Selasa, 21 April 2015

LUNTURNYA FUNGSI PARTAI POLITIK “SARANA PENGATUR KONFLIK” DI PERPOLITIKAN INDONESIA



LUNTURNYA FUNGSI PARTAI POLITIK “SARANA PENGATUR KONFLIK”
 DI PERPOLITIKAN INDONESIA
Oleh : Muh. Firyal Akbar, S.IP,M.Si
(Dosen Adm. Negara UMG)

Sistem perpolitikan Indonesia saat ini dapat dikatakan sedang mengalami kemunduran khususnya dalam perkembangan kedewasaan partai, saat ini hampir setiap harinya dari sekian banyak berita yang ditampilkan media Indonesia di Negara ini baik cetak maupun elektronik membahas kisruh atau konflik internal yang sedang terjadi pada partai beringin dan yang berlambang ka’bah. Hal ini menunjukkan suatu proses kemunduran khususnya dalam penerapan demokrasi di sistem parpol di Indonesia. Dinamika yang terjadi di dua partai ini pada dasarnya bukan karena perbedaan ideologi secara prinsipil melainkan kepentingan para elite-elite partai sendiri dalam memperoleh legalitas siapa yang berhak mengurusi dan menjalankan tugas-tugas partai dalam struktur kepengurusan yang sah. Hingga penulispun membahas masalah ini permasalahan yang terjadi antar kedua partai ini masih berlanjut karena masing-masing pihak mengklaim bahwa kubunya lah yang sah.
Partai Politik Sebagai Sarana “Pengatur Konflik”
Partai politik sejatinya terlahir dari kebutuhan masyarakat akan pentingnya partisipasi maupun aspirasi mereka dalam sistem politik pemerintahan di Negara ini. Partai politik telah menjadi ciri penting politik modern, bahkan menjadi bagian tidak terpisahkan dari sistem politik, baik yang demokratis maupun otoriter sekalipun. Dalam hal ini, partai politik mengorganisasi partai politik, dan sistem kepartaian akan sangat mempengaruhi batas-batas sampai di mana partisipasi tersebut dapat diperluas. Menurut Huntington, stabilitas, kekokohan partai dan sistem kepartaian sangat bergantung pada tingkat pelembagaan dan partisipasinya. Lebih lanjut Huntington mengatakan bahwa partisipasi tanpa organisasi akan merosot menjadi gerakan massal, sementara organisasi yang tidak melahirkan partisipasi cenderung mengarah menjadi klik personal.  Jika melihat definisi  Partai politik sendiri, parpol terlahir atas dasar kesamaan kehendak maupun cita-cita dari sekelompok atau sebagian masyarakat, parpol terlahir sebagai wadah yang diharapkan  mampu menampung aspirasi dan artikulasi kepentingan masyarakat demi tercapainya tujuan yang diharapkan bersama. Definisi partai menurut bahasa undang-undang Parpol Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 ialah Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga Negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan Negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia. Beberapa ahli juga mendefinisikan tentang Parpol, seperti yang dijelaskan oleh R.H Soltau, partai politik adalah sekelompok warga Negara yang telah terorganisasi dan bertindak sebagai suatu kesatuan politik yang bertujuan memanfaatkan kekuasaan untuk memiliki dan menguasai pemerintahan serta melaksanakan kebijaksanaan umum. Sedangkan menurut Mac Iver Partai politik adalah suatu perkumpulan yang terorganisasi untk menyokong suatu prinsip atau kebijaksanaan politik yang diusahakan melalui cara-cara yang sesuai dengan konstitusi atau UUD.
Dari beberapa konsep dan definisi parpol yang telah dijelaskan menggambarkan bahwa keberadaan parpol sangat dibutuhkan dalam sistem politik indonesia, ini dikarenakan elain keberadaannya merupakan salah satu syarat struktur politik informal yang harus ada, juga parpol diharapkan mampu menampung artikulasi-artikulasi kepentingan masyarakat, sekaligus mampu untuk memperjuangkan dan membela kepentingan masyarakat bangsa dan Negara. Namun fenomena sistem perpolitikan di Indonesia kekinian justru menceminkan kemunduran partai politik dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat terutama konstituen masing-masing. Hal ini tidak lain disebabkan (conflict of interest)/konflik kepentingan yang terjadi di internal partai yang saat ini sedang terjadi di dua partai yang memiliki basis massa yang cukup banyak yakni Partai berlambang beringin dan partai berlambang Ka’bah. Padahal sejatinya Parpol dituntut bisa menjalankan fungsi-fungsi partai dengan baik terutama sebagai sarana pengatur konflik. Dalam kajian akademik ilmu politik parpol setidaknya mampu untuk menjalankan fungsi-fungsinya seperti sebagai sarana komunikasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekruitmen politik. Sebagai sarana pengatur konflik misalnya partai politik berperan dalam menjembatani berbagai konflik kepentingan yang ada dalam masyarakat, untuk selajutnya disalurkan dalam sistem politik.  Kestabilan partai politik sangat bergantung bagaimana peran elite dan anggota partai dalam melakukan manajemen konflik.
Fenomena Partai Politik Kekinian di Indonesia
Kisruh yang terjadi di dua partai besar di Indonesia saat ini menjadi refleksi lunturnya fungsi Parpol sebagai sarana pengatur konflik. Sebagai partai besar yang sudah lama berkecimpung di kancah politik Indonesia Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) seharusnya menjadi panutan dan contoh yang baik untuk mereka partai-partai yang relatif baru yang ada di sistem partai politik Indonesia saat ini. Kisruh Partai berlambang beringin misalnya mulai bersitegang dan bersuhu panas pasca Munas IX Partai Golkar di bawah kepemimpinan Abu Rizal Bakrie (ARB) yang dilaksanakan di Bali, dikarenakan sebagian besar pengurus inti lainnya yang dimotori oleh kubu Agung Laksono cs tidak ikut berpartisipasi dalam kegiatan Munas karena perbedaan pendapat mengenai pelaksanaan Munas hingga kemudian mereka membuat Munas tandingan yang kemudian dilaksanakan di Ancol Jakarta. Dua hasil Munas tersebut kemudian melahirkan dualisme di tubuh partai beringin yang hingga kini masih berlanjut dengan segala intrik dan manuver masing-masing kubu. Berbagai macam hal kemudian dilakukan dua faksi yang saling berseberangan untuk mencapai titik temu, mulai dari konsolidasi internal, rekonsialisasi hingga wacana islah antar keduanya namun tetap deadlock, hingga kemudian ada sedikit titik terang ketika masalah ini di bawah ke mahkamah partai sesuai dengan amanat UU Parpol dan AD/ART partai sendiri ketika terjadi masalah internal kepartaian. Sidang mahkamah partai sendiri yang dipimpin oleh Dr. Muladi, kemudian melahirkan beberapa putusan yang antara lain mengakomodir kepentingan-kepentingan dua kubu, namun yang menjadi polemik baru ketika dalam putusan mahkamah partai kemudian mengisyaratkan bahwa kubu Agung Laksono kemudian yang berhak atas partai beringin yang hal ini ditindaklanjuti dengan keputusan Menkumham yang “mengakui” keberadaan partai beringin dibawah kepemimpinan Agung Laksono. Hingga hal ini yang membuat kubu ARB tidak merasa puas dan merasa dizalimi hingga kemudian mengajukan ajuan ke PTUN Jakarta Selatan terkait keputusan Menkumham yang hasilnya putusan sela tersebut justru menunda putusan Menkumham dan otomatis menganggap bahwa pengurus sah Golkar adalah kembali ke Munas Golkar Riau.
Apa yang terjadi di Partai Golkar juga terjadi di Partai berlambang Ka’bah (PPP). Perbedaan pandangan tentang arah politik partai ini kemudian membawa pada lahirnya dualisme kepemimpinan di masing-masing partai. Surya Dharma Ali (SDA), sebagai Ketua umum sebelum lengser melakukan manuver politik dengan menyatakan secara tegas bahwa partai yang dipimpinnya masuk ke dalam Koalisi Merah Putih (KMP). Keputusan SDA kemudian tidak sepenuhnya didukung oleh para pengurus inti yang lain termasuk Sekjen PPP Romahurmuzy, yang justru menilai keputusan itu sebagai keputusan sepihak yang tidak berdasarkan hasil rapat partai. Kubu Romahurmuzy kemudian justru melakukan perlawanan yang menyatakan ketidak percayaannya lagi akan kepemimpinan SDA dalam memimpin PPP, dan pada akhirnya bersama elite-elite dan beberapa pengurus partai di daerah mengadakan Muktamar PPP di Surabaya yang melahirkan kepemimpinan baru oleh Romahurmuzy. Sedangkan kubu SDA tetap bersikukuh dengan keputusannya tetap masuk dalam KMP dan juga telah melaksanakan Muktamar di Jakarta dengan yang terpilih menjadi Ketua umum ialah Djan Fariz. Hingga konflik di kubu PPP terus berlanjut hingga keputusan Menkumham Yassona, mensahkan kubu Romahurmuzi.
Kekisruhan/konflik yang terjadi di dua partai ini tentunya melahirkan citra yang kurang baik di masyarakat terutama bagi konstituen partai masing-masing, apa yang ditampilkan oleh para elite-elite partai secara tidak langsung memberikan pendidikan politik yang tidak baik bagi publik. Publik disuguhkan dengan konflik/kisruh yang tak layak dikonsumsi khususnya bagi para generasi penerus bangsa. Adegan debat, perebutan kursi di masing-masing fraksi hingga adu jotos antara anggota parlemen sangat menjadi ironi di bangsa ini. Fungsi parpol sebagai sarana pengatur konflik tidak bisa dijalankan dan sangat menjadi kontradiktif dengan apa yang harusnya dijalankan oleh partai. Sebagai sarana pengatur konflik seharusnya para anggota partai memberikan pendidikan dan pendewasaan politik yang baik bagi publik. Tapi kemudian yang lahir adalah justru para elite dan oknum yang ada di partai ini kemudian yang menciptakan konflik hingga juga berdampak kepada ketidakpastian, kegaduhan hingga konflik konstituen di daerah.
Konflik internal yang terjadi saat ini di partai menurut penulis pada dasarnya dapat dihindari jika mindset para elite dapat berubah dari mereka yang memiliki kepentingan-kepentingan individu ke kepentingan partai lebih khusus lagi kepentingan publik dan Negara secara umum. Apa yang terjadi kemudian beberapa diantara para elite terkadang memaksakan kehendaknya tanpa mempertimbangkan asas maupun orientasi kepartaian yang telah ada. Pengaruh kekuasaan mutlak para elite telah melahirkan kader-kader partai yang berorientasi kepentingan kelompok. Hal yang terjadi kemudian beberapa elite partai cenderung memiliki sifat pragmatis yang berdampak pada kinerja yang dilahirkan hanya menguntungkan kepentingan sebagian orang. Sistem kaderisasi yang kurang berjalan dengan baik di Partai saat ini menjadi salah satu parameter citra negatif partai di masyarakat. Sistem kaderisasi yang semestinya merekrut kader-kader yang punya kapabilitas, integritas serta loyalitas yang mumpuni tidak berjalan. Kader-kader yang lahir adalah mereka yang secara instant masuk bergabung di partai dengan modal finansial dan kepopuleran semata. Sehingga partai hanya dimanfaatkan sebagian kader sebagai batu loncatan untuk mencapai kekuasaan. Semoga hal tersebut dapat menjadi bahan renungan bagi kita dalam rangka mewujudkan dan menciptakan kondisi kepartaian yang baik untuk Indonesia. Aminn

“ BUDAYA MALU BAGI PEJABAT PUBLIK DALAM KISRUH LEMBAGA PENEGAK HUKUM (KPK VS POLRI)”



“ BUDAYA MALU BAGI PEJABAT PUBLIK DALAM KISRUH LEMBAGA PENEGAK HUKUM  (KPK VS POLRI)”
 Oleh : Muh. Firyal Akbar, S.IP,M.Si
 (Dosen Administrasi Negara Universitas Muhammadiyah Gorontalo)



Kisruh yang terjadi antara dua lembaga yang notabene sebagai institusi penegak hukum di Negeri ini tengah disoroti, bukan karena prestasi dari kinerja dari dua lembaga ini namun karena keputusan-keputusan dari kedua lembaga yang kemudian melahirkan polemik yang hingga saat ini masih berlangsung. Dimulai dengan keputusan penetapan status tersangka calon tunggal Kapolri yang disodorkan Presiden Joko Widodo kepada DPR oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Komisaris Jenderal Budi Gunawan terkait dugaan kasus “rekening gendut” yang kemudian seakan menjadi pukulan telak bagi institusi Kepolisian, walaupun sehari setelah penetapannya DPR tetap melaksanakan uji kepatutan dan kelayakan (fit and Propert test) dan seakan berbuntut pada “Serangan” kepada pimpinan KPK yang juga ditetapkan sebagai tersangka, dari penangkapan wakil ketua KPK Bambang Wijayanto oleh Bareskrim Polri dengan dugaan kasus kesaksian palsu oleh seorang saksi pada sidang MK untuk perkara Pilkada KotaWaringin Barat, yang dimana pada saat itu Bambang sebagai lawyer dari pasangan salah satu calon Pilkada tersebut, penangkapannya juga atas laporan dari mantan calon Kepala Daerah Kota Waringin Barat. Tak cukup sampai disitu, beberapa pimpinan KPK termasuk Ketua KPK Abraham Samad tidak lama lagi juga akan ditetapkan sebagai Tersangka dalam kasus berbeda, yakni pertemuannya dengan para elite Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang diungkapkan PLT Sekjen P-DIP Hasto Kristanto, yang didalamnya diduga berisi tawaran dari Ketua KPK dalam menyelesaikan ataupun meringankan kasus yang sementara KPK periksa, hingga dugaan kasus pemalsuan Dokumen Negara (KTP/Paspor) ketika Abraham Samad masih aktif di Makassar

Etika Pejabat Publik Dalam Kisruh POLRI dan KPK
Dalam tulisan yang akan penulis sajikan ini tidak akan membahas lebih jauh dan terperinci dari apa yang telah terjadi antara ke dua Lembaga penegak hukum ini, ataupun mengenai kronologinya lebih mendalam, namun yang penulis sajikan adalah hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan Etika dari para pejabat Negara/Publik yang diduga terlibat dalam kekisruhan ini. Konsep etika sangat berkaitan dengan tingkah laku dari seseorang, apalagi untuk mereka  yang diberi tugas sebagai pejabat publik, dalam menjalankan tugas dan fungsinya secara baik dan benar, melihat permasalahan mana yang salah dan mana yang benar, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kewajiban moral pejabat itu sendiri. Definisi Etika sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) etika dibagi dalam tiga definisi etika, yakni ilmu mengenai apa yang baik dan buruk, kumpulan azas atau nilai, dan nilai mengenai benar dan salah. Sedangkan menurut K. Bertens, etika dalah nilai-nilai dan norma moral, yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Selanjutnya dalam perkembangannnya secara historis Prof.Dr.  Jimly Asshiddiqie, SH, dalam tulisannya mengenai sejarah etika profesi dan jabatan publik, mengatakan tradisi membangun etika positif berupa prinsip-prinsip etika dan perilaku yang dirumuskan, sebagai standar yang diidealkan bagi para anggota suatu komunitas profesi atau jabatan tertentu yang membutuhkan kepercayaan publik, yang dimulai dari negara inggris dan sampai ke amerika, dimulai dari kode etik kedokteran, kode etik akuntan, sampai kepada kode etik hukum.
Dari penjelasan tersebut dapat terlihat bahwa Etika adalah salah satu hal penting dalam kehidupan sosial kemasyarakatan karena didalamnya terdapat nilai-nilai positif, yang tentunya Etika dari seseorang khususnya bagi mereka yang diberikan wewenang dalam suatu jabatan akan mencerminkan kemampuan dia sebagai seorang pemimpin dalam profesi kerja yang diberikan kepadanya.
Budaya Malu Bagi Pejabat Publik Dalam Kisruh Polri vs KPK
Kaitan dengan pembahasan Etika tentunya setiap pejabat publik sudah semestinya mengetahui apa yang harus mereka lakukan ketika ada permasalahan yang terjadi padanya baik secara pribadi maupun institusi, semestinya sebagai pejabat publik mereka sudah mengetahui langkah apa yang akan diambil yang akan menunjukkan sikap dia sebagai pemimpin yang mengerti etika, dan sedikit memiliki “rasa malu”. Rasa malu atau “budaya malu” untuk pejabat publik yang sedang terlibat masalah atau kasus yang menyebabkan dirinya menjadi sorotan publik sebenarnya bukanlah hal yang kemudian dianggap rendah, justru budaya malu harus ditujukkan sebagai sikap kesatria dari seorang abdi Negara. Budaya malu yang dimaksud adalah sikap yang harus diambil oleh seorang pejabat publik ketika dirinya diduga terlibat atau bahkan ditetapkan sebagai tersangka dalam salah satu kasus, dengan melakukan pengunduran diri dari jabatan yang diembannya (nonaktif).
Budaya malu sebenarnya sudah banyak yang dilakukan oleh para pejabat publik di beberapa Negara maju ketika mereka menganggap dirinya merasa bertanggung jawab atas jabatannya, bahkan sebagian dari mereka mundur dari jabatannya hanya karena merasa dirinya gagal dalam menjalankan tugasnya dengan baik atau maksimal. Misalnya Negara Korea Selatan, dimana seorang Menteri ekonomi pengetahuan bidang energi mundur hanya karena hampir dua juta rumah warga negara di korsel mati selama satu jam. Selanjutnya PM Korea Chung Mong-Won juga menyatakan mengundurkan diri karena kejadian tenggelamnya kapal feri Sewoul, dimana keputusan itu diambil sebagai bentuk tanggung jawab kepala pemerintahan atas kejadian yang menewaskan 187 orang tersebut. Ada juga PM Yunani pada november 2011 mengundurkan diri lantaran merasa tidak mampu mengatasi keuangan negara dalam hal utang. PM jepang pada juni 2010 beberapa tahun lalu mengundurkan diri karena tidak mampu memenuhi janji politiknya. Negara Brasil yang baru tahun lalu sukses menggelar piala dunia tahun 2014 juga mengalami pengunduran diri beberapa pejabatnya, sedikitnya ada tujuh Menteri yang mengundurkan diri terkait dugaan kasus korupsi, berkaitan dengan tugas mereka masing-masing. Namun kita tidak menutup mata jika “budaya malu” juga terjadi di Indonesia dimana pada era kepemimpinan Pak SBY beberapa Pejabat Negara juga mengundurkan diri dalam Kabinet Indonesia Bersatu karena terlibat kasus Korupsi, seperti Menpora Andi Alfian Mallarangeng, Menristek Jero Wacik yang notabene adalah kader dari Partai Demokrat Pimpinan SBY sendiri, bedanya kemudian jika di Indonesia pejabatnya nanti mengundurkan diri ketika dirinya sudah ditetapkan tersangka, bahkan sebagian dari para pejabat yang berperkara masih tampil dengan tenang di depan layar kaca.  Berbeda dengan beberapa Pejabat yang ada di Negara lain yang mundur ketika mereka baru diisukan terlibat dalam suatu kasus.
Kisruh yang terjadi antara dua Lembaga penegak hukum yakni POLRI vs KPK dalam beberapa hari terakhir, telah menimbulkan kegaduhan-kegaduhan yang semestinya bisa dihindari, belum lagi masyarakat/publik juga ikut bersuara dalam polemik yang terjadi di dua lembaga ini, bahkan sudah terbentuk faksi-faksi dimana sebagian ada yang mendukung langkah yang diambil KPK dalam penetapan tersangka calon Kapolri yang terlibat dugaan kasus Korupsi yang direspon oleh pengacara BG (Budi Gunawan) dengan mem pra peradilankan KPK, dan ada juga yang mendukung langkah POLRI dalam menetapkan para pimpinan KPK yang terlibat beberapa kasus. Beberapa pengamat pun juga sibuk memberikan pandangannya baik melalui tulisan di media cetak  maupun tampil di beberapa stasiun TV. Beberapa kalangan menilai bahwa kisruh POLRI vs KPK tidak terlepas dari kepentingan politik dari para elite yang berada dibalik layar dari masalah yang terjadi.
Sudah sepantasnya Bangsa ini memiliki Pejabat Negara/Publik yang memiliki “budaya malu” dan harus mundur dari jabatannya ketika ia tersandung masalah ataupun kasus, selain untuk menunjukkan tanggung jawab moral ia sebagai pejabat yang beretika juga menghindari ketidakstabilan penegakan hukum di Negara ini. Permintaan pengunduran diri para pejabat publik yang tersandung masalah sudah disuarakan oleh beberapa pihak, baik itu menuntut Komjen Budi Gunawan untuk mengundurkan diri sebagai calon Kapolri juga menuntut para Pimpinan KPK untuk mundur dari jabatannya, khusus untuk Bambang Wijayanto, langkah yang diambil setelah dirinya ditetapkan sebagai tersangka adalah mengundurkan diri, selain karena inisiatif, aturan mengenai kode etik Pimpinan KPK jika terlibat dalam suatu perkara statusnya harus dinon aktifkan.
Para pejabat dan beberapa kalangan semestinya harus lebih bijak dalam melihat masalah ini, terutama bagi mereka yang bersikukuh beranggapan bahwa ada asas praduga tak bersalah (Presumption of Innocence) yang sudah lama dianut Bangsa ini, yang kemudian menjadi salah satu tameng kuat sehingga para pejabat publik yang terlibat masih menganggap dirinya masih pantas dan layak untuk tetap di posisinya. Mungkin sebagian pihak lupa atau bahkan tidak tahu bahwa Pejabat publik/Negara harus mengundurkan diri bukan hanya karena ia melanggar etika pejabat sebagai penyelenggara Negara tetapi sudah ada aturan ataupun mekanisme yang menjelaskan bagaimana status bagi pejabat publik yang sedang berperkara, dan melanggar etika . Sejak Tahun 2001 Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), memberi dua Ketetapan No VI/MPR/2001, tentang etika kehidupan berbangsa dan TAP MPR No.VIII/MPR/2001 tentang arah dan rekomendasi pemberantasan KKN. TAP MPR No VI mengatur pejabat publik yang terkait atau terlibat kasus hukum, membuat kebijakan yang meresahkan atau mendapat sorotan publik, harus mau mengundurkan diri (dan dapat dimundurkan) tanpa harus dibuktikan lebih dulu oleh pengadilan. TAP MPR No VIII/2001 menegaskan, pejabat yang terlibat kasus hukum dapat dibebaskan dari jabatannya meski belum diputus pengadilan. Dalam salah satu tulisannya, Mantan Ketua MK Machfud MD, menjelaskan bahwa instrument hukum (Ketetapan MPR tersebut) dibuat berdasarkan pengalaman tentang banyaknya pejabat korup yang tak pernah mau mengaku  saat kasusnya mulai diungkap, bahkan ikut bermain melalui judicial corruption, agar kasusnya tidak masuk ke pengadilan.
Jika melihat dari apa yang telah ditetapkan, sejatinya ketentuan  itu sama sekali tidak melanggar hukum,HAM atau asas praduga tak bersalah yang berlaku umum. ketentuan ini merupakan tindakan administratif yang berlaku khusus bagi pejabat publik yang bermasalah dengan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang bersangkutan (pejabat publik yang bermasalah) dapat segera mundur atau dimundurkan, sementara proses hukumnya terus berjalan.
Harapan penulis dan mungkin juga sebagian besar masyarakat Indonesia semoga permasalahan yang terjadi antara dua lembaga penegak hukum ini dapat segera teratasi dengan baik, untuk menjaga stabilitas penegakan supremasi hukum, dan mengembalikan kepercayaan publik akan dua lembaga yang kita cintai ini, dan semoga “budaya malu” bisa muncul dikalangan para pejabat yang berperkara, untuk memperlihatkan bahwa mereka mengerti etika, dan aturan yang berlaku di Indonesia.
·         Muh. Firyal Akbar
·         HP (085256265478)
·         Email : firyalakbar@yahoo.co.id