BERBAGAI PENDEKATAN
DALAM ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK
Oleh Muh. Firyal Akbar A
Dalam studi mengenai kebiajakan
publik setidaknya ada beberapa pendekatan yang dikemukakan oleh para ahli di
mana secara komprehensif menjelaskan mengenai pendekatan yang kemudian
digunakan dalam merumuskan suatu kebijakan publik, setidaknya dari berbagai
sumber didapatkan ada 14 pendekatan yang digunakan dalam analisis kebijakan
publik. Adapun berbagai pendekatan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :
1.
Pendekatan Kelompok
Beberapa
kontributor utama dari pendekatan teoritik kelompok terhadap sistem politik dan kebijakan publik
bisa disebutkan antara lain adalah: Arthur
Bentley (1908), The Process of
Government, David Truman (1951), The Government Process, Earl Latham
(1952), The Group Basis of Politics. Di kalangan para
teoretisi kelompok terdapat pandangan yang
sama tentang konsep kelompok. Menurut mereka,
kelompokkelompok adalah the ultimate "real" of politics.
Secara garis besar pendekatan
ini menyatakan bahwa pembentukan kebijakan pada dasarnya merupakan hasil dari perjuangan antara kelompok-kelompok dalarn
masyarakat. Suatu kelompok merupakan kumpulan
individu-individu yang diikat oleh tingkah laku atau kepentingan yang sama. Mereka mempertahankan dan
membela tujuan-tujuan dalam
persaingannya vis-a-vis kelompok-kelompok
lain. Bila suatu kelompok gagal
dalam mencapai tujuan-tujuannya melalui tindakan-tindakannya sendiri, maka kelompok itu biasanya menggunakan politik dan pembentukan kebijakan publik untuk
mempertahankan kepentingan
kelompoknya. Berbeda dengan apa yang dimaksud suatu kelompok potensial,
adalah sekumpulan individu-individu dengan perilaku
yang sama, berinteraksi untuk membentuk suatu kelompok, jika kelompok-kelompok lain mengancam kepentingan-kepentingan
mereka.
Dalam rangka memengaruhi kebijakan
publik kelompok-kelompok kepentingan barangkali akan menggunakan berbagai macam
sumber untuk'memengaruhi pembuatan kebijakan tersebut, seperti misalnya uang,
prestise, informasi, perhatian media massa, kepemimpinan dan keahlian-keahlian
pengelolaan politik. Sementara itu, kelompok-kelompok yang memiliki sumber-sumber
keuangan yang cukup mungkin saja tidak mempunyai sumber lain yang memadai,
seperti misalnya: akses terhadap media. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan publik
akan mengarah kepada kepentingan kelompok besar yang berpengaruh baik secara
ekonomis maupun non-ekonomis dan semakin jauh dari kepentingan
kelompok-kelompok kecil.
Pendekatan kelompok mempunyai anggapan
dasar bahwa interaksi dan perjuangan antara kelompok-kelompok merupakan kenyataan
dari kehidupan politik. Dalam pandangan kelompok, individu akan mempunyai arti
penting hanya bila ia merupakan partisan dalam atau wakil kelompok-kelompok
tertentu. Dengan melalui kelompok-kelompoklah individu-individu berusaha untuk
mendapatkan pilihan-pilihan politik yang mereka inginkan. Dalam memperjuangkan
kepentingan mereka masing-masing, kelompok-kelompok ini dapat menggunakan
strategi membentuk koalisi dengan kelompok-kelompok lain dan tetap mengamati
politik kebijakan bahwa koalisi-koalisi besar dapat digunakan untuk menundukkan
koa lisi kecil. Kelompok-kelompok kepentingan dalam politik lebih memusatkan
pada lembaga legislatif, ketimbang cabang-cabang pemerintahan lain dan
birokrasi eksekutif menduduki tempat kedua sebagai pilihan-pilihan untuk
mendapatkan akses. Kelompok-kelompok mengetahui dengan baik bahwa
anggota-anggota dari lembaga legislatif dapat mencampuri kegiatan-kegiatan
birokrasi untuk kepentingan mereka. Hal ini bisa ditunjukkan misalnya, dalam
demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok mahasiswa, petani
maupun buruh hampir selalu ditujukan kepada lembaga legislatif. Sementara itu,
hu¬bungan-hubungan antara kelompok-kelompok dengan birokrasi cenderung semakin
erat dan lebih baik, jika kedua kekuatan itu mempunyai struktur-struktur
fungsional yang paralel.
Namun demikian, seperti diungkapkan
oleh Anderson, pendekatan ini mempunyai kelemahan, yakni terlalu meremehkan
peran be-bas dan kreatif yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah dalam
proses pembuatan kebijakan publik. Ini disebabkan oleh perhatiannya yang
terlalu berlebihan terhadap peran kelompok-kelompok dalam sistem politik. Oleh
karena itu, menganalisis kebijakan publik hanya mendasarkan pada pendekatan
kelompok menjadi agak kurang memadai tanpa memerhatikan faktor-faktor lain yang
memengaruhi proses pembuatan kebijakan publik.
2.
Pendekatan Proses
Fungsional
Harold
Lasswell mengemukakan tujuh kategori analisis fungsional yang dapat digunakan
sebagai dasar bagi pembahasan teori fungsional:
1.Inteligensi:
Bagaimana informasi tentang masalah-masalah kebijakan mendapat perhatian para
pembuat keputusan-keputusan kebijakan dikumpulkan dan diproses.
2.Rekomendasi:
Bagaimana rekomendasi-rekomendasi atau alternatif-alternatif untuk mengatasi
suatu masalah tertentu dibuat dan dikembangkan.
3.Preskripsi:
Bagaimana peraturan-peraturan umum dipergunakan atau diterapkan dan oleh siapa?
4.Permohonan
(invocation): Siapa yang menentukan apakah perilaku
tertentu bertentangan dengan peraturan-peraturan atau undang-undang dan
menuntut penggunaan peraturan-per¬aturan atau undang-undang?
5.Aplikasi:
Bagaimana undang-undang atau peraturan-peraturan sebenarnya diterapkan atau
diberlakukan?
6.Penilaian:
Bagaimana pelaksanaan kebijakan, keberhasilan atau kegagalan itu dinilai?
7.Terminasi:
Bagaimana peraturan-peraturan atau undang-un-dang semula dihentikan atau
dilanjutkan dalam bentuk yang berubah atau dimodifikasi?
Dalam tahap-tahap selanjutnya dari
proses kebijakan, para pembuat kebijakan mungkin berusaha menggunakan informasi
baru untuk mengubah proses kebijakan semula. Walaupun Lasswell mengatakan bahwa
desain ini sebagai "proses keputusan (decision process)", desain ini
berada di luar pembuatan keputusan yang berangkat dari pilihan-pilihan khusus
dan sebenarnya mencakup "arah tindakan tentang suatu masalah".
Desain analisis ini mempunyai beberapa
keuntungan. Pertama, desain ini tidak terikat pada lernbaga-lembaga atau
peraturan-peraturan politik khusus. Kedua, desain analisis ini memberi
keuntungan untuk analisis komparasi pembentukan kebijakan. Untuk tujuan
tersebut, orang bisa saja menyelidiki bagaimana fungsi-fungsi yang berbeda ini
dilaksanakan, pengaruh apa dan oleh siapa dalam sistem politik atad unit-unit
pemerintahan yang berbeda dilakukan. Namun demikian, desain ini juga mempunyai
kelemahan. Penekanannya pada kategori-kategori fungsional mungkin akan
menyebabkan pengabaian terhadap politik pembentukan kebijakan dan pengaruh
variabel-variabel lingkungan dalam proses pembuatan kebijakan publik. Dalam
bahasa yang lebih ringkas, kita dapat mengatakan bahwa pembentukan kebijakan
lebih dari sekedar proses intelektual.
3.
Pendekatan
Kelembagaan (Institusionalisme)
Struktur-struktur dan lembaga-lembaga
pemerintah telah lama merupakan fokus yang penting dari ilmu politik. Kajian
ilmu politik tradisional memfokuskan studi pada lembaga-lembaga pemerintah.
Dalam pandangan tradisional, kegiatan-kegiatan politik secara umum berpusat di
sekitar lembaga-lembaga pemerintah tertentu, seperti kongres, kepresidenan,
pengadilan, pemerintah daerah, partai politik dan sebagainya. Kegiatan
individu-individu dan kelompok-kelompok secara umum diarahkan kepada
lembaga-lembaga pemerintah dan kebijakan publik secara otoritatif ditentukan dan
dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pemerintah.
Hubungan antara kebijakan publik dan
lembaga-lembaga pemerintah dilihat sebagai hubungan yang sangat erat. Suatu
kebijakan tidak menjadi suatu kebijakan publik sebelum kebijakan itu ditetapkan
dan dilaksanakan oleh suatu lembaga pemerintah. Lembaga-lembaga pemerintah
memberi dua karakteristik yang berbeda terhadap kebijakan publik. Pertama,
pemerintah memberi legitimasi kepada kebijakan-kebijakan. Kebijakan-kebijakan
pemerintah secara umum dipandang sebagai kewaiiban yang sah yang menuntut
loyalitas warga negara. Kedua,
kebijakan-kebijakan pemerintah membutuhkan universalitas. Hanya
kebijakan-kebijakan pemerintah yang menjangkau dan dapat menghukum secara sah
orang-orang yang melanggar kebijakan tersebut. Sanksi-sanksi yang dapat
dijatuhkan oleh kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi lain dalam masyarakat
bersifat lebih terbatas dibandingkan dengan kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah. Dengan demikian, keunggulan dari kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah adalah bahwa kebijakan tersebut dapat menuntut loyalitas dari semua
warganegaranya dan mempunyai ke-mampuan membuat kebijakan yang mengatur seluruh
masyarakat dan memonopoli penggunaan kekuatan secara sah yang mendorong individu-individu
dan kelompok membentuk pilihan-pilihan mereka dalam kebijakan.
Sekalipun
demikian, pendekatan ini juga mempunyai kelemahan sebagaimana
pendekatan-pendekatan yang lain. Kelemahan pendekatan tradisional yang paling
mencolok adalah bahwa pendekatan lembaga dalam ilmu politik tidak mencurahkan
perhatian yang banyak pada hubungan antar struktur lembaga-lembaga pemerintah
dan substansi kebijakan publik. Sebaliknya, studi-studi lembaga biasanya lebih
berusaha menjelaskan lembaga-lembaga pemerintah secara khusus, seperti misalnya
struktur, organisasi, kewajiban dan fungsi-fungsi tanpa secara otomatis
menyelidiki dampak dari karakteristik-karakteristik lembaga-lembaga tersebut
pada hasil-hasil kebijakan. Aturan-aturan konstitusi dan undang-undang dijelaskan
secara terperinci sebagaimana kantor-kantor dan badan-badan pemerintah yang banyak
sekali jumlahnya, baik di pusat maupun di daerah-daerah. Kebijakan-kebijakan
publik seringkali dijelaskan, tetapi jarang dianalisis dan hubungan antara
struktur dan kebijakan publik secara luas tidak diselidiki.
4.
Pendekatan Peran
Serta Warga Negara
Penjelasan pembuatan kebijakan publik
ini,didasarkan pada pemikiran demokrasi klasik dari John Locke dan pemikiran
John Stuart Mill, yang menekankan pengaruh yang baik dari peran warganegara
dalam perkembangan kebijakan publik. Dengan keikutsertaan warga-negara dalam
masalah-masalah masyarakat, maka para warganegara akan memperoleh pengetahuan dan
pemahaman, mengembangkan rasa tanggung jawab sosial yang penuh, dan menjangkau
perspektif mereka di luar batas-batas kehidupan pribadi.
Teori peran serta warganegara
didasarkan pada harapan-harapan yang tinggi tentang kualitas warganegara dan
keinginan mereka untuk terlibat dalam kehidupan publik. Menurut teori ini,
dibutuhkan warganegara yang memiliki struktur-struktur kepribadian yang sesuai
dengan nilai-nilai dan fungsi-fungsi demokrasi. Setiap warga negara harus
memiliki cukup kebebasan untuk berperan serta dalam masalah-ma¬salah politik,
mempunyai sikap kritis yang sehat dan harga diri yang cukup dan yang lebih
penting adalah perasaan mampu, dan di
atas segala-galanya, para warganegara harus tertarik dalam politik dan menjadi
terlibat secara bermakna.
Dengan adanya peningkatan program-program
kesejahteraan publik serta ditopang oleh tingkat pendidikan masyarakat yang
semakin baik, banyak sekali warganegara yang semakin terlibat dalam kegiatan
politik dan sering berhubungan langsung dengan birokrasi-birokrasi pemerintah.
Selain itu, mereka biasanya juga memiliki pengetahuan yang terinci tentang
program-program dan prosedur-prosedur pemerintah sejalan dengan usaha para
warganegara. Beberapa penelitian berkenaan dengan peran serta warganegara
mengungkapkan bahwa para pembuat kebijakan lebih responsif terhadap warganegara
yang mempunyai peran serta daripada warganegara yang tidak mempunyai peran
serta. Di samping itu, mereka cenderung menerima tuntutan-tuntutan dan pilihan-pilihan
agenda yang diusulkan oleh kelompok warganegara yang berperan serta dalam
rangka memecahkan masalah.
5.
Pendekatan Psikologis
Pokok perhatian pendekatan ini
diberikan pada hubungan antar pribadi dan faktor-faktor kejiwaan yang
memengaruhi tingkah laku orang-orang yang terlibat dalam proses pelaksanaan
kebijakan. Individu-individu selama dalam proses pelaksanaan kebijakan tidak
kehilangan diri, tetapi sebaliknya mereka dianggap sebagai peserta yang sangat
penting yang memainkan peran penting dalam pembentukan kebijakan. Menurut Amir
Santoso pendekatan ini juga menjelaskan hubungan antarpribadi antara perumus
dan pelaksana kebijakan. Hubungan tersebut menjadi variabel yang menentukan
keberhasilan atau kegagalan suatu program. Dengan merujuk pendapat McLaughlin,
Amir Santoso menyatakan bahwa terdapat tiga jenis hubungan yang berbeda antara
perumus kebijakan dengan pelaksana kebijakan, yakni adaptasi bersama, kooptasi
dan non-implementasi.
6.
Pendekatan Proses
Dalam pendekatan ini, masalah¬masalah
masyarakat pertama-tama diakui sebagai suatu isu untuk dilakukan tindakan, dan
kemudian kebijakan ditetapkan, diimplementasikan oleh para pejabat agensi,
dievaluasi, dan akhirnya diterminasi atau diubah atas dasar keberhasilan atau
kekurangannya. Tentu saja proses ini jauh lebih kompleks, ketimbang gambaran
yang lebih sederhana ini. Namun demikian, pada saat kita bicara tentang siklus
kebijakan, kita bicara suatu proses kebijakan melalui mana kebanyakan kebijakan
publik melintas. Sekalipun, realitas dari proses kebijakan adalah sangat
kompleks, proses ini bisa dipahami secara lebih baik dengan membayangkannya
seolah-olah kebijakan itu melewati sejumlah tahap yang berbeda-beda.
7.
Pendekatan Subtantif
Beberapa ilmuwan kebijakan berpendapat
bahwa keahlian (ex-pertise) dalam bidang substantif sangat dibutuhkan dan
memberikan kepada seseorang kredibilitas yang sangat besar, ketimbang seorang analis
kebijakan "generic" yang merupakan seorang spesialis kebijakan kesejahteraan
bulanan dan spesialis kebijakan penanggulangan kejahatan bulan berikutnya.
Untuk memeroleh keahlian dalam suatu bidang substantif seringkali membutuhkan
seseorang menjadi akrab de-ngan aspek-aspek teknik dan politik dari suatu
bidang kebijakan. Misalnya, Charles O. Jones menulis sebuah buku klasik tentang
kebijakan kualitas udara dalam tahun 1970-an; dia harus mempunyai hubungan yang
sangat akrab dengan isu-isu teknik maupun isu-isu politik yang berkaitan dengan
udara bersih. Dengan melakukan hal demikian, dia mampu menghasilkan sebuah buku
yang sangat bagus yang mengom-binasikan keterampilan analisis kebijakan dengan
keahlian substantif.
Di lain sisi, beberapa ilmuwan
kebijakan berpendapat bahwa pengetahuan substantif secara relatif tidak diperlukan
untuk menjadi seorang analis kebijakan yang bagus. Sebaliknya, mereka
berpendapat bahwa seseorang hanya membutuhkan keterampilan dalam proses dan
metode kebijakan publik. Substansi secara relatif tidak penting.Namun demikian,
dalam pandangan Lester dan Stewart, substansi adalah penting, karena bisa
memberikan seseorang suatu wawasan tentang persoalan-persoalan yang ditanyakan
dalam melakukan suatu analisis kebijakan. Pengetahuan tentang substansi ini
dibutuhkan untuk memahami dan untuk menginterpretasikan penemuan-penemuan
empirik dari seorang peneliti.
8.
Pendekatan
Logical-Positivist
Pendekatan logical-positivist, seringkali
disebut sebagai pendekatan perilaku (behavioral approach) atau pendekatan
keilmuan (scientific approach), menganjurkan penggunaan teori-teori yang
berasal dari penelitian deduktif (deductively derived theories), model-model,
pengujian hipotesis, data keras (hard data), metode komparasi, dan analisis
statistik yang ketat. "Keilmuan" (scientific) dalam konteks ini
mempunyai makna beberapa hal. Pertama,
mempunyai makna mengklarifikasi konsep-konsep kunci yang digunakan dalam
analisis kebijakan. Misalnya, konsep-konsep, seperti implementasi kebijakan
harus didefinisikan lebih hati-hati, ketimbang pada masa lalu. Sebelumnya,
implementasi didefinisikan sebagai dikotomi ya/ tidak, ketimbang sebagai suatu
proses merancang garis-garis pedoman, menyediakan dana, memonitor kinerja, dan
memperbaiki undang-undang. Kedua,
mempunyai makna bekerja dari teori eksplisit tentang perilaku kebijakan, dan menguji
teori ini dengan hipotesis-hipotesis. Ketiga,
mempunyai makna menggunakan data keras, mengembangkan langkah-langkah yang baik
terhadap berbagai fenomena, dan secara ideal, menyelidiki bermacam-macam
penjelasan melewati waktu.
9.
Pendekatan
Ekonometrik
Pendekatan ekonometerik, kadangkala
dinamakan pendekatan pilihan publik (the public choice approach) atau
pendekatan ekonomi politik, terutama didasarkan pada teori-teori ekonomi
politik. Pendekatan ini menjelaskan bahwa sifat alami manusia diasumsikan
"rasional," atau dimotivasi oleh pencapaian secara pribadi murni. Pendekatan
ini beranggapan bahwa orang mengejar preferensi-preferensi mereka yang berbobot
tetap, terlepas hasil-hasil kolektif.Secara esensial, pendekatan ini
mengintegrasikan wawasan umum tentang riset kebijakan publik dengan
metode-metode keuangan publik. Misalnya, diasumsikan bahwa
preferensi-preferensi individu adalah sempit dan beragam, yang membutuhkan individu
mengagregasikan preferensi-preferensinya ke dalam masyarakat luas yang bisa
meminta tindakan pemerintah. Pendekatan ini telah memperoleh respek dal am ilmu
kebijakan, sekalipun dikritik sebagai pendekatan yang agak sempit terhadap analisis
kebijakan. Secara khusus, ada yang berpendapat bahwa pendekatan ini tidak sama
sekali salah, tetapi pendekatan ini dianggap tidak lengkap dalam
asumsi-asumsinya tentang sifat manusia dan kekuasaan politik. Secara khusus,
manusia adalah altruistik (tidak hanya rasional atau egois), dan dengan
demikian, kadangkala dimotivasi untuk melayani kepentingan publik atau
kepentingan kolektif.
10.Pendekatan
Fenomenologik (Postpositivist)
Pendekatan ini dinamakan pendekatan phenomologik,
naturalistik, atau postpositivist. Pada intinya, pendekatan ini berpendapat
bahwa para analis perlu mengadopsi" suatu respek bagi penggunaan intuisi
yang sehat secara tertib, yang dirinya dilahirkan dari pengalaman yang tidak
bisa direduksi ke model, hipotesis, kuantifikasi, dan data keras," Secara
metodologik, para analis memperlakukan setiap potongan dari fenomena sosial
sebagai suatu peristiwa yang unik, dengan indeks etnografik dan indeks
kualitatif menjadi yang paling penting. Pandangan alternatif ini dideskripsikan
oleh kepedulian-nya dengan pemahaman, ketimbang prediksi, dengan hipotesis-hipotesis
kerja, ketimbang dengan pengujian hipotesis yang ketat, dan dengan hubungan
timbal balik antara peneliti dan obyek studi, ketimbang observasi yang terpisah
di pihak para analis. Untuk mengumpulkan "bukti," pendekatan ini
lebih memanfaatkan penggunaan studi-studi kasus secara berkelanjutan, ketimbang
menggunakan teknik-teknik analisis yang canggih. Singkatnya, pendekatan ini
lebih menekankan kepeduliannya pada keketatan keilmuan dengan intuisi dan pem-benaman
secara menyeluruh dalam informasi yang relevan.
11.Pendekatan
Partisipatori
Pendekatan partisipatori ini dikaitkan
dengan pandangan Peter DeLeon, yang mempunyai kaitan erat dengan tantangan
pospositivist, dan mencakup inklusi perhatian yang besar dan nilai-nilai dari
berbagai stakeholders dalam proses pembuatan keputusan kebijakan. Pendekatan
ini agaknya lebih dekat dengan apa yang disebut oleh Harold Lasswell, policy
sciences of democracy, di mana populasi yang diperluas dari para warganegara
yang dipengaruhi terlibat dalam perumusan dan implementasi kebijakan publik
melalui serangkaian dialog yang tidak berkesinambungan. Pendekatan ini mencakup
dengar pendapat terbuka secara ekstensif dengan sejumlah besar warganegara yang
mempunyai kepedulian, di mana dengai pendapat ini disusun dalam suatu cara
untuk mempercepat para individu, kelompok-kelompok kepentingan, dan para
pejabat agensi memberikan kontribusi mereka kepada pembuatan desain dan
redesain kebijakan. Tujuan yang dinyatakan dari analisis kebijakan partisipatori
adalah mengumpulkan informasi sehingga para pembentuk kebijakan bisa membuat
rekomendasi dan keputusan yang lebih baik.
Di lain sisi, kritik-kritik terhadap
pendekatan partisipatori seringkali mengatakan bahwa keterlibatan warganegara
yang meningkat akan menimbulkan peningkatan pula dalam pertikaian kelompok atas
program dan prosedur, dan hal ini akan menimbulkan penundaan yang tidak ada
gunanya dalam perumusan dan implementasi, sehingga biaya pembuatan kebijakan
dan implementasi akan meningkat pula secara dramatis, dan
kepentingan-kepentingan yang tidak senang akan mencoba merusak program-program
melalui litigasi atau minta per-lindungan kepada parlemen. Lebih dari itu, di
mana eksperimen-eksperimen partisipatori telah dicoba sebelumnya, kebingungan
dan konflik akan segera meningkat. Pendekatan partisipatori mungkin bermanfaat
sebagai arahan kepada pembentukan agenda, perumusan kebijakan, dan implementasi
kebijakan, ketimbang tahap-tahap lain dalam proses kebijakan publik. Dalam
beberapa hal, pendekatan ini lebih merupakan preskripsi untuk desain atau
redesain kebijakan atau, ketimbang sebagai suatu pendekatan empirik untuk
memahami pembentukan kebijakan atau implementasi.
12. Pendekatan
Normatif dan Perskriptif
Dalam pendekatan normatif atau
preskriptif, analis perlu men-definisikan tugasnya sebagai analis kebijakan
sama seperti orang yang mendefinisikan "end state," dalam arti bahwa
preskripsi ini bisa diinginkan dan bisa dicapai. Para pendukung pendekatan ini
seringkali menyarankan suatu posisi kebijakan dan menggunakan retorika dalam
suatu cara yang sangat lihai untuk meyakinkan pihak lain tentang manfaat dari
posisi mereka. Beberapa contoh dari tipe analisis kebijakan ini bisa dilihat dari
hasil-hasil studi yang dilakukan oleh Henry Kissinger, Jeane Kirkpatrick, atau
para ilmuwan politik praktisi lainnya. Pada intinya, mereka menggunakan argumen-argumen
yang lihai dan (kadangkala) secara selektif menggunakan data untuk mengajukan
suatu posisi politik dan untuk meyakinkan pihak lain bahwa posisi mereka dalam
suatu pilihan kebijakan yang layak. Kadangkala, tipe analisis ini mengarah
kepada tuduhan bahwa para analis kebijakan seringkali menyembunyikan ideologi
mereka sebagai ilmu.
13.Pendekatan Ideologik
Thomas Sowell menamakan pendekatan
ideologi ini "visi" (visions) dan mengidentifikasi dua perspektif
yang bersaing. Pertama, "visi yang dibatasi" (the constrained vision)
merupakan suatu gambaran manusia egosenttrik dengan keterbatasan moral. Oleh
karenanya, tantangan moral dan sosial yang fundamental adalah untuk membuat
yang terbaik dari kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam
keterpaksaan/keterbatasan ketimbang menghamburkan energi dalam suatu upaya yang
sia-sia untuk mengubah sifat manusia. Dengan logika ini, kemudian, orang
seyogianya mengandalkan pada insentif, ketimbang disposisi, untuk mendapatkan
perilaku yang pantas. Prospek dari ganjaran atau ketakutan terhadap hukuman
memberikan insentif untuk memeroleh perilaku yang pantas. Secara fundamental,
hal ini menghasilkan suatu pandangan konservatif tentang sifat manusia dan akan
mengarah kepada posisi kebijakan yang lebih konservatif, jika orang beranggapan
bahwa keterpaksaan utama berasal dari dalam individu, ketimbang pembebanan yang
berasal dari lingkungan di luar individu.
Kedua, "visi yang tidak
dibatasi" (the unconstrained vision) memberikan suatu pandangan tentang
sifat manusia di mana pemahaman dan disposisi manusia adalah mampu untuk
memeroleh keuntungan-keuntungan sosial. Menurut perspektif ini, manusia mampu
merasakan secara langsung kebutuhan-kebutuhan orang lain lebih penting,
ketimbang kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri, dan karenanya mampu bertindak
secara konsisten dan secara adil, bahkan pada saat kepentingan-kepentingan mereka
atau keluarga mereka terlibat. Kemudian, pandangan tentang sifat manusia ini, seringkali
dikaitkan dengan pandangan liberal bahwa sifat manusia adalah tidak mempunyai
keterbatasan. Agaknya, keterbatasan justru dikenakan oleh lingkungan di luar
individu.
14.Pendekatan
Historis/Sejarah
Banyak
sarjana kebijakan publik makin meningkatkan perhatian mereka kepada evolusi
kebijakan publik melintasi waktu. Peneliti bisa melakukan penelitian tentang
kebijakan-kebijakan publik dari perspektif lima puhih tahun atau lebih. Dengan
demikian, peneliti bisa melihat pola-pola tertentu dalam bentuk kebijakan
publik yang sebelumnya yang tidak dikenali karena analisis menggunakan kerangka
waktu yang pendek (misalnya, analisis lintas sektional atau analisis terbatas
pada kurun waktu satu dekade atau lebih). Hanya dengan meneliti kebijakan-kebijakan
publik dari titik pandang kurun waktu yang panjang analis bisa memeroleh
perspektif yang jauh lebih baik tentang pola¬pola yang ada dalam pembuatan
kebijakan publik, baik misalnya di negara-negara maju, seperti di Amerika
Serikat, maupun di negara-negara berkembang, seperti di Indonesia.
KESIMPULAN
Masing-masing
pendekatan yang telah disampaikan di awal uraian, seperti telah ditunjukkan sebelumnya mempunyai kelemahan dan keunggulannya
masing-masing. Oleh karena itu, dalam tulisan ini tidak berpretensi untuk
mengatakan bahwa suatu pendekatan adalah sangat memuaskan atau paling baik
untuk melakukan analisis terhadap kebijakan publik dibandingkan dengan
pendekatan yang lain. Hal ini terjadi karena bisa jadi suatu pendekatan akan
sangat "mumpuni" untuk melakukan analisis terhadap suatu kebijakan
tertentu, tetapi mungkin pendekatan tersebut tidak akan banyak membantu dalam
melakukan analisis terhadap kebijakan lainnya. Masing-masing teori atau
pendekatan lebih memusatkan pada aspek-aspek politik dan pembuatan kebijakan
yang berbeda. Oleh karena itu, pendekatan-pendekatan seperti ini tampaknya
lebih bermanfaat bagi beberapa tujuan dan beberapa situasi tertentu daripada
bagi tujuan-tujuan dan situasi-situasi yang lain. Dengan demikian, secara umum
orang tidak harus terikat secara ketat atau dogmatis kepada model atau
pendekatan teoritik tertentu.
REFERENSI
Agustino, Leo. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Alfabeta.
Bandung
Nugroho, Riant. 2002. Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara
Berkembang. PT Elex Media Komputindo. Jakarta
Subarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik : Konsep, Teori dan
Praktek. Pustaka Belajar. Yogyakarta
Winarno, Budi. 2012. Kebijakan Publik (Teori, Proses dan Studi
Kasus). CAPS. Jakarta