hal tersebut juiga menyangkut masalah sara. Sebagai gambaran bahwa antara pasangan nomor urut 1 dan 2 lebih rentan konflik dengan asumsi ini. Dalam perkembangan yang terjadi bahwa kenyataan itu setidaknya telah mencederai norma-norma berdemokrasi yang mengutamakan persatuan. Apalagi isu sara yang sempat berkembang pada pemilihan di Kabupaten Mamuju utara berujung pada intimidasi-intimidasi baik itu fisik maupun psikis yang membuat sebagian masyarakat takut, dan tentu saja berdampak pada psikologis mereka pada saat memilih, di mana menurut beberapa sumber yang didapatkan bahwa jika mereka tidak memilih salah satu pasangan calon tertentu maka mereka akan “diusir” dari kampung, dan itu sungguh sangat disayangkan. Permasalahan yang selanjutnya ialah masalah klasik yakni praktek “money politic” dan black campaign yang juga senantiasa mengiringi cerita demokrasi di pemilihan kepala daerah Kabupaten Mamuju utara, dimulai dari serangan terhadap pembunuhan karakter antar calon, serangan fisik dengan ilmu hitam(guna-guna), hingga serangan fajar (bagi-bagi uang dan sembako). Tentunya hal ini tidak dibenarkan sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan baik itu yang ada di UU No 32 2004 maupun undang-undang tentang pemilu.   
            Implikasi dari praktek yang kurang baik dalam pemilihan kepala daerah di kabupaten mamuju Utara dapat dirasakan saat ini, jujur harus dikatakan bahwa sebagai salah seorang warga masyarakat biasa menilai bahwa ada dampak negatif dari pemilihan yang lalu. Dampak negatif yang dimaksud ialah mengenai susunan perangkat daerah yang mengalami perubahan secara signifikan khususnya untuk birokrasi daerah dalam hal ini satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Bagaimana tidak mereka yang dianggap tidak mendukung dan memilih pasangan yang terpilih dalam hal ini bupati terpilih mengalami pemindahan, dan rotasi jabatan secara tidak wajar bahkan hingga harus ada pejabat dengan pangkat yang tinggi di nonjobkan.  Praktek semacam ini sebenarnya wajar selama masih dalam koridor konstitusi yang mengatur, dapat diterima ketika Bupati sebagai pihak yang berwenang dalam melakukan itu berpedoman pada UU No 32 Tahun 2004 Bab V Pasal 130 ayat 1 dan 2 dimana pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam Eselon II pada pemerintahan daerah sepenunya merupakan domain kepala daerah (Gubernur, Walikota dan Bupati), ini memberikan legitimasi hukum yang kuat menyangkut kewenangan daerah dalam mengelola kepegawaian daerah. Pasal ini sangat jelas menggambarkan Kepala Daerah mempunyai otoritas kuat dalam memetakan dan menentukan formasi jabatan di daerah. Dengan otoritasnya yang begitu kuat, implikasi penyalahgunaan wewenang ini sering kali terjadi dalam mengelola apartur atau pegawai negeri sipil daerah.
            Pola pembinaan manajemen dan kaitannya dalam menentukan orang-orang dalam rangka memenuhi pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian yang seharusnya dilakukan dengan asas kepastian hukum, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalisme, asas akuntabilitas, asas efisiensi dan asas efektifitas, tetapi kecendenderungan yang terjadi asas-asas tersebut diabaikan, karena seringkali kepala daerah menggunakan pendekatan politis dalam rangka membangun jaringan dan memetakan konsolidasi birokrasi sebagai cara membangun kekuatan politik dari dalam birokrasi. Siapa mendukung siapa, adalah patron yang digunakan dalam rangka membentuk formatur pejabat daerah, dan hal inilah yang setidaknya terjadi di Kabupaten Mamuju Utara saat ini, tanpa mengurangi rasa hormat harus dikatakan perlu sedikit profesional, proporsional dan kemampuan manjerial yang baik untuk seorang Bupati dalam menyikapi hal ini, walaupun penulis tahu Bupati berada pada posisi dilema, antara harus objektif atau menghianati tim-tim sukses yang memenangkan dia termasuk para konstituent. Dampak lain tentu saja pada kinerja pemerintahan daerah Mamuju Utara saat ini. Mungkin sudah dapat ditebak ketika ketidakmampuan menempatkan para personil dalam jabatan tertentu khususnya untuk jabatan yang sedikit sulit dan strategis akan berdampak kurang maksimalnya kinerja pemerintahan. Ditambah lagi menurut penulis orang-orang yang ditempatkan pada posisinya saat ini belum memiliki kompetensi yang baik untuk memikul atau menjalankan tugas tersebut. Kini harapan masyarakat sudah sedikit terusik oleh statement-statement yang berkembang di Mamuju Utara mengenai kepemimpinan Bupati saat ini dibanding kepemimpinan Bupati sebelumnya, dan tentunya hal ini sangat disayangkan terjadi.

D.     Solusi Dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung

            Diperlukan suatu terobosan dalam melihat kembali pemilihan langsung kepala daerah, dengan melihat beberapa kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam implementasi pilkada langsung ini. Setidaknya kita tidak berharap akan adanya korban-korban dari masyarakat karena konflik antar pendukung calon kepala daerah, kita juga tidak berharap berapa banyak dana lagi yang harus habis dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam proses pilkada, dan kemunduran pendidikan politik yang menciptakan pemilih-pemilih yang primitif, tradisonal yang jauh dari pemilih rasional.
            Apa yang semestinya dilakukan ? dengan melihat praktek yang terjadi tentunya sudah pantasnya pemerintah melakukan evaluasi mengenai kekurangan-kekurangan tersebut. Presiden RI ketiga B.J. Habibie mencatat bahwa tahun 2004 merupakan tonggak demokrasi yang penting di Indonesia, karena pada tahun ini terjadi sinergi antara kemerdekaan dan kebebasan, di mana kedaulatn sepenuhnya dikembalikan kepada rakyat. Presiden/Wapres dan Pilkada dipilih secara langsung oleh rakyat. Seiring dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang sudah sangat terbatas dan menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah yang besar, maka efektifitas system pemilihan gubernur secara langsung perlu dilakukan peninjauan kembali sebagai berikut:
a.       Tinjauan yuridis
Berdasar:
1)    Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang",
2)    Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis",
3)    Pasal 28D ayat (3) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakanbahwa, "setiap warga negera berhak memperoleh kesempatan yg sama dalam pemerintahan",

            Bahwa tidak ada  perintah  pemilihan  gubernur dipilih  secara  langsung, sehingga  pemilihan gubernur dilakukan  melalui system  perwakilan tidak bertentangan dengan konstitusi.
b.      Tinjauan filosofis
1)    Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk memilih, pemilihan Gubernur melalui sistem perwakilan memiliki derajat ruang partisipasi rakyat untuk memilih lebih rendah dibanding dengan system pemilihan langsung. Sedangkan ruang partisipasi untuk dipilih sama, jika persyaratan calon gubernur sama.
2)    Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk dipilih, baik sistem pemilihan secara langsung maupun melalui perwakilan, akan memiliki nilai sama jika persyaratan bagi kedua sstem tersebut sama.
3)    Dari sisi terbukanya partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan di daerah (provinsi) kurang dapat dijadikan dipertimbangan, karena Gubernur tidak lagi operasional berhubungan langsung dengan masyarakat. Kalaupun ada sebatas kebijakan yang terkait dengan kebijakan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
4)    Dari sisi efektifitas kebijakan pusat di daerah dan harmonisasi kepentingan pusat dan daerah, pemilihan Gubernur melalui perwakilan dimana selain DPRD, Pemerintah juga mempunyai peran dalam menentukan seorang Gubernur akan memiliki nilai yang lebih baik, karena di satu sisi gubernur harus menjamin terlaksananya kebijakan pemerintah pusat di daerah, di sisi lain Gubernur juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat di daerah yang direpresentasikan oleh DPRD.
5)    Dari sisi terjaminnya pelayanan publik, dimana Gubernur harus dapat mejamin dilaksanakannya standar pelayanan minimal bagi pemerintah kabupaten/kota, maka posisi Gubernur yang diangkat oleh pemerintah akan lebih mempunyai wibawa bagi pemerintah kabupaten/kota. Dibanding jika sama-sama dipilih langsung oleh rakyat yang menyiratkan adanya kesejajaran.
6)    Dari sisi kesesuaian dengan format pemerintahan, dengan kewenangan gubernur dalam memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat sudah sangat minim, tinggal yang terkait dengan urusan lintas kabupaten/kota maka relevansi penentuan gubernur melalui pemilihan langsung sudah kurang relevan lagi dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan oleh melakukan pemilihan langsung.

c.       Tinjauan Politis
1)    Perkuatan sistem NKRI.
Sebagaimana yang diatur dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa Indonesia menganut bentuk Negara Kesatuan. Sistem ini bertujuan untuk menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara, sehingga dengan jumlah daerah otonom yang banyak dan luasnya wilayah NKRI, maka untuk mengatasi rentang kendali pemerintahan diperlukan gubernur yang mempunyai ikatan yang kuat dengan pemerintah. Ikatan yang kuat antara pemerintah dengan gubernur akan dapat terwujud jika pemerintah mempunyai peran menentukan terpilihnya gubernur. Untuk itu bagi tegaknya NKRI pemilihan gubernur melalui perwakilan dan juga adanya peran pemerintah dalam menentukan terpilihnya gubernur akan memililki nilai yang lebih baik dibandingkan jika dipilih langsung.

2)    Penataan posisi gubernur dan sumber legitimasi.
Pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat sama dengan pemilihan bupati/walikota telah memposisikan gubernur setara dengan bupati/ walikota sebagai kepala daerah. Pandangan ini juga tercermin pada perangkat daerah yang besar yang membantu gubernur setara atau bahkan lebih besar dengan perangkat daerah yang membantu bupati/walikota, padahal kewenangan gubernur sebagai kepala daerah sudah sangat minim. Seiring dengan minimnya kewenangan gubernur sebagai kepala daerah dan tugas berat sebagai wakil pemerintah, maka sumber legitimasi gubernur akan lebih sesuai jika tidak langsung dari rakyat.
d.      Tinjauan Sosiologis
1)    Menumbuhkan budaya persaingan yang sehat.
Kondisi masyarakat dengan kultur masyarakat yang masih mementingkan kepentingan sesaat dari pada kepentingan jangka panjang, dan belum mendasarkan pilihannya berdasarkan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung dan melalui perwakilan akan banyak menemui kendala dalam menumbuhkan budaya persaingan yang sehat. Akan tetapi dengan melalui pengaturan tertentu pemilihan melalui perwakilan dapat diupayakan para calon bersaing secara sehat.
2)     Menumbuhkan   kesadaran   akan   kebutuhan   pemimpin   yang   mampu membawa kemajuan daerah.
            Dalam kondisi masyarakat yang belum mendasarkan pilihannya atas visi, misi, dan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung masih sulit diharapkan untuk menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa kemajuan daerah, dibanding dengan melalui perwakilan. Karena para wakil rakyat setidaknya akan mendapat beban moral untuk memberi pertanggungjawaban atas pilihannya kepada rakyat yang memilihnya.
e.       Tinjauan efektifitas dan efisiensi
            Dari segi kemudahan untuk dilaksanakan, efektifitas dan efisiensi pelaksanaan pemilihan kepala daerah melalui perwakilan jauh lebih baik dibanding dengan melalui Pilkada secara langsung. Berdasar tinjauan yuridis, filosofis, politis, sosiologis, dan praktis sistem pemilihan gubernur secara langsung lebih banyak kelemahannya dibandingkan dengan jika dipilih melalui sistem perwakilan.
            Selanjutnya perlu juga diperhatikan mengenai sistem pemilihan wakil kepala daerah, di mana dalam UUD Negara Rl Th 1945 Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Tidak ada amanat dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa wakil kepala daerah harus dipilih secara berpasangan dengan kepala daerah. Sistem pemilihan wakil kepala daerah secara langsung berpasangan dengan kepala daerah semula dalam rangka kesesuaian dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara berpasangan. Akan tetapi dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca reformasi sampai sekarang, banyak terjadi hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak harmonis, sehingga adanya wakil kepala daerah diharapkan dapat membantu atau terdapat hubungan sinergi dengan kepala daerah justru hubungan yang saling melemahkan. Hal terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah yang juga sarat dengan kepentingan politik membuat hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver politik yang saling menjatuhkan. Berkenaan dengan kondisi hubungan yang tidak harmonis tersebut perlu dilakukan perumusan ulang sistem pemilhan wakil kepala daerah, agar tidak mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dapat menempatkan wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah.
            Dari kenyataan-kenyataan di atas nampak bahwa system demokrasi pada umumnya dan system pilkada  pada khususnya harus jujur diakui masih mengalami kendala sistemik. Dari sisi hukum hal ini terkait pemahaman tentang “legal system” sebagaimana diajarkan oleh Lawrence Friedmann, bahwa  sub-sistem hukum terdiri atas substansi hukum (legal substance) berupa pelbagai produk legislative yang mendasari system hukum tersebut; kemudian struktur hukum (legal structure) berupa kelembagaan yang menangani system tersebut dan budaya hukum (legal culture) berupa kesamaan pandangan, sikap, perilaku dan filosofi yang mendasari system hukum tersebut. Dalam ketiga sub-sistem tersebut demokrasi dan termasuk pilkada masih memerlukan konsolidasi. Warna transksional dan pragmatism masih menonjol , belum lagi munculnya multi tafsir dan sikap mendua (ambiquitas)  dalam berbagai hal,apalagi apabila budaya hukum semacam ini menghinggapi para pemangku kepentingan, termasuk tokoh-tokoh partai politik yang sering disebut sebagai “legal culture of the insider”.

%*SEKIAN*%





                                                             R E F E R E N S I

Dirjen Otda Depdagri, 2009, Evaluasi Pemilu Kepala Daerah Periode 2005-2008.
Legowo, Tommy A. 2005.Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung,Good Governance, dan Masa Depan Otonomi daerah. Jurnal Desentralisasi Vol.5
UU NO.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
UU NO.12 Tahun 2008 tentang Otonomi Daerah
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, Jogjakarta, Gradien Mediatama.
politik lokal/Patologi Politik dalam Implementasi Otonomi Daerah.htm