Jumat, 14 Juni 2013

KEBIJAKAN KENAIKAN BBM : “ANTARA YANG MENYELEMATKAN DAN YANG DISELAMATKAN”



KEBIJAKAN KENAIKAN BBM :
 “ANTARA YANG MENYELEMATKAN DAN YANG DISELAMATKAN”

 

MUH. FIRYAL AKBAR A
Mahasiswa Pasca Sarjana (S2) Administrasi Pembangunan
FISIP UNHAS MAKASSAR

Isu kenaikan BBM kembali menjadi bahan perbincangan di kalangan khalayak ramai, masyarakat dan pembicara-pembicara baik yang ada di media cetak, maupun elektronik. Isu ini seakan menjadi bahan utama pembahasan khususnya untuk sebulan terakhir dikarenakan berbagai cerita-cerita tersendiri yang ada di dalamnya. Fenomena kabijakan kenaikan BBM yang rencananya akan dengan segera ditetapkan oleh pemerintah mendapat berbagai tanggapan dari beberapa pihak, baik yang pro maupun yang kontra, dengan asumsi dan statment dari masing-masing kelompok-kelompok tersebut. Pada saat sedang menulis pun saat ini beberapa pihak dalam hal ini kelompok-kelompok mahasiswa maupun LSM berkumpul dan bergerak mengumandangkan aspirasi mereka untuk menolak kenaikan harga BBM yang dianggap akan semakin menambah beban penderitaan rakyat. Pemerintah pun kali ini seakan  tidak bergeming dengan aksi yang dilakukan dihampir beberapa daerah di nusantara karena mereka juga berasumsi kuat jika kebijakan tentang kenaikan harga BBM tidak segera dilakukan akan membuat stabilitas perekonomian Indonesia terganggu.
Kata-kata menyelematkan dan diselamatkan kini menjadi hal yang sering terdengar di media elektronik oleh pemerintah, para politisi dan publik sendiri. Pihak pemerintah mengklaim jika saat ini tak ada pilihan lain selain menaikkan harga BBM untuk menyelamatkan perekonomian dan menyehatkan postur anggaran negara. Beberapa asumsi yang dijelaskan diantaranya bahwa subsidi yang diberikan oleh negara terhadap ketersediaan BBM untuk tahun ini sudah sangat membengkak mencapai Rp.120 Trilyun  lebih dan diperkirakan akan membuat APBN defisit hingga 3% lebih yang dapat berakibat buruk bagi stabilitas ekonomi. Asumsi lain dari Pemerintah adalah bahwa subsidi untuk BBM selama ini yang diperuntukkan bagi masyarakat menengah ke bawah dianggap tidak tepat sasaran karena yang menikmati justru mereka pemilik kendaraan yang mempunya ekonomi lebih, padahal bagi mereka dianjurkan untuk memakai BBM non subsidi. Hal lain yang saat ini menjadi perbincangan hangat bahwa dampak subsidi BBM yang harus dikeluarkan oleh Negara berpengaruh akan kurs mata uang rupiah saat ini yang terus melemah hingga menyentuh angka 10.000 per dollar. Berbagai asumsi tersebut maka Pemerintah baik dari beberapa Kementrian yang terkait dan Presiden SBY sendiri bersikukuh untuk mengambil kebijakan menaikkan BBM dari harga Rp.4.500 menjadi Rp.6.000 atau Rp.6.500 sesuai dengan hitungan kasar para analis ekonomi pemerintah, dan untuk itu Pemerintah selalu memposisikan diri sebagai pihak yang wajib “menyelamatkan” Negara dan warga Negaranya.
Kebijakan yang akan dilakukan Pemerintah tidak berhenti dengan hanya menaikkan harga BBM bersubsidi, tetapi kebijakan lain yang akan diambil adalah pemberian Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang akan dilakukan setelah proses naiknya harga BBM. Pemerintah kemudian juga  mengeluarkan KJS atau kartu Jaminan Sosial kepada mayarakat yang nantinya berhak menerima, di mana dengan KJS ini masyarakat berhak untuk menerima  tambahan bantuan beras untuk masyarakat miskin, tambahan untuk beasiswa untuk siswa-siswi miskin dan untuk keluarga sejahtera. Hal-hal yang akan dilakukan oleh pemerintah tentunya sangat membantu jika kebijakan BBM sudah dinaikkan, karena secara tidak langsung masyarakat akan sangat mengharapkan bantuan langsung dalam waktu dekat, apalagi menjelang puasa dan lebaran. Hal yang kemudian dipermasalahkan oleh beberapa pihak khususnya bagi yang menolak kebijakan kenaikan BBM adalah momentum dan dampak jangka panjang dari kebijakan BLSM dan KJS itu sendiri.
Bagi mereka yang kontra atau yang “diselamatkan” akan kebijakan kenaikan BBM secara umum menganggap bahwa kenaikan BBM nantinya akan sangat berdampak pada kehidupan sehari-hari mereka. Para  LSM, kelompok mahasiswa, sebagian politisi hingga beberapa kalangan akademisi misalnya menganggap bahwa kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah setelah kenaikan harga BBM nanti yakni pemberian BLSM dan KJS syarat akan kepentingan pihak tertentu. Tentunya yang dimaksudkan adalah pemerintah lebih khusus bagi partai penguasa. Hal ini terlihat dari konflik internal yang saat ini terjadi untuk partai koalisi pemerintah yakni Partai Demokrat dan PKS yang berbeda pandangan dalam kebijakan kenaikan BBM.BLSM dan KJS kemudian menjadi sesuatu yang dipertanyakan dikarenakan kebijakan yang dianggap tidak populis oleh Pemerintah ini seakan-akan menjadi jualan politik bagi partai penguasa untuk meraup suara rakyat menjelang Pemiliu 2014. Beberapa LSM dan kelompok-kelompok mahasiswa bereaksi keras akan kebijakan kenaikan BBM yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah di mana mereka kemudian menganggap bahwa kebijakan kenaikan BBM belum tepat dilaksanakanm di tengah kondisi perekonomian masyarakat di tingkat mikro belum stabil, dikarenakan kenaikan sebagian bahan-bahan makanan dan barang yang ada di pasaran. Asumsi lain adalah masih banyak hal lain yang dapat dilakukan oleh pemerintah, misalnya merestrukturisasi postur anggaran APBN yang sangat boros untuk belanja kementrian dan birokrasi, dan beberapa pos anggaran lain yang mengalami kebocoran anggaran untuk dialihkan ke pos tambahan untuk subsidi BBM sehingga subsidinya tidak membengkak. Selain itu, hal lain yang dapat dilakukan ialah dengan memanfaatkan sumber cadangan energi dan pemanfaatan sumber energi baru untuk konsumsi industri-industri yang sangat banyak memakai BBM.
“menyelamatkan dan “diselamatkan”
Kata-kata tersebut seakan menjadi tanda tanya dibenak penulis yang selalu bertanya siapakah yang sebenarnya yang menyelamatkan dan siapa yang diselamatkan. Jika kata menyelematkan diberikan ke pada Pemerintah dengan asumsi bahwa Pemerintah akan menyelamatkan Negara dari defisit karena subsidi BBM yang membengkak dan menyelamatkan Warga Negara dari kesulitan ekonomi jika Kebijakan kenaikan BBM terealisasi mungkin akan bisa diterima, namun jika melihatnya dari sisi yang berbeda mungkin kata menyelamatkan untuk Pemerintah dapat dipertimbangkan ulang, mengapa? Penulis mencoba memberikan gambaran bahwa ketika pemerintah mengambil kebijakan untuk menaikkan BBM dibarengi dengan pemberian BLSM dan KJS bukan berarti hal tersebut sebagai solusi terbaik, perlu diketahui bahwa dana BLSM dan KJS yang dipakai untuk diberikan ke pada masyarakat nantinya di luar dari perhitungan APBN sebelumnya dan tentunya pos untuk BLSM dan KJS akan diatur ulang dari APBNP, yang menjadi ironis ketika dana tersebut nantinya akan didapatkan dari pinjaman luar Negeri  sebesar Rp.60 Trilun, artinya dana yang didapatkan masyarakat adalah dana pinjaman yang diklaim Pemerintah sebagai pemberian bantuan oleh Negara ke pada rakyatnya. Selanjutnya, bahwa kebijakan BLSM dan KJS syarat akan makna politis, hal ini tentu saja dikarenakan bahwa fenomena “membagi-bagikan uang”  sangat identik dengan menarik simpati rakyat terlebih pada saat momentum menjelang Pemilu 2014. Realistis ketika saat ini partai penguasa atau partai Pemerintah mengalami sedikit badai masalah dikarenakan kasus korupsi yang menimpa beberapa kader penting partai Demokrat. Dari fakta tersebut tak ada jalan lain untuk partai Demokrat untuk mengembalikan citra partai yang saat ini sangat menurun, dari hasil survey dari beberapa lembaga survey menunjukkan elektabilitas partai Demokrat menurun drastis. Salah satu cara diantaranya ialah memanfaatkan program-program yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah yang pro rakyat termasuk diantaranya pemberian BLSM. Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa sebenarnya dengan kebijakan BLSM yang nantinya jika terealisasi diperkirakan akan “menyelamatkan” citra positif Pemerintah atau partai pemerintah di mata masyarakat.
Bagi yang “diselamatkan” dalam hal ini rakyat hanya bisa pasrah dan menunggu Pemerintah untuk membagi-bagi uang BLSM. Hal yang menarik ketika rakyat yang dianggap sebagai yang diselamatkan justru penulis anggap sebagai penyelamat pemerintah terutama para elite birokrat dan para pejabat-pejabat baik yang berada pada jajaran eksekutif, legislatif dan yudikatif. Diselamatkan dalam arti ketika kebijakan kenaikan BBM dinaikkan untuk mengurangi subsidi BBM yang membengkak, maka pos-pos anggaran khususnya untuk belanja birokrasi dan kementrian akan aman, dan tentunya yang menikmati adalah mereka yang mempunyai kepentingan. Padahal jika seandainya kita dapat berandai-andai pemerintah dapat memangkas belanja birokrasi yang terlalu banyak, maka pemerintah setidaknya dapat mengalihkan anggaran tersebut untuk penambahan subsidi BBM jika ada niatan baik untuk menyelamatkan rakyat. Hal tersebut memungkinkan saja terjadi karena jika kita melihat pos anggaran di APBN untuk belanja birokrasi sangat membengkak bahkan menurut survey mengenai belanja birokrasi 80% dari anggaran tersebut justru mengalami kebocoran yang tidak jelas ke mana peruntukannya, yang tidak sesuai dengan kinerja pemerintah khususnya apratur Negara yang saat ini terbentur dengan praktek-praktek KKN.
Saat ini yang diperlukan Pemerintah adalah kecerdasan dalam menentukan kebijakan menaikkan BBM itu sendiri. Permasalahan bukan terletak pada harus naik atau tidaknya karena segala hal yang berkaitan dengan kebijakan strategis pemerintah berada pada tangan Presiden sebagai kepala Pemerintahan dan kepala Negara yang mempunyai hak prerogatif untuk menentukan sesuatu termasuk menaikkan BBM. Menurut hemat penulis langkah menaikkan BBM saat ini belum tepat melihat kondisi Negara saat ini. Asumsi yang pertama menjadi pertimbangan adalah dari sisi masyarakat isu kenaikan BBM sangat berpengaruh terhadap pasar di mana saat ini harga barang dan bahan pokok sudah naik di pasaran, belum lagi menjelang puasa dan Lebaran tentunya harga-harga tersebut akan semakin melonjak. BLSM dan KJS, apapun bentuknya itu yang diadakan untuk meringankan beban masyarakat pastinya tidak akan berhasil untuk membantu warga, BLSM sendiri yang akan dikeluarkan hanya Rp.150 ribu/bulan yang mau tidak mau harus dicukupi oleh warga, dan menurut penulis tidak akan mencukupi kebutuhan warga. Selain itu pemberian BLSM yang akan diberikan dari sisi kemanusiaan sangat tidak mendidik warga, hal ini dikarenakan bahwa warga diajarkan untuk selalu menerima bantuan dari Pemerintah dalam bentuk uang. Beberapa hasil penelitian tentang efektifitas bantuan langsung yang dulu dikenal dengan BLT dan sekarang BLSM juga menunjukkan bahwa pemberian bantuan langsung justru mendidik masyarakat menjadi “malas” dan selalu menggantungkan nasibnya kepada pemerintah, bahkan seakan-akan warga menjadi”pengemis” ke pada pemerintah.
Hal lain adalah reaksi dari masyarakat LSM dan kelompok mahasiswa khususnya yang sangat keras menentang kebijakan kenaikan BBM perlu menjadi faktor pertimbangan sendiri untuk Pemerintah dalam mengkaji ulang niat untuk menaikkan BBM, khususnya yang terjadi di Makassar kelompok mahasiswa bereaksi keras bahkan melakukan tindakan anarkis hingga merusak fasilitas-fasilitas pemerintahan. Reaksi tersebut tentunya bukan semata-mata tak beralasan karena penulis meyakini bahwa kelompok mahasiswa yang turun ke jalan telah melakukan kajian yang mendalam mengenai pantas tidaknya BBM naik atau tidak.
Pertimbangan lain yang mungkin Pemerintah mengetahuinya tapi sengaja untuk diindahkan adalah bahwa banyak kebijakan lain yang bisa diambil, menurut penulis kebijakan yang mungkin dapat diambil selain menaikkan BBM dalam rangka penyelamatan ekonomi Indonesia adalah penegasan aturan mengenai penggunaan BBM non subsidi bagi mereka yang tidak berhak untuk menerima BBM subsidi, dengan jalan kendaraan roda empat atau sejenisnya wajib memakai BBM non subsidi, jika tidak ijin kendaraannya akan dicabut, atau pajak kendaraannya akan dinaikkan. Begitupun dengan SPBU yang jika kedapatan mengisi BBM bersubsidi bagi kendaraan yang tidak berhak menerima BBM bersubsidi ijin opersinya juga harus dicabut. Intinya terletak pada kemauan untuk menjalankan dan menegakkan aturan, dan hal itulah yang masih sangat sulit terealisasi di Negara kita.
Selanjutnya adalah penggunaan sumber energi baru yang ramah lingkungan selain BBM untuk digunakan dalam rangka penghematan BBM khususnya bagi indutri-industri yang ada di Indonesia yang menggunakan BBM bersubsidi. Hal lain adalah pemanfaatan potensi pajak yang ada di Indonesia sebagai salah satu sumber utama penerimaan Negara, selain itu hal lain yang realistis dilakukan  dalam upaya menyehatkan postur anggaran belanja Negara adalah pemangkasan belanja birokrasi pada pos-pos anggarana yang tidak efektif, yang performancenya kurang optimal. Kebijakan lain adalah pemerintah dituntut untuk menyediakan infrasturktur transportasi massal yang nyaman layaknya yang sudah dikembangkan oleh Negara-negara maju seperti Jepang dengan Sinkansennya, Singapura dengan MRT dan Negara-negara maju lainnya, yang berdampak pada penggunaan transportasi massal oleh para warga sehingga selain menghemat BBM karena banyak yang tidak menggunakan kendaraan pribadi, juga akan mengurangi kemacetan. Hal yang menjadi lucu yang terjadi di Negara kita bahwa Pemerintah selalu mendorong untuk melakukan penghematan energi khususnya BBM namun disatu sisi kendaraan yang masuk tiap harinya di Indonesia tak terhitung jumlahnya saking banyaknya yang ingin berkendara di Negara ini yang tentunya seakan dibiarkan oleh Pemerintah karena kepentingan-kepentingan tertentu, padahal justru kendaraan-kendaraan yang baru inilah yang sangat banyak menghabiskan BBM.
Pada akhirnya penulis berkesimpulan bahwa dibutuhkan kemauaan yang tinggi untuk membangun Negara, dan berupaya semaksimal mungkin untuk menghilangkan disorientasi yang terjadi selama ini oleh para elite, birokrat, pejabat, politis dan stakeholder yang ada di Negara ini. Sadarlah untuk “menyelamatkan” rakyat bukan yang justru “diselamatkan”/