Senin, 13 Mei 2013

PERAN ELITE LOKAL DALAM PERKEMBANGAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA




PERAN ELITE LOKAL DALAM PERKEMBANGAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

Oleh  Muh. Firyal Akbar A
-          Gambaran Umum Mengenai Konsep otonomi Daerah
            Otonomi Daerah adalah istilah kata yang muncul di Indonesia sebagai manifestasi dari konsep desentralisasi yang diterapkan sejak lahirnya UU NO 22 Tahun 2009 tentang Pemerintahan Daerah yang mempunyai semangat untuk bagaimana mengembangkan daerah dengan asas kemandirian dan tidak sepenuhnya lagi bergantung pada pemerintahan pusat. Sang pelopor atau penggagas lahirnya otonomi daerah ialah salah seorang putra dari kawasan Indonesia timur tepatnya putra sulawesi yakni Ryas Rasyid yang pada waktu itu juga menjabat sebagai Mentri pada masa kepemimpinan ibu Megawati Soekarno Putri. Istilah otonomi daerah oleh sebagian pakar atau ahli sering diartikan sebagai suatu hal positif bagi pemerintah daerah dalam rangka  mengembangkan daerah masing-masing untuk mencapai kesejahtraan rakyat. Mariun (1979)mengungkapkan  bahwa dengan kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri, mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat.Pendapat yang dikemukakan oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi daerah adalah pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara informal berada di luar pemerintah pusat. Sedangkan Philip Mahwood (1983) mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah suatu pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan sendiri yang keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber sumber material yang substansial tentang fungsi-fungsi yang berbeda. Pendapat lainnya ialah yang dikemukakan Vincent Lemius (1986) bahwa otonomi daerah merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan politik maupun administrasi, dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan. Meskipun dalam otonomi daerah ada kebebasan untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah, tetapi dalam kebutuhan daerah senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional, ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
            Setelah kita melihat pendapat para ahli tentang konsep otonomi daerah, dalam Undang-undang juga menjelaskan mengenai definisi otoda itu sendiri sperti dalam UU Nomor 32 tahun 2004 jo. UU Nomor 12 tahun 2008 dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah Hak, kewajiban dan kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lebih lanjut dijelaskan bahwa bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, maka otonomi daerah mempunyai arti bahwa daerah harus mampu :
1.Berinisiatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan kebijaksanaan sendiri.
2. Membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.
3. Menggali sumber-sumber keuangan sendiri.
4. Memiliki alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya.
            Beranjak dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah pada prinsipnya mempunyai tiga
aspek, yaitu :

1.  Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2. Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.
3. Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber pembiayaan sendiri.
            Adapun yang dimaksud dengan hak dalam pengertian otonomi adalah adanya kebebasan pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang kebijaksanaan, pembiyaan serta perangkat pelaksanaannnya. Sedangkan kewajban harus mendorong pelaksanaan pemerintah dan pembangunan nasional. Selanjutnya wewenang adalah adanya kekuasaan pemerintah daerah untuk berinisiatif sendiri, menetapkan kebijaksanaan sendiri, perencanaan sendiri serta mengelola keuangan sendiri.
            Dari beberapa literatur mengenai konsep otonomi daerah dijelaskan bahwa Pemberian otonomi daerah secara luas berdasarkan dengan UU No.32 tahun 2004 diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahtraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
            Prinsip Otonomi daerah menngunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahtraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senjatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.
            Seiring dengan prinsip –prinsip yang telah ada penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahtraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahtraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya ialah bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan dan cita-cita Negara.
-          Sepak Terjang Elite lokal Dalam Implementasi Otonomi Daerah
             Berbicara mengenai implementasi otonomi daerah sejak konsep ini digulirkan lebih dari satu dekade yang lalu mengalami pasang surut dalam pelaksanaannya. Awalnya otoda dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting sebagai tonggak pelaksanaan desentralisasi yang berlandaskan semangat berdemokrasi di mana konsep otoda sendiri lebih memberikan kesempatan atau aksesibilitas kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan khususnya yang ada di daerah. Prinsip otonomi daerah yang menekankan  pada orientasi pada peningkatan kesejahtraan rakyat dengan selalu memperhatikan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Apa yang terjadi dalam pelaksanaan otonomi daerah hingga saat ini justru melahirkan disorientasi terhadap tujuan dan prinsip-prinsip dari konsep otoda sesuai dengan amanat undang-undang, hal ini dapat terlihat dari hasil pelaksanaan otoda secara komprehensif di seluruh indonesia. Sekalipun ada perubahan dari sistem sentralistik ke sistem desentralistik namun tidak secara signifikan dapat merubah daerah menjadi lebih mandiri dan berkembang. Manfaat otoda hanya secara makro yang muncul kepermukaan seperti pengelolaan sebagian urusan seperti yang tertuang dalam pasal UU Nomor 32 tahun 2004 mengenai wewenang baik pemerintah provinsi maupun pemerintah Kabubaten/kota yang dulunya dipegang oleh pusat yang notabene memang harus dilaksanakan oleh daerah dengan tanggungjawab instansi masing-masing. Namun secara mikro pelaksanaan otoda yang berorientasi pada peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka menciptakan kesejahtraan rakyat masih jauh dari harapan.
             Gambaran akan kurangnya efektifitas dalam implementasi otonomi daerah tercermin dari peran elite lokal dalam pengembangan otonomi daerah itu sendiri. Adapun elite lokal yang dimaksud ialah mereka para oknum yang bertanggungjawab dalam mengembangkan dan mengelola daerah untuk menjadi mandiri, para aparat di pemerintahan termasuk para pejabat birokrat, para anggota dewan perwakilan rakyat dari lembaga legislatif dan para stakeholder termasuk para tokoh masyarakat dan tokoh pemuda yang ada dalam lingkup daerah. peran elite lokal dalam melaksanakan otonomi daerah dapat kemudian mendapat penilaian tersendiri khususnya bagi para oknum-oknum yang memiliki otoritas dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. bagaimana tidak  satu dekade lebih dari pelaksanaan otoda dan termasuk dari agenda penting reformasi 1998 para pejabat di daerah semakin banyak yang menikmati jeruji besi dan banyak pula yang akan segera menyusul. Hal inilah yang mungkin dapat mengawali tentang peran elite lokal dalam pelaksanaan otoda hingga saat ini di mana peran elite lokal akan dibahas lebih kompleks lagi.
             Praktek KKN disinyalir menjadi salah satu langkah mundur dalam praktek otoda di Indonesia. dari data yang ada pada beberapa sumber menyebutkan bahwa hampir sebagian besar daerah utamanya daerah Kabupaten/kota memiliki masalah khususnya yang berkaitan dengan korupsi. Tidaklah mengherankan hampir sebagian para pejabat baik itu yang ada ditingkatan eksekutif maupun yang ada di legislatif mewarnai pemberitan di beberapa media, baik itu media cetak maupun elektronik. Dan tidak jarang dari mereka adalah para Bupati atau Walikota dan Ketua DPRD yang langsung terlibat dalam kasus korupsi tersebut, kasus yang masih hangat ialah bagaimana penangkapan Bupati Kabupaten Buol oleh KPK mengenai pembebasan lahan di wilayah tersebut.
             Apa yang terjadi kemudian ialah praktek KKN oleh para elite sudah hampir menjadi kebiasaan bagi mereka, konsekwensinya ialah sudah barang tentu uang rakyat dari APBD yang berasal dari hasil potensi daerah tersebut menjadi sasarannya. Anggaran kemudian menjadi menipis di mana program-program yang ditetapkan dalam perencanaan pembangunan dalam rangka pemberdayaan dan pengembangan masyarakat dan daerah menjadi kurang efektif bahkan ada yang tidak jalan. Hal ini kemudian menjadi ironi bagaimana tidak bahwa terjadi perilaku menyimpang dari para elite lokal dalam rangka memperkaya diri sendiri. Wajar ketika banyak pakar pemerintahan menganggap bahwa konsep otoda saat ini dipahami salah oleh para elite yang mana tujuan mulianya untuk mengurus dan mengelola pemerintahan sesuai dengan potensi yang ada dalam rangka peningkatan kesejahtraan masyarakat malah mereka anggap sebagai kesempatan untuk menjadi raja-raja kecil di daerah mereka sendiri. Satu hal yang sangat miris saat ini di daerah ialah munculnya istilah “korupsi berjemaah”, ada lagi yang menganggap jika tidak korupsi tidak afdol hingga istilah “korupsi sudah biasa”. Maraknya praktek korupsi yang terjadi di daerah seakan terorganisir dengan “hubungan gelap” antara para elite yang ada di daerah dengan ada yang di pusat sehingga memang wajar jika praktek KKN oleh para elite sangat rapi.
             Disorientasi dari peran elite lokal dalam pelaksanaan otoda ialah dalam memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat yang juga berhubungan dengan kesejahtraan masyarakat dalam bidang keamanan. Penjelasannya ialah bahwa para elite lokal yang bersaing dalam rangka mencapai kekuasaan untuk menjadi “Raja kecil” di daerah sudah tidak memperdulikan lagi etika dalam berpolitik. Hal tersebut kemudian terlihat bagaimana para elite lokal menghalalkan segala cara hingga berujung pada konflik horisontal baik yang bersifat fisik maupun yang non fisik antara para warga masyarakat sampai menimbulkan beberapa korban jiwa. Tentu masih segar dalam ingatan kita bagaimana di beberapa daerah terjadi kerusuhan mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung dikarenakan beberapa pihak yang kalah merasa dicurangi, menerima ketidakadilan dan berbagai alasan lain yang mengakibatkan konflik antar pendukung. Padahal jika kita flash kebelakang pemilihan langsung kepala daerah sebagai salah satu dari wujud nyata pelaksanaan otonomi daerah ialah bagaimana masyarakat dapat secara langsung memilih pemimpinnnya di daerah dengan mengutamakan asas jujur dan adil tanpa ada paksaan dari pihak manapun termasuk para elite lokal.implikasi yang timbul kemudian dirasakan oleh masyarakat itu sendiri di mana rasa aman warga masyarakat terusik dengan ulah sebagian elite yang mempunyai kepentingan individu yang bukan mengutamakan kepentingan rakyat. Padahal, kebutuhan akan rasa aman sangat diperlukan oleh masyarakat. Sungguh sangat disayangkan oleh karena ulah para elite yang tidak bertanggungjawab tersebut beberapa masyarakat harus meregang nyawa dan kehilangan harta benda.
             Disorientasi peran elite lokal dalam pelaksanaan otoda selanjutnya masih berhubungan dengan pemilihan kepala daerah secara langsung sebagai manifestasi konsep otoda itu sendiri, di mana letak permasalahannya ketika kita Bila merujuk pada UU Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004 Bab V Pasal 130 ayat 1 dan 2 dimana pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam Eselon II pada pemerintahan daerah sepenunya merupakan domain kepala daerah (Gubernur, Walikota dan Bupati), ini memberikan legitimasi hukum yang kuat menyangkut kewenangan daerah dalam mengelola kepegawaian daerah. Pasal ini sangat jelas menggambarkan Kepala Daerah mempunyai otoritas kuat dalam memetakan dan menentukan formasi jabatan di daerah. Dengan otoritasnya yang begitu kuat, implikasi penyalahgunaan wewenang ini sering kali terjadi dalam mengelola apartur atau pegawai negeri sipil daerah. Pola pembinaan manajemen dan kaitannya dalam menentukan orang-orang dalam rangka memenuhi pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian yang seharusnya dilakukan dengan asas kepastian hukum, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalisme, asas akuntabilitas, asas efisiensi dan asas efektifitas, tetapi kecendenderungan yang terjadi asas-asas tersebut diabaikan, karena seringkali kepala daerah menggunakan pendekatan politis dalam rangka membangun jaringan dan memetakan konsolidasi birokrasi sebagai cara membangun kekuatan politik dari dalam birokrasi. Siapa mendukung siapa, adalah patron yang digunakan dalam rangka membentuk formatur pejabat daerah.
             Pola-pola seperti ini biasanya dilakukan menjelang Pemilihan Kepala daerah atau setelah Pemilihan Kepala Daerah. Asas timbal balik menjadi “kue” yang menjanjikan bagi para pejabat publik daerah, karena secara instan jabatan tertentu sebagai pengembangan karirnya di kepegawaian dapat diperoleh. Hal ini menjadi pertaruhan karir tersendiri bagi para pejabat publik, karena menjelang Pemilukada blok-blok dukungan yang sudah terpetakan sebelumnya akan bertarung menjagokan masing-masing calonnya, Para pejabat dari mulai pejabat Dinas, Camat, Lurah dan Kepala Desa seolah menjadi agen partai atau tim sukses calon kepala daerah tertentu. Manakala calon yang didukungnya menang, asas timbal balik akan dilakukan, artinya pengangkatan dan pemindahan yang diinginkan akan diberikan dengan instan sebagai imbalan politik, akan tetapi manakala calon yang didukung kalah, maka secara karir akan terkucil. Pengembangan karir pegawai negeri sipil daerah seharusnya di dasari oleh pasal 133 UU Otonomi Daerah yang harus mempertimbangkan integritas dan moralitas, pendidikan dan pelatihan, pangkat, mutasi jabatan dan kompetensi. Analisa penulis mengenai polarisasi birokrasi oleh para elite menjelang Pemilukada ini diklasifikasikan menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok loyal. Kelompok ini memiliki konsistensi yang tinggi ketika mendukung seseorang calon, dan cenderung untuk terus menghimpun dan mencari dukungan dari dalam. Kedua, kelompok oportunis. Kelompok ini adalah kelompok yang cenderung ambigu dalam memberikan dukungan, ambiguitas ini dikarenakan selalu menghitung-hitung keuntungan dan kerugian juga mencari keselamatan posisi dan jabatan. Bisa dibayangkan kalau birokrasi dihadapkan pada persoalan politis seperti ini, produktifitas dalam melakukan pelayanan publik akan terganggu. Akan ada gap dan yang lebar antar pejabat, antar Dinas, karena situasi yang serba politis akan menjadi pertimbangan utama dalam mengelola birokrasi daerah, dan hal ini akan berpengaruh kepada ketidak-solidan struktur birokrasi yang ada di daerah dalam melakukan pelayanan publik.
             Peran elite lokal yang lain dianggap tidak relevan dengan semagat otonomi daerah ialah pemekaran daerah untuk menjadi suatu wilayah kekuasaan baik untuk yang menjadi kecamatan, kabupaten maupun provinsi, di mana para elite berlomba untuk ikut berpartisipasi “mempermainkan” kemauan aspirasi masyarakat. Hal yang terjadi para elite yang hanya ingin mendapat keuntungan pribadi berjuang untuk meyakinkan para warga agar bersatu menjadikan wilayah kekuasaannya menjadi lebih baik denga melakukan pemekaran tentunya dengan asumsi ingin mengurus dan mengolah rumah tangganya sendiri demi satu tujuan yakni kesejahtraan. Namun, yang terjadi ialah sesuai dengan hasil diskusi yang didapatkan data bahwa semenjak adanya beberapa daerah yang dimekarkan baik yang berubah menjadi kabupaten maupun  provinsi bahwa hampir 80% lebih wilayah pemekaran tersebut gagal dalam berotonomi. Data tersebut menunjukkan bahwa pengaruh elite  lokal yang dulunya memperjuangkan aspirasi masyarakat utnuk membentuk suatu wilayah baru dalam rangka kesejahtraan hanya sebagai kamuflase bagi mereka untuk berkuasa, dan yang menangung beban dari semua itu ialah warga termasuk daerah itu sendiri. Jangan heran hingga saat ini banyak daerah yang berjuang untuk memekarkan wilayahnya yang notabene hanya diprakarsai oleh sebagian para elite yang berasumsi bahwa itu aspirasi masyarakat walaupun daerah tersebut belum mampu untuk memenuhi syarat administaratif, tehnis maupun fisik dalam rangka membentuk wilayah baru sesuai dengan yang diamanatkan dalam UU pemerintahan derah 32 tahun 2004.
             Pertanyaan yang muncul selanjutnya ialah peran elite lokal yang bagaimana yang harus ada di daerah saat ini yang dapat dikatakan merupakan peran ideal dari para elite lokal dalam implementasi otoda? Berangkat dari hakikat yang terkandung dalam UU NO.32 Tahun 2004 bahwa ada beberapa hak, kewajiban dan kewenagan yang diberikan oleh pusat kepada daerah dalam rangka menagtur dan mengurus pemerintahannya sendiri, secara objektif kita tidak dapat menafikanbahwa pelayanan-pelayan kepada masyarakat secara langsung dan bertanggungjawab sudah dilaksanakan menurut bidang masing-masing. Namun hal ini kemudian menjadi wajar ketika kita memahami bahwa itulah tugas yang harus dilaksanakan oleh seluruh elemen pemerintahan daerah termasuk para elite lokal. Hal yang terpenting kemudian ialah masyarakat bukan hanya merasakan kenyamanan pada saat mereka dilayani atau pada saat proses pelayanan itu sendiri, tetapi yang menjadi tolak ukur dari semuanya itu ialah ketika masyarakat sebagai objek dari pelaksanaan otoda dalam rangka mencapai kesejahtraan merasa akan hal tersebut dan puas berotonomi.
             Tentunya peran positif dan ideal oleh para elite sangat dibutuhkan. Para elite lokal setidaknya melakukan reaktualisasi dari visi dan misi pelaksanaan otoda bagi daerahnya, memberikan kontribusi positif bagi daerah dengan menghilangkan sikap-sikap yang hanya mementingkan kepentingan individu. Selanjutnya memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat dalam berpartisipasi dalam bidang tersebut sehingga tak ada lagi konflik-konflik horisontal yang terjadi di masyarakat. Selanjutnya para elite lokal harus bersikap bijak dalam mengambil segala keputusan yang berkaitan dengan pengembangan daerah. hal yang penting lainnya ialah kemauan untuk membangun daerah karena hal inilah kunci dari berhasil tidaknya otonomi daerah itu dilaksanakan. Jika kemauan dari para elite lokal baik, maka niscaya daerah akan semakin mudah dalam meraih kesejahtaraan di segala aspek kehidupannya. Ya semoga saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar