LUNTURNYA FUNGSI PARTAI POLITIK “SARANA PENGATUR KONFLIK”
DI
PERPOLITIKAN INDONESIA
Oleh : Muh. Firyal Akbar, S.IP,M.Si
(Dosen Adm. Negara UMG)
Sistem
perpolitikan Indonesia saat ini dapat dikatakan sedang mengalami kemunduran
khususnya dalam perkembangan kedewasaan partai, saat ini hampir setiap harinya
dari sekian banyak berita yang ditampilkan media Indonesia di Negara ini baik
cetak maupun elektronik membahas kisruh atau konflik internal yang sedang
terjadi pada partai beringin dan yang berlambang ka’bah. Hal ini menunjukkan
suatu proses kemunduran khususnya dalam penerapan demokrasi di sistem parpol di
Indonesia. Dinamika yang terjadi di dua partai ini pada dasarnya bukan karena
perbedaan ideologi secara prinsipil melainkan kepentingan para elite-elite
partai sendiri dalam memperoleh legalitas siapa yang berhak mengurusi dan
menjalankan tugas-tugas partai dalam struktur kepengurusan yang sah. Hingga
penulispun membahas masalah ini permasalahan yang terjadi antar kedua partai
ini masih berlanjut karena masing-masing pihak mengklaim bahwa kubunya lah yang
sah.
Partai Politik Sebagai Sarana “Pengatur
Konflik”
Partai
politik sejatinya terlahir dari kebutuhan masyarakat akan pentingnya
partisipasi maupun aspirasi mereka dalam sistem politik pemerintahan di Negara
ini. Partai politik telah menjadi ciri penting politik modern, bahkan menjadi
bagian tidak terpisahkan dari sistem politik, baik yang demokratis maupun
otoriter sekalipun. Dalam hal ini, partai politik mengorganisasi partai
politik, dan sistem kepartaian akan sangat mempengaruhi batas-batas sampai di
mana partisipasi tersebut dapat diperluas. Menurut Huntington, stabilitas,
kekokohan partai dan sistem kepartaian sangat bergantung pada tingkat
pelembagaan dan partisipasinya. Lebih lanjut Huntington mengatakan bahwa
partisipasi tanpa organisasi akan merosot menjadi gerakan massal, sementara
organisasi yang tidak melahirkan partisipasi cenderung mengarah menjadi klik
personal. Jika melihat definisi Partai politik sendiri, parpol terlahir atas
dasar kesamaan kehendak maupun cita-cita dari sekelompok atau sebagian
masyarakat, parpol terlahir sebagai wadah yang diharapkan mampu menampung aspirasi dan artikulasi
kepentingan masyarakat demi tercapainya tujuan yang diharapkan bersama.
Definisi partai menurut bahasa undang-undang Parpol Indonesia Nomor 2 Tahun
2011 ialah Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk
oleh sekelompok warga Negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik
anggota, masyarakat, bangsa dan Negara, serta memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik
Indonesia. Beberapa ahli juga mendefinisikan tentang Parpol, seperti yang
dijelaskan oleh R.H Soltau, partai politik adalah sekelompok warga Negara yang
telah terorganisasi dan bertindak sebagai suatu kesatuan politik yang bertujuan
memanfaatkan kekuasaan untuk memiliki dan menguasai pemerintahan serta
melaksanakan kebijaksanaan umum. Sedangkan menurut Mac Iver Partai politik
adalah suatu perkumpulan yang terorganisasi untk menyokong suatu prinsip atau
kebijaksanaan politik yang diusahakan melalui cara-cara yang sesuai dengan
konstitusi atau UUD.
Dari
beberapa konsep dan definisi parpol yang telah dijelaskan menggambarkan bahwa
keberadaan parpol sangat dibutuhkan dalam sistem politik indonesia, ini
dikarenakan elain keberadaannya merupakan salah satu syarat struktur politik
informal yang harus ada, juga parpol diharapkan mampu menampung
artikulasi-artikulasi kepentingan masyarakat, sekaligus mampu untuk
memperjuangkan dan membela kepentingan masyarakat bangsa dan Negara. Namun
fenomena sistem perpolitikan di Indonesia kekinian justru menceminkan
kemunduran partai politik dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat terutama
konstituen masing-masing. Hal ini tidak lain disebabkan (conflict of
interest)/konflik kepentingan yang terjadi di internal partai yang saat ini
sedang terjadi di dua partai yang memiliki basis massa yang cukup banyak yakni
Partai berlambang beringin dan partai berlambang Ka’bah. Padahal sejatinya
Parpol dituntut bisa menjalankan fungsi-fungsi partai dengan baik terutama
sebagai sarana pengatur konflik. Dalam kajian akademik ilmu politik parpol
setidaknya mampu untuk menjalankan fungsi-fungsinya seperti sebagai sarana
komunikasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekruitmen politik.
Sebagai sarana pengatur konflik misalnya partai politik berperan dalam
menjembatani berbagai konflik kepentingan yang ada dalam masyarakat, untuk
selajutnya disalurkan dalam sistem politik.
Kestabilan partai politik sangat bergantung bagaimana peran elite dan
anggota partai dalam melakukan manajemen konflik.
Fenomena Partai Politik Kekinian di Indonesia
Kisruh yang
terjadi di dua partai besar di Indonesia saat ini menjadi refleksi lunturnya
fungsi Parpol sebagai sarana pengatur konflik. Sebagai partai besar yang sudah
lama berkecimpung di kancah politik Indonesia Partai Golkar dan Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) seharusnya menjadi panutan dan contoh yang baik
untuk mereka partai-partai yang relatif baru yang ada di sistem partai politik
Indonesia saat ini. Kisruh Partai berlambang beringin misalnya mulai
bersitegang dan bersuhu panas pasca Munas IX Partai Golkar di bawah kepemimpinan
Abu Rizal Bakrie (ARB) yang dilaksanakan di Bali, dikarenakan sebagian besar
pengurus inti lainnya yang dimotori oleh kubu Agung Laksono cs tidak ikut
berpartisipasi dalam kegiatan Munas karena perbedaan pendapat mengenai
pelaksanaan Munas hingga kemudian mereka membuat Munas tandingan yang kemudian
dilaksanakan di Ancol Jakarta. Dua hasil Munas tersebut kemudian melahirkan
dualisme di tubuh partai beringin yang hingga kini masih berlanjut dengan
segala intrik dan manuver masing-masing kubu. Berbagai macam hal kemudian
dilakukan dua faksi yang saling berseberangan untuk mencapai titik temu, mulai
dari konsolidasi internal, rekonsialisasi hingga wacana islah antar keduanya
namun tetap deadlock, hingga kemudian ada sedikit titik terang ketika masalah ini
di bawah ke mahkamah partai sesuai dengan amanat UU Parpol dan AD/ART partai
sendiri ketika terjadi masalah internal kepartaian. Sidang mahkamah partai
sendiri yang dipimpin oleh Dr. Muladi, kemudian melahirkan beberapa putusan
yang antara lain mengakomodir kepentingan-kepentingan dua kubu, namun yang
menjadi polemik baru ketika dalam putusan mahkamah partai kemudian
mengisyaratkan bahwa kubu Agung Laksono kemudian yang berhak atas partai
beringin yang hal ini ditindaklanjuti dengan keputusan Menkumham yang
“mengakui” keberadaan partai beringin dibawah kepemimpinan Agung Laksono.
Hingga hal ini yang membuat kubu ARB tidak merasa puas dan merasa dizalimi
hingga kemudian mengajukan ajuan ke PTUN Jakarta Selatan terkait keputusan
Menkumham yang hasilnya putusan sela tersebut justru menunda putusan Menkumham
dan otomatis menganggap bahwa pengurus sah Golkar adalah kembali ke Munas
Golkar Riau.
Apa yang
terjadi di Partai Golkar juga terjadi di Partai berlambang Ka’bah (PPP).
Perbedaan pandangan tentang arah politik partai ini kemudian membawa pada
lahirnya dualisme kepemimpinan di masing-masing partai. Surya Dharma Ali (SDA),
sebagai Ketua umum sebelum lengser melakukan manuver politik dengan menyatakan
secara tegas bahwa partai yang dipimpinnya masuk ke dalam Koalisi Merah Putih
(KMP). Keputusan SDA kemudian tidak sepenuhnya didukung oleh para pengurus inti
yang lain termasuk Sekjen PPP Romahurmuzy, yang justru menilai keputusan itu
sebagai keputusan sepihak yang tidak berdasarkan hasil rapat partai. Kubu
Romahurmuzy kemudian justru melakukan perlawanan yang menyatakan ketidak
percayaannya lagi akan kepemimpinan SDA dalam memimpin PPP, dan pada akhirnya
bersama elite-elite dan beberapa pengurus partai di daerah mengadakan Muktamar
PPP di Surabaya yang melahirkan kepemimpinan baru oleh Romahurmuzy. Sedangkan
kubu SDA tetap bersikukuh dengan keputusannya tetap masuk dalam KMP dan juga
telah melaksanakan Muktamar di Jakarta dengan yang terpilih menjadi Ketua umum
ialah Djan Fariz. Hingga konflik di kubu PPP terus berlanjut hingga keputusan
Menkumham Yassona, mensahkan kubu Romahurmuzi.
Kekisruhan/konflik
yang terjadi di dua partai ini tentunya melahirkan citra yang kurang baik di
masyarakat terutama bagi konstituen partai masing-masing, apa yang ditampilkan oleh
para elite-elite partai secara tidak langsung memberikan pendidikan politik
yang tidak baik bagi publik. Publik disuguhkan dengan konflik/kisruh yang tak
layak dikonsumsi khususnya bagi para generasi penerus bangsa. Adegan debat,
perebutan kursi di masing-masing fraksi hingga adu jotos antara anggota
parlemen sangat menjadi ironi di bangsa ini. Fungsi parpol sebagai sarana
pengatur konflik tidak bisa dijalankan dan sangat menjadi kontradiktif dengan
apa yang harusnya dijalankan oleh partai. Sebagai sarana pengatur konflik
seharusnya para anggota partai memberikan pendidikan dan pendewasaan politik
yang baik bagi publik. Tapi kemudian yang lahir adalah justru para elite dan
oknum yang ada di partai ini kemudian yang menciptakan konflik hingga juga berdampak
kepada ketidakpastian, kegaduhan hingga konflik konstituen di daerah.
Konflik
internal yang terjadi saat ini di partai menurut penulis pada dasarnya dapat
dihindari jika mindset para elite dapat berubah dari mereka yang memiliki
kepentingan-kepentingan individu ke kepentingan partai lebih khusus lagi
kepentingan publik dan Negara secara umum. Apa yang terjadi kemudian beberapa
diantara para elite terkadang memaksakan kehendaknya tanpa mempertimbangkan
asas maupun orientasi kepartaian yang telah ada. Pengaruh kekuasaan mutlak para
elite telah melahirkan kader-kader partai yang berorientasi kepentingan
kelompok. Hal yang terjadi kemudian beberapa elite partai cenderung memiliki
sifat pragmatis yang berdampak pada kinerja yang dilahirkan hanya menguntungkan
kepentingan sebagian orang. Sistem kaderisasi yang kurang berjalan dengan baik
di Partai saat ini menjadi salah satu parameter citra negatif partai di
masyarakat. Sistem kaderisasi yang semestinya merekrut kader-kader yang punya
kapabilitas, integritas serta loyalitas yang mumpuni tidak berjalan.
Kader-kader yang lahir adalah mereka yang secara instant masuk bergabung di
partai dengan modal finansial dan kepopuleran semata. Sehingga partai hanya
dimanfaatkan sebagian kader sebagai batu loncatan untuk mencapai kekuasaan.
Semoga hal tersebut dapat menjadi bahan renungan bagi kita dalam rangka
mewujudkan dan menciptakan kondisi kepartaian yang baik untuk Indonesia. Aminn