Rabu, 15 Mei 2013

BERBAGAI PENDEKATAN DALAM ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK



BERBAGAI PENDEKATAN DALAM ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK
Oleh  Muh. Firyal Akbar A
             Dalam studi mengenai kebiajakan publik setidaknya ada beberapa pendekatan yang dikemukakan oleh para ahli di mana secara komprehensif menjelaskan mengenai pendekatan yang kemudian digunakan dalam merumuskan suatu kebijakan publik, setidaknya dari berbagai sumber didapatkan ada 14 pendekatan yang digunakan dalam analisis kebijakan publik. Adapun berbagai pendekatan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :
1.   Pendekatan Kelompok
         Beberapa kontributor utama dari pendekatan teoritik kelompok terhadap sistem politik dan kebijakan publik bisa disebutkan antara lain adalah: Arthur Bentley (1908), The Process of Government, David Truman (1951), The Government Process, Earl Latham (1952), The Group Basis of Politics. Di kalangan para teoretisi kelompok terdapat pandang­an yang sama tentang konsep kelompok. Menurut mereka, kelompok­kelompok adalah the ultimate "real" of politics. Secara garis besar pendekatan ini menyatakan bahwa pemben­tukan kebijakan pada dasarnya merupakan hasil dari perjuangan anta­ra kelompok-kelompok dalarn masyarakat. Suatu kelompok merupakan kumpulan individu-individu yang diikat oleh tingkah laku atau kepen­tingan yang sama. Mereka mempertahankan dan membela tujuan-tu­juan dalam persaingannya vis-a-vis kelompok-kelompok lain. Bila sua­tu kelompok gagal dalam mencapai tujuan-tujuannya melalui tindak­an-tindakannya sendiri, maka kelompok itu biasanya menggunakan politik dan pembentukan kebijakan publik untuk mempertahankan ke­pentingan kelompoknya. Berbeda dengan apa yang dimaksud suatu kelompok potensial, adalah sekumpulan individu-individu dengan pe­rilaku yang sama, berinteraksi untuk membentuk suatu kelompok, jika kelompok-kelompok lain mengancam kepentingan-kepentingan mereka.
         Dalam rangka memengaruhi kebijakan publik kelompok-kelompok kepentingan barangkali akan menggunakan berbagai macam sumber untuk'memengaruhi pembuatan kebijakan tersebut, seperti misalnya uang, prestise, informasi, perhatian media massa, kepemimpinan dan keahlian-keahlian pengelolaan politik. Sementara itu, kelompok-kelompok yang memiliki sumber-sumber keuangan yang cukup mungkin saja tidak mempunyai sumber lain yang memadai, seperti misalnya: akses terhadap media. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan publik akan mengarah kepada kepentingan kelompok besar yang berpengaruh baik secara ekonomis maupun non-ekonomis dan semakin jauh dari kepentingan kelompok-kelompok kecil.
         Pendekatan kelompok mempunyai anggapan dasar bahwa interaksi dan perjuangan antara kelompok-kelompok merupakan kenyataan dari kehidupan politik. Dalam pandangan kelompok, individu akan mempunyai arti penting hanya bila ia merupakan partisan dalam atau wakil kelompok-kelompok tertentu. Dengan melalui kelompok-kelompoklah individu-individu berusaha untuk mendapatkan pilihan-pilihan politik yang mereka inginkan. Dalam memperjuangkan kepentingan mereka masing-masing, kelompok-kelompok ini dapat menggunakan strategi membentuk koalisi dengan kelompok-kelompok lain dan tetap mengamati politik kebijakan bahwa koalisi-koalisi besar dapat digunakan untuk menundukkan koa lisi kecil. Kelompok-kelompok kepentingan dalam politik lebih memusatkan pada lembaga legislatif, ketimbang cabang-cabang pemerintahan lain dan birokrasi eksekutif menduduki tempat kedua sebagai pilihan-pilihan untuk mendapatkan akses. Kelompok-kelompok mengetahui dengan baik bahwa anggota-anggota dari lembaga legislatif dapat mencampuri kegiatan-kegiatan birokrasi untuk kepentingan mereka. Hal ini bisa ditunjukkan misalnya, dalam demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok mahasiswa, petani maupun buruh hampir selalu ditujukan kepada lembaga legislatif. Sementara itu, hu¬bungan-hubungan antara kelompok-kelompok dengan birokrasi cenderung semakin erat dan lebih baik, jika kedua kekuatan itu mempunyai struktur-struktur fungsional yang paralel.
         Namun demikian, seperti diungkapkan oleh Anderson, pendekatan ini mempunyai kelemahan, yakni terlalu meremehkan peran be-bas dan kreatif yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan publik. Ini disebabkan oleh perhatiannya yang terlalu berlebihan terhadap peran kelompok-kelompok dalam sistem politik. Oleh karena itu, menganalisis kebijakan publik hanya mendasarkan pada pendekatan kelompok menjadi agak kurang memadai tanpa memerhatikan faktor-faktor lain yang memengaruhi proses pembuatan kebijakan publik.
2.   Pendekatan Proses Fungsional
Harold Lasswell mengemukakan tujuh kategori analisis fungsional yang dapat digunakan sebagai dasar bagi pembahasan teori fungsional:
1.Inteligensi: Bagaimana informasi tentang masalah-masalah kebijakan mendapat perhatian para pembuat keputusan-keputusan kebijakan dikumpulkan dan diproses.
2.Rekomendasi: Bagaimana rekomendasi-rekomendasi atau alternatif-alternatif untuk mengatasi suatu masalah tertentu dibuat dan dikembangkan.
3.Preskripsi: Bagaimana peraturan-peraturan umum dipergunakan atau diterapkan dan oleh siapa?
4.Permohonan (invocation): Siapa yang menentukan apakah perilaku tertentu bertentangan dengan peraturan-peraturan atau undang-undang dan menuntut penggunaan peraturan-per¬aturan atau undang-undang?
5.Aplikasi: Bagaimana undang-undang atau peraturan-peraturan sebenarnya diterapkan atau diberlakukan?
6.Penilaian: Bagaimana pelaksanaan kebijakan, keberhasilan atau kegagalan itu dinilai?
7.Terminasi: Bagaimana peraturan-peraturan atau undang-un-dang semula dihentikan atau dilanjutkan dalam bentuk yang berubah atau dimodifikasi?
         Dalam tahap-tahap selanjutnya dari proses kebijakan, para pembuat kebijakan mungkin berusaha menggunakan informasi baru untuk mengubah proses kebijakan semula. Walaupun Lasswell mengatakan bahwa desain ini sebagai "proses keputusan (decision process)", desain ini berada di luar pembuatan keputusan yang berangkat dari pilihan-pilihan khusus dan sebenarnya mencakup "arah tindakan tentang suatu masalah".
         Desain analisis ini mempunyai beberapa keuntungan. Pertama, desain ini tidak terikat pada lernbaga-lembaga atau peraturan-peraturan politik khusus. Kedua, desain analisis ini memberi keuntungan untuk analisis komparasi pembentukan kebijakan. Untuk tujuan tersebut, orang bisa saja menyelidiki bagaimana fungsi-fungsi yang berbeda ini dilaksanakan, pengaruh apa dan oleh siapa dalam sistem politik atad unit-unit pemerintahan yang berbeda dilakukan. Namun demikian, desain ini juga mempunyai kelemahan. Penekanannya pada kategori-kategori fungsional mungkin akan menyebabkan pengabaian terhadap politik pembentukan kebijakan dan pengaruh variabel-variabel lingkungan dalam proses pembuatan kebijakan publik. Dalam bahasa yang lebih ringkas, kita dapat mengatakan bahwa pembentukan kebijakan lebih dari sekedar proses intelektual.
3.   Pendekatan Kelembagaan (Institusionalisme)
         Struktur-struktur dan lembaga-lembaga pemerintah telah lama merupakan fokus yang penting dari ilmu politik. Kajian ilmu politik tradisional memfokuskan studi pada lembaga-lembaga pemerintah. Dalam pandangan tradisional, kegiatan-kegiatan politik secara umum berpusat di sekitar lembaga-lembaga pemerintah tertentu, seperti kongres, kepresidenan, pengadilan, pemerintah daerah, partai politik dan sebagainya. Kegiatan individu-individu dan kelompok-kelompok secara umum diarahkan kepada lembaga-lembaga pemerintah dan kebijakan publik secara otoritatif ditentukan dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pemerintah.
         Hubungan antara kebijakan publik dan lembaga-lembaga pemerintah dilihat sebagai hubungan yang sangat erat. Suatu kebijakan tidak menjadi suatu kebijakan publik sebelum kebijakan itu ditetapkan dan dilaksanakan oleh suatu lembaga pemerintah. Lembaga-lembaga pemerintah memberi dua karakteristik yang berbeda terhadap kebijakan publik. Pertama, pemerintah memberi legitimasi kepada kebijakan-kebijakan. Kebijakan-kebijakan pemerintah secara umum dipandang sebagai kewaiiban yang sah yang menuntut loyalitas warga negara.  Kedua, kebijakan-kebijakan pemerintah membutuhkan universalitas. Hanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang menjangkau dan dapat menghukum secara sah orang-orang yang melanggar kebijakan tersebut. Sanksi-sanksi yang dapat dijatuhkan oleh kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi lain dalam masyarakat bersifat lebih terbatas dibandingkan dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Dengan demikian, keunggulan dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah bahwa kebijakan tersebut dapat menuntut loyalitas dari semua warganegaranya dan mempunyai ke-mampuan membuat kebijakan yang mengatur seluruh masyarakat dan memonopoli penggunaan kekuatan secara sah yang mendorong individu-individu dan kelompok membentuk pilihan-pilihan mereka dalam kebijakan.
Sekalipun demikian, pendekatan ini juga mempunyai kelemahan sebagaimana pendekatan-pendekatan yang lain. Kelemahan pendekatan tradisional yang paling mencolok adalah bahwa pendekatan lembaga dalam ilmu politik tidak mencurahkan perhatian yang banyak pada hubungan antar struktur lembaga-lembaga pemerintah dan substansi kebijakan publik. Sebaliknya, studi-studi lembaga biasanya lebih berusaha menjelaskan lembaga-lembaga pemerintah secara khusus, seperti misalnya struktur, organisasi, kewajiban dan fungsi-fungsi tanpa secara otomatis menyelidiki dampak dari karakteristik-karakteristik lembaga-lembaga tersebut pada hasil-hasil kebijakan. Aturan-aturan konstitusi dan undang-undang dijelaskan secara terperinci sebagaimana kantor-kantor dan badan-badan pemerintah yang banyak sekali jumlahnya, baik di pusat maupun di daerah-daerah. Kebijakan-kebijakan publik seringkali dijelaskan, tetapi jarang dianalisis dan hubungan antara struktur dan kebijakan publik secara luas tidak diselidiki.
4.   Pendekatan Peran Serta Warga Negara
         Penjelasan pembuatan kebijakan publik ini,didasarkan pada pemikiran demokrasi klasik dari John Locke dan pemikiran John Stuart Mill, yang menekankan pengaruh yang baik dari peran warganegara dalam perkembangan kebijakan publik. Dengan keikutsertaan warga-negara dalam masalah-masalah masyarakat, maka para warganegara akan memperoleh pengetahuan dan pemahaman, mengembangkan rasa tanggung jawab sosial yang penuh, dan menjangkau perspektif mereka di luar batas-batas kehidupan pribadi.
         Teori peran serta warganegara didasarkan pada harapan-harapan yang tinggi tentang kualitas warganegara dan keinginan mereka untuk terlibat dalam kehidupan publik. Menurut teori ini, dibutuhkan warganegara yang memiliki struktur-struktur kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai dan fungsi-fungsi demokrasi. Setiap warga negara harus memiliki cukup kebebasan untuk berperan serta dalam masalah-ma¬salah politik, mempunyai sikap kritis yang sehat dan harga diri yang cukup dan yang lebih penting adalah perasaan mampu, dan  di atas segala-galanya, para warganegara harus tertarik dalam politik dan menjadi terlibat secara bermakna.
         Dengan adanya peningkatan program-program kesejahteraan publik serta ditopang oleh tingkat pendidikan masyarakat yang semakin baik, banyak sekali warganegara yang semakin terlibat dalam kegiatan politik dan sering berhubungan langsung dengan birokrasi-birokrasi pemerintah. Selain itu, mereka biasanya juga memiliki pengetahuan yang terinci tentang program-program dan prosedur-prosedur pemerintah sejalan dengan usaha para warganegara. Beberapa penelitian berkenaan dengan peran serta warganegara mengungkapkan bahwa para pembuat kebijakan lebih responsif terhadap warganegara yang mempunyai peran serta daripada warganegara yang tidak mempunyai peran serta. Di samping itu, mereka cenderung menerima tuntutan-tuntutan dan pilihan-pilihan agenda yang diusulkan oleh kelompok warganegara yang berperan serta dalam rangka memecahkan masalah.
5.   Pendekatan Psikologis
         Pokok perhatian pendekatan ini diberikan pada hubungan antar pribadi dan faktor-faktor kejiwaan yang memengaruhi tingkah laku orang-orang yang terlibat dalam proses pelaksanaan kebijakan. Individu-individu selama dalam proses pelaksanaan kebijakan tidak kehilangan diri, tetapi sebaliknya mereka dianggap sebagai peserta yang sangat penting yang memainkan peran penting dalam pembentukan kebijakan. Menurut Amir Santoso pendekatan ini juga menjelaskan hubungan antarpribadi antara perumus dan pelaksana kebijakan. Hubungan tersebut menjadi variabel yang menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu program. Dengan merujuk pendapat McLaughlin, Amir Santoso menyatakan bahwa terdapat tiga jenis hubungan yang berbeda antara perumus kebijakan dengan pelaksana kebijakan, yakni adaptasi bersama, kooptasi dan non-implementasi.
6.   Pendekatan Proses
         Dalam pendekatan ini, masalah¬masalah masyarakat pertama-tama diakui sebagai suatu isu untuk dilakukan tindakan, dan kemudian kebijakan ditetapkan, diimplementasikan oleh para pejabat agensi, dievaluasi, dan akhirnya diterminasi atau diubah atas dasar keberhasilan atau kekurangannya. Tentu saja proses ini jauh lebih kompleks, ketimbang gambaran yang lebih sederhana ini. Namun demikian, pada saat kita bicara tentang siklus kebijakan, kita bicara suatu proses kebijakan melalui mana kebanyakan kebijakan publik melintas. Sekalipun, realitas dari proses kebijakan adalah sangat kompleks, proses ini bisa dipahami secara lebih baik dengan membayangkannya seolah-olah kebijakan itu melewati sejumlah tahap yang berbeda-beda.
7.   Pendekatan Subtantif
         Beberapa ilmuwan kebijakan berpendapat bahwa keahlian (ex-pertise) dalam bidang substantif sangat dibutuhkan dan memberikan kepada seseorang kredibilitas yang sangat besar, ketimbang seorang analis kebijakan "generic" yang merupakan seorang spesialis kebijakan kesejahteraan bulanan dan spesialis kebijakan penanggulangan kejahatan bulan berikutnya. Untuk memeroleh keahlian dalam suatu bidang substantif seringkali membutuhkan seseorang menjadi akrab de-ngan aspek-aspek teknik dan politik dari suatu bidang kebijakan. Misalnya, Charles O. Jones menulis sebuah buku klasik tentang kebijakan kualitas udara dalam tahun 1970-an; dia harus mempunyai hubungan yang sangat akrab dengan isu-isu teknik maupun isu-isu politik yang berkaitan dengan udara bersih. Dengan melakukan hal demikian, dia mampu menghasilkan sebuah buku yang sangat bagus yang mengom-binasikan keterampilan analisis kebijakan dengan keahlian substantif.
         Di lain sisi, beberapa ilmuwan kebijakan berpendapat bahwa pengetahuan substantif secara relatif tidak diperlukan untuk menjadi seorang analis kebijakan yang bagus. Sebaliknya, mereka berpendapat bahwa seseorang hanya membutuhkan keterampilan dalam proses dan metode kebijakan publik. Substansi secara relatif tidak penting.Namun demikian, dalam pandangan Lester dan Stewart, substansi adalah penting, karena bisa memberikan seseorang suatu wawasan tentang persoalan-persoalan yang ditanyakan dalam melakukan suatu analisis kebijakan. Pengetahuan tentang substansi ini dibutuhkan untuk memahami dan untuk menginterpretasikan penemuan-penemuan empirik dari seorang peneliti.

8.   Pendekatan Logical-Positivist
         Pendekatan logical-positivist, seringkali disebut sebagai pendekatan perilaku (behavioral approach) atau pendekatan keilmuan (scientific approach), menganjurkan penggunaan teori-teori yang berasal dari penelitian deduktif (deductively derived theories), model-model, pengujian hipotesis, data keras (hard data), metode komparasi, dan analisis statistik yang ketat. "Keilmuan" (scientific) dalam konteks ini mempunyai makna beberapa hal. Pertama, mempunyai makna mengklarifikasi konsep-konsep kunci yang digunakan dalam analisis kebijakan. Misalnya, konsep-konsep, seperti implementasi kebijakan harus didefinisikan lebih hati-hati, ketimbang pada masa lalu. Sebelumnya, implementasi didefinisikan sebagai dikotomi ya/ tidak, ketimbang sebagai suatu proses merancang garis-garis pedoman, menyediakan dana, memonitor kinerja, dan memperbaiki undang-undang. Kedua, mempunyai makna bekerja dari teori eksplisit tentang perilaku kebijakan, dan menguji teori ini dengan hipotesis-hipotesis. Ketiga, mempunyai makna menggunakan data keras, mengembangkan langkah-langkah yang baik terhadap berbagai fenomena, dan secara ideal, menyelidiki bermacam-macam penjelasan melewati waktu.
9.   Pendekatan Ekonometrik
         Pendekatan ekonometerik, kadangkala dinamakan pendekatan pilihan publik (the public choice approach) atau pendekatan ekonomi politik, terutama didasarkan pada teori-teori ekonomi politik. Pendekatan ini menjelaskan bahwa sifat alami manusia diasumsikan "rasional," atau dimotivasi oleh pencapaian secara pribadi murni. Pendekatan ini beranggapan bahwa orang mengejar preferensi-preferensi mereka yang berbobot tetap, terlepas hasil-hasil kolektif.Secara esensial, pendekatan ini mengintegrasikan wawasan umum tentang riset kebijakan publik dengan metode-metode keuangan publik. Misalnya, diasumsikan bahwa preferensi-preferensi individu adalah sempit dan beragam, yang membutuhkan individu mengagregasikan preferensi-preferensinya ke dalam masyarakat luas yang bisa meminta tindakan pemerintah. Pendekatan ini telah memperoleh respek dal am ilmu kebijakan, sekalipun dikritik sebagai pendekatan yang agak sempit terhadap analisis kebijakan. Secara khusus, ada yang berpendapat bahwa pendekatan ini tidak sama sekali salah, tetapi pendekatan ini dianggap tidak lengkap dalam asumsi-asumsinya tentang sifat manusia dan kekuasaan politik. Secara khusus, manusia adalah altruistik (tidak hanya rasional atau egois), dan dengan demikian, kadangkala dimotivasi untuk melayani kepentingan publik atau kepentingan kolektif.
10.Pendekatan Fenomenologik (Postpositivist)
         Pendekatan ini dinamakan pendekatan phenomologik, naturalistik, atau postpositivist. Pada intinya, pendekatan ini berpendapat bahwa para analis perlu mengadopsi" suatu respek bagi penggunaan intuisi yang sehat secara tertib, yang dirinya dilahirkan dari pengalaman yang tidak bisa direduksi ke model, hipotesis, kuantifikasi, dan data keras," Secara metodologik, para analis memperlakukan setiap potongan dari fenomena sosial sebagai suatu peristiwa yang unik, dengan indeks etnografik dan indeks kualitatif menjadi yang paling penting. Pandangan alternatif ini dideskripsikan oleh kepedulian-nya dengan pemahaman, ketimbang prediksi, dengan hipotesis-hipotesis kerja, ketimbang dengan pengujian hipotesis yang ketat, dan dengan hubungan timbal balik antara peneliti dan obyek studi, ketimbang observasi yang terpisah di pihak para analis. Untuk mengumpulkan "bukti," pendekatan ini lebih memanfaatkan penggunaan studi-studi kasus secara berkelanjutan, ketimbang menggunakan teknik-teknik analisis yang canggih. Singkatnya, pendekatan ini lebih menekankan kepeduliannya pada keketatan keilmuan dengan intuisi dan pem-benaman secara menyeluruh dalam informasi yang relevan.
11.Pendekatan Partisipatori
         Pendekatan partisipatori ini dikaitkan dengan pandangan Peter DeLeon, yang mempunyai kaitan erat dengan tantangan pospositivist, dan mencakup inklusi perhatian yang besar dan nilai-nilai dari berbagai stakeholders dalam proses pembuatan keputusan kebijakan. Pendekatan ini agaknya lebih dekat dengan apa yang disebut oleh Harold Lasswell, policy sciences of democracy, di mana populasi yang diperluas dari para warganegara yang dipengaruhi terlibat dalam perumusan dan implementasi kebijakan publik melalui serangkaian dialog yang tidak berkesinambungan. Pendekatan ini mencakup dengar pendapat terbuka secara ekstensif dengan sejumlah besar warganegara yang mempunyai kepedulian, di mana dengai pendapat ini disusun dalam suatu cara untuk mempercepat para individu, kelompok-kelompok kepentingan, dan para pejabat agensi memberikan kontribusi mereka kepada pembuatan desain dan redesain kebijakan. Tujuan yang dinyatakan dari analisis kebijakan partisipatori adalah mengumpulkan informasi sehingga para pembentuk kebijakan bisa membuat rekomendasi dan keputusan yang lebih baik.
         Di lain sisi, kritik-kritik terhadap pendekatan partisipatori seringkali mengatakan bahwa keterlibatan warganegara yang meningkat akan menimbulkan peningkatan pula dalam pertikaian kelompok atas program dan prosedur, dan hal ini akan menimbulkan penundaan yang tidak ada gunanya dalam perumusan dan implementasi, sehingga biaya pembuatan kebijakan dan implementasi akan meningkat pula secara dramatis, dan kepentingan-kepentingan yang tidak senang akan mencoba merusak program-program melalui litigasi atau minta per-lindungan kepada parlemen. Lebih dari itu, di mana eksperimen-eksperimen partisipatori telah dicoba sebelumnya, kebingungan dan konflik akan segera meningkat. Pendekatan partisipatori mungkin bermanfaat sebagai arahan kepada pembentukan agenda, perumusan kebijakan, dan implementasi kebijakan, ketimbang tahap-tahap lain dalam proses kebijakan publik. Dalam beberapa hal, pendekatan ini lebih merupakan preskripsi untuk desain atau redesain kebijakan atau, ketimbang sebagai suatu pendekatan empirik untuk memahami pembentukan kebijakan atau implementasi.
12. Pendekatan Normatif dan Perskriptif
         Dalam pendekatan normatif atau preskriptif, analis perlu men-definisikan tugasnya sebagai analis kebijakan sama seperti orang yang mendefinisikan "end state," dalam arti bahwa preskripsi ini bisa diinginkan dan bisa dicapai. Para pendukung pendekatan ini seringkali menyarankan suatu posisi kebijakan dan menggunakan retorika dalam suatu cara yang sangat lihai untuk meyakinkan pihak lain tentang manfaat dari posisi mereka. Beberapa contoh dari tipe analisis kebijakan ini bisa dilihat dari hasil-hasil studi yang dilakukan oleh Henry Kissinger, Jeane Kirkpatrick, atau para ilmuwan politik praktisi lainnya. Pada intinya, mereka menggunakan argumen-argumen yang lihai dan (kadangkala) secara selektif menggunakan data untuk mengajukan suatu posisi politik dan untuk meyakinkan pihak lain bahwa posisi mereka dalam suatu pilihan kebijakan yang layak. Kadangkala, tipe analisis ini mengarah kepada tuduhan bahwa para analis kebijakan seringkali menyembunyikan ideologi mereka sebagai ilmu.
13.Pendekatan Ideologik
         Thomas Sowell menamakan pendekatan ideologi ini "visi" (visions) dan mengidentifikasi dua perspektif yang bersaing. Pertama, "visi yang dibatasi" (the constrained vision) merupakan suatu gambaran manusia egosenttrik dengan keterbatasan moral. Oleh karenanya, tantangan moral dan sosial yang fundamental adalah untuk membuat yang terbaik dari kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam keterpaksaan/keterbatasan ketimbang menghamburkan energi dalam suatu upaya yang sia-sia untuk mengubah sifat manusia. Dengan logika ini, kemudian, orang seyogianya mengandalkan pada insentif, ketimbang disposisi, untuk mendapatkan perilaku yang pantas. Prospek dari ganjaran atau ketakutan terhadap hukuman memberikan insentif untuk memeroleh perilaku yang pantas. Secara fundamental, hal ini menghasilkan suatu pandangan konservatif tentang sifat manusia dan akan mengarah kepada posisi kebijakan yang lebih konservatif, jika orang beranggapan bahwa keterpaksaan utama berasal dari dalam individu, ketimbang pembebanan yang berasal dari lingkungan di luar individu.
         Kedua, "visi yang tidak dibatasi" (the unconstrained vision) memberikan suatu pandangan tentang sifat manusia di mana pemahaman dan disposisi manusia adalah mampu untuk memeroleh keuntungan-keuntungan sosial. Menurut perspektif ini, manusia mampu merasakan secara langsung kebutuhan-kebutuhan orang lain lebih penting, ketimbang kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri, dan karenanya mampu bertindak secara konsisten dan secara adil, bahkan pada saat kepentingan-kepentingan mereka atau keluarga mereka terlibat. Kemudian, pandangan tentang sifat manusia ini, seringkali dikaitkan dengan pandangan liberal bahwa sifat manusia adalah tidak mempunyai keterbatasan. Agaknya, keterbatasan justru dikenakan oleh lingkungan di luar individu.
14.Pendekatan Historis/Sejarah
Banyak sarjana kebijakan publik makin meningkatkan perhatian mereka kepada evolusi kebijakan publik melintasi waktu. Peneliti bisa melakukan penelitian tentang kebijakan-kebijakan publik dari perspektif lima puhih tahun atau lebih. Dengan demikian, peneliti bisa melihat pola-pola tertentu dalam bentuk kebijakan publik yang sebelumnya yang tidak dikenali karena analisis menggunakan kerangka waktu yang pendek (misalnya, analisis lintas sektional atau analisis terbatas pada kurun waktu satu dekade atau lebih). Hanya dengan meneliti kebijakan-kebijakan publik dari titik pandang kurun waktu yang panjang analis bisa memeroleh perspektif yang jauh lebih baik tentang pola¬pola yang ada dalam pembuatan kebijakan publik, baik misalnya di negara-negara maju, seperti di Amerika Serikat, maupun di negara-negara berkembang, seperti di Indonesia.
KESIMPULAN
Masing-masing pendekatan yang telah disampaikan di awal uraian, seperti telah ditunjukkan  sebelumnya mempunyai kelemahan dan keunggulannya masing-masing. Oleh karena itu, dalam tulisan ini tidak berpretensi untuk mengatakan bahwa suatu pendekatan adalah sangat memuaskan atau paling baik untuk melakukan analisis terhadap kebijakan publik dibandingkan dengan pendekatan yang lain. Hal ini terjadi karena bisa jadi suatu pendekatan akan sangat "mumpuni" untuk melakukan analisis terhadap suatu kebijakan tertentu, tetapi mungkin pendekatan tersebut tidak akan banyak membantu dalam melakukan analisis terhadap kebijakan lainnya. Masing-masing teori atau pendekatan lebih memusatkan pada aspek-aspek politik dan pembuatan kebijakan yang berbeda. Oleh karena itu, pendekatan-pendekatan seperti ini tampaknya lebih bermanfaat bagi beberapa tujuan dan beberapa situasi tertentu daripada bagi tujuan-tujuan dan situasi-situasi yang lain. Dengan demikian, secara umum orang tidak harus terikat secara ketat atau dogmatis kepada model atau pendekatan teoritik tertentu.





REFERENSI
Agustino, Leo. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Alfabeta. Bandung
Nugroho, Riant. 2002. Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang. PT Elex Media Komputindo. Jakarta
Subarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik : Konsep, Teori dan Praktek. Pustaka Belajar. Yogyakarta
Winarno, Budi. 2012. Kebijakan Publik (Teori, Proses dan Studi Kasus). CAPS. Jakarta

Senin, 13 Mei 2013

PERAN ELITE LOKAL DALAM PERKEMBANGAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA




PERAN ELITE LOKAL DALAM PERKEMBANGAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

Oleh  Muh. Firyal Akbar A
-          Gambaran Umum Mengenai Konsep otonomi Daerah
            Otonomi Daerah adalah istilah kata yang muncul di Indonesia sebagai manifestasi dari konsep desentralisasi yang diterapkan sejak lahirnya UU NO 22 Tahun 2009 tentang Pemerintahan Daerah yang mempunyai semangat untuk bagaimana mengembangkan daerah dengan asas kemandirian dan tidak sepenuhnya lagi bergantung pada pemerintahan pusat. Sang pelopor atau penggagas lahirnya otonomi daerah ialah salah seorang putra dari kawasan Indonesia timur tepatnya putra sulawesi yakni Ryas Rasyid yang pada waktu itu juga menjabat sebagai Mentri pada masa kepemimpinan ibu Megawati Soekarno Putri. Istilah otonomi daerah oleh sebagian pakar atau ahli sering diartikan sebagai suatu hal positif bagi pemerintah daerah dalam rangka  mengembangkan daerah masing-masing untuk mencapai kesejahtraan rakyat. Mariun (1979)mengungkapkan  bahwa dengan kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri, mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat.Pendapat yang dikemukakan oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi daerah adalah pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara informal berada di luar pemerintah pusat. Sedangkan Philip Mahwood (1983) mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah suatu pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan sendiri yang keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber sumber material yang substansial tentang fungsi-fungsi yang berbeda. Pendapat lainnya ialah yang dikemukakan Vincent Lemius (1986) bahwa otonomi daerah merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan politik maupun administrasi, dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan. Meskipun dalam otonomi daerah ada kebebasan untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah, tetapi dalam kebutuhan daerah senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional, ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
            Setelah kita melihat pendapat para ahli tentang konsep otonomi daerah, dalam Undang-undang juga menjelaskan mengenai definisi otoda itu sendiri sperti dalam UU Nomor 32 tahun 2004 jo. UU Nomor 12 tahun 2008 dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah Hak, kewajiban dan kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lebih lanjut dijelaskan bahwa bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, maka otonomi daerah mempunyai arti bahwa daerah harus mampu :
1.Berinisiatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan kebijaksanaan sendiri.
2. Membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.
3. Menggali sumber-sumber keuangan sendiri.
4. Memiliki alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya.
            Beranjak dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah pada prinsipnya mempunyai tiga
aspek, yaitu :

1.  Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2. Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.
3. Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber pembiayaan sendiri.
            Adapun yang dimaksud dengan hak dalam pengertian otonomi adalah adanya kebebasan pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang kebijaksanaan, pembiyaan serta perangkat pelaksanaannnya. Sedangkan kewajban harus mendorong pelaksanaan pemerintah dan pembangunan nasional. Selanjutnya wewenang adalah adanya kekuasaan pemerintah daerah untuk berinisiatif sendiri, menetapkan kebijaksanaan sendiri, perencanaan sendiri serta mengelola keuangan sendiri.
            Dari beberapa literatur mengenai konsep otonomi daerah dijelaskan bahwa Pemberian otonomi daerah secara luas berdasarkan dengan UU No.32 tahun 2004 diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahtraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
            Prinsip Otonomi daerah menngunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahtraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senjatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.
            Seiring dengan prinsip –prinsip yang telah ada penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahtraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahtraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya ialah bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan dan cita-cita Negara.
-          Sepak Terjang Elite lokal Dalam Implementasi Otonomi Daerah
             Berbicara mengenai implementasi otonomi daerah sejak konsep ini digulirkan lebih dari satu dekade yang lalu mengalami pasang surut dalam pelaksanaannya. Awalnya otoda dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting sebagai tonggak pelaksanaan desentralisasi yang berlandaskan semangat berdemokrasi di mana konsep otoda sendiri lebih memberikan kesempatan atau aksesibilitas kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan khususnya yang ada di daerah. Prinsip otonomi daerah yang menekankan  pada orientasi pada peningkatan kesejahtraan rakyat dengan selalu memperhatikan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Apa yang terjadi dalam pelaksanaan otonomi daerah hingga saat ini justru melahirkan disorientasi terhadap tujuan dan prinsip-prinsip dari konsep otoda sesuai dengan amanat undang-undang, hal ini dapat terlihat dari hasil pelaksanaan otoda secara komprehensif di seluruh indonesia. Sekalipun ada perubahan dari sistem sentralistik ke sistem desentralistik namun tidak secara signifikan dapat merubah daerah menjadi lebih mandiri dan berkembang. Manfaat otoda hanya secara makro yang muncul kepermukaan seperti pengelolaan sebagian urusan seperti yang tertuang dalam pasal UU Nomor 32 tahun 2004 mengenai wewenang baik pemerintah provinsi maupun pemerintah Kabubaten/kota yang dulunya dipegang oleh pusat yang notabene memang harus dilaksanakan oleh daerah dengan tanggungjawab instansi masing-masing. Namun secara mikro pelaksanaan otoda yang berorientasi pada peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka menciptakan kesejahtraan rakyat masih jauh dari harapan.
             Gambaran akan kurangnya efektifitas dalam implementasi otonomi daerah tercermin dari peran elite lokal dalam pengembangan otonomi daerah itu sendiri. Adapun elite lokal yang dimaksud ialah mereka para oknum yang bertanggungjawab dalam mengembangkan dan mengelola daerah untuk menjadi mandiri, para aparat di pemerintahan termasuk para pejabat birokrat, para anggota dewan perwakilan rakyat dari lembaga legislatif dan para stakeholder termasuk para tokoh masyarakat dan tokoh pemuda yang ada dalam lingkup daerah. peran elite lokal dalam melaksanakan otonomi daerah dapat kemudian mendapat penilaian tersendiri khususnya bagi para oknum-oknum yang memiliki otoritas dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. bagaimana tidak  satu dekade lebih dari pelaksanaan otoda dan termasuk dari agenda penting reformasi 1998 para pejabat di daerah semakin banyak yang menikmati jeruji besi dan banyak pula yang akan segera menyusul. Hal inilah yang mungkin dapat mengawali tentang peran elite lokal dalam pelaksanaan otoda hingga saat ini di mana peran elite lokal akan dibahas lebih kompleks lagi.
             Praktek KKN disinyalir menjadi salah satu langkah mundur dalam praktek otoda di Indonesia. dari data yang ada pada beberapa sumber menyebutkan bahwa hampir sebagian besar daerah utamanya daerah Kabupaten/kota memiliki masalah khususnya yang berkaitan dengan korupsi. Tidaklah mengherankan hampir sebagian para pejabat baik itu yang ada ditingkatan eksekutif maupun yang ada di legislatif mewarnai pemberitan di beberapa media, baik itu media cetak maupun elektronik. Dan tidak jarang dari mereka adalah para Bupati atau Walikota dan Ketua DPRD yang langsung terlibat dalam kasus korupsi tersebut, kasus yang masih hangat ialah bagaimana penangkapan Bupati Kabupaten Buol oleh KPK mengenai pembebasan lahan di wilayah tersebut.
             Apa yang terjadi kemudian ialah praktek KKN oleh para elite sudah hampir menjadi kebiasaan bagi mereka, konsekwensinya ialah sudah barang tentu uang rakyat dari APBD yang berasal dari hasil potensi daerah tersebut menjadi sasarannya. Anggaran kemudian menjadi menipis di mana program-program yang ditetapkan dalam perencanaan pembangunan dalam rangka pemberdayaan dan pengembangan masyarakat dan daerah menjadi kurang efektif bahkan ada yang tidak jalan. Hal ini kemudian menjadi ironi bagaimana tidak bahwa terjadi perilaku menyimpang dari para elite lokal dalam rangka memperkaya diri sendiri. Wajar ketika banyak pakar pemerintahan menganggap bahwa konsep otoda saat ini dipahami salah oleh para elite yang mana tujuan mulianya untuk mengurus dan mengelola pemerintahan sesuai dengan potensi yang ada dalam rangka peningkatan kesejahtraan masyarakat malah mereka anggap sebagai kesempatan untuk menjadi raja-raja kecil di daerah mereka sendiri. Satu hal yang sangat miris saat ini di daerah ialah munculnya istilah “korupsi berjemaah”, ada lagi yang menganggap jika tidak korupsi tidak afdol hingga istilah “korupsi sudah biasa”. Maraknya praktek korupsi yang terjadi di daerah seakan terorganisir dengan “hubungan gelap” antara para elite yang ada di daerah dengan ada yang di pusat sehingga memang wajar jika praktek KKN oleh para elite sangat rapi.
             Disorientasi dari peran elite lokal dalam pelaksanaan otoda ialah dalam memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat yang juga berhubungan dengan kesejahtraan masyarakat dalam bidang keamanan. Penjelasannya ialah bahwa para elite lokal yang bersaing dalam rangka mencapai kekuasaan untuk menjadi “Raja kecil” di daerah sudah tidak memperdulikan lagi etika dalam berpolitik. Hal tersebut kemudian terlihat bagaimana para elite lokal menghalalkan segala cara hingga berujung pada konflik horisontal baik yang bersifat fisik maupun yang non fisik antara para warga masyarakat sampai menimbulkan beberapa korban jiwa. Tentu masih segar dalam ingatan kita bagaimana di beberapa daerah terjadi kerusuhan mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung dikarenakan beberapa pihak yang kalah merasa dicurangi, menerima ketidakadilan dan berbagai alasan lain yang mengakibatkan konflik antar pendukung. Padahal jika kita flash kebelakang pemilihan langsung kepala daerah sebagai salah satu dari wujud nyata pelaksanaan otonomi daerah ialah bagaimana masyarakat dapat secara langsung memilih pemimpinnnya di daerah dengan mengutamakan asas jujur dan adil tanpa ada paksaan dari pihak manapun termasuk para elite lokal.implikasi yang timbul kemudian dirasakan oleh masyarakat itu sendiri di mana rasa aman warga masyarakat terusik dengan ulah sebagian elite yang mempunyai kepentingan individu yang bukan mengutamakan kepentingan rakyat. Padahal, kebutuhan akan rasa aman sangat diperlukan oleh masyarakat. Sungguh sangat disayangkan oleh karena ulah para elite yang tidak bertanggungjawab tersebut beberapa masyarakat harus meregang nyawa dan kehilangan harta benda.
             Disorientasi peran elite lokal dalam pelaksanaan otoda selanjutnya masih berhubungan dengan pemilihan kepala daerah secara langsung sebagai manifestasi konsep otoda itu sendiri, di mana letak permasalahannya ketika kita Bila merujuk pada UU Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004 Bab V Pasal 130 ayat 1 dan 2 dimana pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam Eselon II pada pemerintahan daerah sepenunya merupakan domain kepala daerah (Gubernur, Walikota dan Bupati), ini memberikan legitimasi hukum yang kuat menyangkut kewenangan daerah dalam mengelola kepegawaian daerah. Pasal ini sangat jelas menggambarkan Kepala Daerah mempunyai otoritas kuat dalam memetakan dan menentukan formasi jabatan di daerah. Dengan otoritasnya yang begitu kuat, implikasi penyalahgunaan wewenang ini sering kali terjadi dalam mengelola apartur atau pegawai negeri sipil daerah. Pola pembinaan manajemen dan kaitannya dalam menentukan orang-orang dalam rangka memenuhi pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian yang seharusnya dilakukan dengan asas kepastian hukum, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalisme, asas akuntabilitas, asas efisiensi dan asas efektifitas, tetapi kecendenderungan yang terjadi asas-asas tersebut diabaikan, karena seringkali kepala daerah menggunakan pendekatan politis dalam rangka membangun jaringan dan memetakan konsolidasi birokrasi sebagai cara membangun kekuatan politik dari dalam birokrasi. Siapa mendukung siapa, adalah patron yang digunakan dalam rangka membentuk formatur pejabat daerah.
             Pola-pola seperti ini biasanya dilakukan menjelang Pemilihan Kepala daerah atau setelah Pemilihan Kepala Daerah. Asas timbal balik menjadi “kue” yang menjanjikan bagi para pejabat publik daerah, karena secara instan jabatan tertentu sebagai pengembangan karirnya di kepegawaian dapat diperoleh. Hal ini menjadi pertaruhan karir tersendiri bagi para pejabat publik, karena menjelang Pemilukada blok-blok dukungan yang sudah terpetakan sebelumnya akan bertarung menjagokan masing-masing calonnya, Para pejabat dari mulai pejabat Dinas, Camat, Lurah dan Kepala Desa seolah menjadi agen partai atau tim sukses calon kepala daerah tertentu. Manakala calon yang didukungnya menang, asas timbal balik akan dilakukan, artinya pengangkatan dan pemindahan yang diinginkan akan diberikan dengan instan sebagai imbalan politik, akan tetapi manakala calon yang didukung kalah, maka secara karir akan terkucil. Pengembangan karir pegawai negeri sipil daerah seharusnya di dasari oleh pasal 133 UU Otonomi Daerah yang harus mempertimbangkan integritas dan moralitas, pendidikan dan pelatihan, pangkat, mutasi jabatan dan kompetensi. Analisa penulis mengenai polarisasi birokrasi oleh para elite menjelang Pemilukada ini diklasifikasikan menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok loyal. Kelompok ini memiliki konsistensi yang tinggi ketika mendukung seseorang calon, dan cenderung untuk terus menghimpun dan mencari dukungan dari dalam. Kedua, kelompok oportunis. Kelompok ini adalah kelompok yang cenderung ambigu dalam memberikan dukungan, ambiguitas ini dikarenakan selalu menghitung-hitung keuntungan dan kerugian juga mencari keselamatan posisi dan jabatan. Bisa dibayangkan kalau birokrasi dihadapkan pada persoalan politis seperti ini, produktifitas dalam melakukan pelayanan publik akan terganggu. Akan ada gap dan yang lebar antar pejabat, antar Dinas, karena situasi yang serba politis akan menjadi pertimbangan utama dalam mengelola birokrasi daerah, dan hal ini akan berpengaruh kepada ketidak-solidan struktur birokrasi yang ada di daerah dalam melakukan pelayanan publik.
             Peran elite lokal yang lain dianggap tidak relevan dengan semagat otonomi daerah ialah pemekaran daerah untuk menjadi suatu wilayah kekuasaan baik untuk yang menjadi kecamatan, kabupaten maupun provinsi, di mana para elite berlomba untuk ikut berpartisipasi “mempermainkan” kemauan aspirasi masyarakat. Hal yang terjadi para elite yang hanya ingin mendapat keuntungan pribadi berjuang untuk meyakinkan para warga agar bersatu menjadikan wilayah kekuasaannya menjadi lebih baik denga melakukan pemekaran tentunya dengan asumsi ingin mengurus dan mengolah rumah tangganya sendiri demi satu tujuan yakni kesejahtraan. Namun, yang terjadi ialah sesuai dengan hasil diskusi yang didapatkan data bahwa semenjak adanya beberapa daerah yang dimekarkan baik yang berubah menjadi kabupaten maupun  provinsi bahwa hampir 80% lebih wilayah pemekaran tersebut gagal dalam berotonomi. Data tersebut menunjukkan bahwa pengaruh elite  lokal yang dulunya memperjuangkan aspirasi masyarakat utnuk membentuk suatu wilayah baru dalam rangka kesejahtraan hanya sebagai kamuflase bagi mereka untuk berkuasa, dan yang menangung beban dari semua itu ialah warga termasuk daerah itu sendiri. Jangan heran hingga saat ini banyak daerah yang berjuang untuk memekarkan wilayahnya yang notabene hanya diprakarsai oleh sebagian para elite yang berasumsi bahwa itu aspirasi masyarakat walaupun daerah tersebut belum mampu untuk memenuhi syarat administaratif, tehnis maupun fisik dalam rangka membentuk wilayah baru sesuai dengan yang diamanatkan dalam UU pemerintahan derah 32 tahun 2004.
             Pertanyaan yang muncul selanjutnya ialah peran elite lokal yang bagaimana yang harus ada di daerah saat ini yang dapat dikatakan merupakan peran ideal dari para elite lokal dalam implementasi otoda? Berangkat dari hakikat yang terkandung dalam UU NO.32 Tahun 2004 bahwa ada beberapa hak, kewajiban dan kewenagan yang diberikan oleh pusat kepada daerah dalam rangka menagtur dan mengurus pemerintahannya sendiri, secara objektif kita tidak dapat menafikanbahwa pelayanan-pelayan kepada masyarakat secara langsung dan bertanggungjawab sudah dilaksanakan menurut bidang masing-masing. Namun hal ini kemudian menjadi wajar ketika kita memahami bahwa itulah tugas yang harus dilaksanakan oleh seluruh elemen pemerintahan daerah termasuk para elite lokal. Hal yang terpenting kemudian ialah masyarakat bukan hanya merasakan kenyamanan pada saat mereka dilayani atau pada saat proses pelayanan itu sendiri, tetapi yang menjadi tolak ukur dari semuanya itu ialah ketika masyarakat sebagai objek dari pelaksanaan otoda dalam rangka mencapai kesejahtraan merasa akan hal tersebut dan puas berotonomi.
             Tentunya peran positif dan ideal oleh para elite sangat dibutuhkan. Para elite lokal setidaknya melakukan reaktualisasi dari visi dan misi pelaksanaan otoda bagi daerahnya, memberikan kontribusi positif bagi daerah dengan menghilangkan sikap-sikap yang hanya mementingkan kepentingan individu. Selanjutnya memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat dalam berpartisipasi dalam bidang tersebut sehingga tak ada lagi konflik-konflik horisontal yang terjadi di masyarakat. Selanjutnya para elite lokal harus bersikap bijak dalam mengambil segala keputusan yang berkaitan dengan pengembangan daerah. hal yang penting lainnya ialah kemauan untuk membangun daerah karena hal inilah kunci dari berhasil tidaknya otonomi daerah itu dilaksanakan. Jika kemauan dari para elite lokal baik, maka niscaya daerah akan semakin mudah dalam meraih kesejahtaraan di segala aspek kehidupannya. Ya semoga saja.