PERAN ELITE LOKAL
DALAM PERKEMBANGAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA
Oleh Muh. Firyal Akbar A
-
Gambaran Umum
Mengenai Konsep otonomi Daerah
Otonomi Daerah adalah istilah kata
yang muncul di Indonesia sebagai manifestasi dari konsep desentralisasi yang
diterapkan sejak lahirnya UU NO 22 Tahun 2009 tentang Pemerintahan Daerah yang
mempunyai semangat untuk bagaimana mengembangkan daerah dengan asas kemandirian
dan tidak sepenuhnya lagi bergantung pada pemerintahan pusat. Sang pelopor atau
penggagas lahirnya otonomi daerah ialah salah seorang putra dari kawasan
Indonesia timur tepatnya putra sulawesi yakni Ryas Rasyid yang pada waktu itu
juga menjabat sebagai Mentri pada masa kepemimpinan ibu Megawati Soekarno
Putri. Istilah otonomi daerah oleh sebagian pakar atau ahli sering diartikan
sebagai suatu hal positif bagi pemerintah daerah dalam rangka mengembangkan daerah masing-masing untuk
mencapai kesejahtraan rakyat. Mariun (1979)mengungkapkan bahwa dengan kebebasan yang dimiliki
pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri, mengelola dan
mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan untuk berinisiatif merupakan
suatu dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar pemberian otonomi daerah
adalah dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat.Pendapat yang dikemukakan
oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi daerah adalah pemerintahan oleh dan
untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara informal berada di
luar pemerintah pusat. Sedangkan Philip Mahwood (1983) mengemukakan bahwa
otonomi daerah adalah suatu pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan sendiri
yang keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah
guna mengalokasikan sumber sumber material yang substansial tentang
fungsi-fungsi yang berbeda. Pendapat lainnya ialah yang dikemukakan Vincent
Lemius (1986) bahwa otonomi daerah merupakan kebebasan untuk mengambil
keputusan politik maupun administrasi, dengan tetap menghormati peraturan
perundang-undangan. Meskipun dalam otonomi daerah ada kebebasan untuk
menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah, tetapi dalam kebutuhan daerah
senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional, ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Setelah kita melihat pendapat para
ahli tentang konsep otonomi daerah, dalam Undang-undang juga menjelaskan
mengenai definisi otoda itu sendiri sperti dalam UU Nomor 32 tahun 2004 jo. UU
Nomor 12 tahun 2008 dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah Hak, kewajiban dan
kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Lebih lanjut dijelaskan bahwa bila dikaji lebih
jauh isi dan jiwa undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, maka otonomi daerah
mempunyai arti bahwa daerah harus mampu :
1.Berinisiatif
sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan kebijaksanaan sendiri.
2.
Membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.
3.
Menggali sumber-sumber keuangan sendiri.
4.
Memiliki alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya.
Beranjak dari rumusan di atas, dapat
disimpulkan bahwa otonomi daerah pada prinsipnya mempunyai tiga
aspek, yaitu :
1. Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri.
2.
Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan
di atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.
3.
Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai
perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan
menggali sumber pembiayaan sendiri.
Adapun yang dimaksud dengan hak
dalam pengertian otonomi adalah adanya kebebasan pemerintah daerah untuk
mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang kebijaksanaan, pembiyaan serta
perangkat pelaksanaannnya. Sedangkan kewajban harus mendorong pelaksanaan
pemerintah dan pembangunan nasional. Selanjutnya wewenang adalah adanya
kekuasaan pemerintah daerah untuk berinisiatif sendiri, menetapkan
kebijaksanaan sendiri, perencanaan sendiri serta mengelola keuangan sendiri.
Dari beberapa literatur mengenai
konsep otonomi daerah dijelaskan bahwa Pemberian otonomi daerah secara luas
berdasarkan dengan UU No.32 tahun 2004 diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahtraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran
masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu
meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan,
keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Prinsip Otonomi daerah menngunakan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus
dan mengatur semua urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini.
Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan,
peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan
pada peningkatan kesejahtraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut
dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip
otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan
dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senjatanya telah
ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan
kekhasan daerah.
Seiring dengan prinsip –prinsip yang
telah ada penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada
peningkatan kesejahtraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan
aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu penyelenggaraan otonomi
daerah juga harus menjamin keserasian hubungan daerah dengan daerah lainnya,
artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahtraan
bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya
ialah bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar
daerah dengan pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan dan
cita-cita Negara.
-
Sepak Terjang Elite
lokal Dalam Implementasi Otonomi Daerah
Berbicara mengenai implementasi
otonomi daerah sejak konsep ini digulirkan lebih dari satu dekade yang lalu
mengalami pasang surut dalam pelaksanaannya. Awalnya otoda dianggap sebagai
sesuatu yang sangat penting sebagai tonggak pelaksanaan desentralisasi yang
berlandaskan semangat berdemokrasi di mana konsep otoda sendiri lebih
memberikan kesempatan atau aksesibilitas kepada masyarakat untuk ikut
berpartisipasi dalam proses pembangunan khususnya yang ada di daerah. Prinsip
otonomi daerah yang menekankan pada
orientasi pada peningkatan kesejahtraan rakyat dengan selalu memperhatikan
aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Apa yang terjadi dalam pelaksanaan
otonomi daerah hingga saat ini justru melahirkan disorientasi terhadap tujuan
dan prinsip-prinsip dari konsep otoda sesuai dengan amanat undang-undang, hal
ini dapat terlihat dari hasil pelaksanaan otoda secara komprehensif di seluruh
indonesia. Sekalipun ada perubahan dari sistem sentralistik ke sistem
desentralistik namun tidak secara signifikan dapat merubah daerah menjadi lebih
mandiri dan berkembang. Manfaat otoda hanya secara makro yang muncul
kepermukaan seperti pengelolaan sebagian urusan seperti yang tertuang dalam
pasal UU Nomor 32 tahun 2004 mengenai wewenang baik pemerintah provinsi maupun
pemerintah Kabubaten/kota yang dulunya dipegang oleh pusat yang notabene memang
harus dilaksanakan oleh daerah dengan tanggungjawab instansi masing-masing.
Namun secara mikro pelaksanaan otoda yang berorientasi pada peningkatan
pelayanan kepada masyarakat dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka
menciptakan kesejahtraan rakyat masih jauh dari harapan.
Gambaran akan kurangnya efektifitas
dalam implementasi otonomi daerah tercermin dari peran elite lokal dalam
pengembangan otonomi daerah itu sendiri. Adapun elite lokal yang dimaksud ialah
mereka para oknum yang bertanggungjawab dalam mengembangkan dan mengelola
daerah untuk menjadi mandiri, para aparat di pemerintahan termasuk para pejabat
birokrat, para anggota dewan perwakilan rakyat dari lembaga legislatif dan para
stakeholder termasuk para tokoh masyarakat dan tokoh pemuda yang ada dalam
lingkup daerah. peran elite lokal dalam melaksanakan otonomi daerah dapat
kemudian mendapat penilaian tersendiri khususnya bagi para oknum-oknum yang
memiliki otoritas dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. bagaimana
tidak satu dekade lebih dari pelaksanaan
otoda dan termasuk dari agenda penting reformasi 1998 para pejabat di daerah
semakin banyak yang menikmati jeruji besi dan banyak pula yang akan segera
menyusul. Hal inilah yang mungkin dapat mengawali tentang peran elite lokal
dalam pelaksanaan otoda hingga saat ini di mana peran elite lokal akan dibahas
lebih kompleks lagi.
Praktek KKN disinyalir menjadi
salah satu langkah mundur dalam praktek otoda di Indonesia. dari data yang ada
pada beberapa sumber menyebutkan bahwa hampir sebagian besar daerah utamanya
daerah Kabupaten/kota memiliki masalah khususnya yang berkaitan dengan korupsi.
Tidaklah mengherankan hampir sebagian para pejabat baik itu yang ada
ditingkatan eksekutif maupun yang ada di legislatif mewarnai pemberitan di
beberapa media, baik itu media cetak maupun elektronik. Dan tidak jarang dari
mereka adalah para Bupati atau Walikota dan Ketua DPRD yang langsung terlibat
dalam kasus korupsi tersebut, kasus yang masih hangat ialah bagaimana
penangkapan Bupati Kabupaten Buol oleh KPK mengenai pembebasan lahan di wilayah
tersebut.
Apa yang terjadi kemudian ialah
praktek KKN oleh para elite sudah hampir menjadi kebiasaan bagi mereka,
konsekwensinya ialah sudah barang tentu uang rakyat dari APBD yang berasal dari
hasil potensi daerah tersebut menjadi sasarannya. Anggaran kemudian menjadi
menipis di mana program-program yang ditetapkan dalam perencanaan pembangunan
dalam rangka pemberdayaan dan pengembangan masyarakat dan daerah menjadi kurang
efektif bahkan ada yang tidak jalan. Hal ini kemudian menjadi ironi bagaimana
tidak bahwa terjadi perilaku menyimpang dari para elite lokal dalam rangka
memperkaya diri sendiri. Wajar ketika banyak pakar pemerintahan menganggap
bahwa konsep otoda saat ini dipahami salah oleh para elite yang mana tujuan
mulianya untuk mengurus dan mengelola pemerintahan sesuai dengan potensi yang
ada dalam rangka peningkatan kesejahtraan masyarakat malah mereka anggap
sebagai kesempatan untuk menjadi raja-raja kecil di daerah mereka sendiri. Satu
hal yang sangat miris saat ini di daerah ialah munculnya istilah “korupsi
berjemaah”, ada lagi yang menganggap jika tidak korupsi tidak afdol hingga
istilah “korupsi sudah biasa”. Maraknya praktek korupsi yang terjadi di daerah
seakan terorganisir dengan “hubungan gelap” antara para elite yang ada di
daerah dengan ada yang di pusat sehingga memang wajar jika praktek KKN oleh
para elite sangat rapi.
Disorientasi dari peran elite lokal
dalam pelaksanaan otoda ialah dalam memberikan pendidikan politik yang baik
kepada masyarakat yang juga berhubungan dengan kesejahtraan masyarakat dalam
bidang keamanan. Penjelasannya ialah bahwa para elite lokal yang bersaing dalam
rangka mencapai kekuasaan untuk menjadi “Raja kecil” di daerah sudah tidak
memperdulikan lagi etika dalam berpolitik. Hal tersebut kemudian terlihat
bagaimana para elite lokal menghalalkan segala cara hingga berujung pada
konflik horisontal baik yang bersifat fisik maupun yang non fisik antara para
warga masyarakat sampai menimbulkan beberapa korban jiwa. Tentu masih segar
dalam ingatan kita bagaimana di beberapa daerah terjadi kerusuhan mengenai
pemilihan kepala daerah secara langsung dikarenakan beberapa pihak yang kalah
merasa dicurangi, menerima ketidakadilan dan berbagai alasan lain yang
mengakibatkan konflik antar pendukung. Padahal jika kita flash kebelakang
pemilihan langsung kepala daerah sebagai salah satu dari wujud nyata
pelaksanaan otonomi daerah ialah bagaimana masyarakat dapat secara langsung
memilih pemimpinnnya di daerah dengan mengutamakan asas jujur dan adil tanpa
ada paksaan dari pihak manapun termasuk para elite lokal.implikasi yang timbul
kemudian dirasakan oleh masyarakat itu sendiri di mana rasa aman warga
masyarakat terusik dengan ulah sebagian elite yang mempunyai kepentingan
individu yang bukan mengutamakan kepentingan rakyat. Padahal, kebutuhan akan
rasa aman sangat diperlukan oleh masyarakat. Sungguh sangat disayangkan oleh
karena ulah para elite yang tidak bertanggungjawab tersebut beberapa masyarakat
harus meregang nyawa dan kehilangan harta benda.
Disorientasi peran elite lokal
dalam pelaksanaan otoda selanjutnya masih berhubungan dengan pemilihan kepala
daerah secara langsung sebagai manifestasi konsep otoda itu sendiri, di mana
letak permasalahannya ketika kita Bila merujuk pada UU Otonomi Daerah Nomor 32
Tahun 2004 Bab V Pasal 130 ayat 1 dan 2 dimana pengangkatan, pemindahan dan
pemberhentian dari dan dalam Eselon II pada pemerintahan daerah sepenunya
merupakan domain kepala daerah (Gubernur, Walikota dan Bupati), ini memberikan
legitimasi hukum yang kuat menyangkut kewenangan daerah dalam mengelola
kepegawaian daerah. Pasal ini sangat jelas menggambarkan Kepala Daerah
mempunyai otoritas kuat dalam memetakan dan menentukan formasi jabatan di
daerah. Dengan otoritasnya yang begitu kuat, implikasi penyalahgunaan wewenang
ini sering kali terjadi dalam mengelola apartur atau pegawai negeri sipil
daerah. Pola pembinaan manajemen dan kaitannya dalam menentukan orang-orang
dalam rangka memenuhi pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian yang
seharusnya dilakukan dengan asas kepastian hukum, asas kepentingan umum, asas
keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalisme, asas akuntabilitas,
asas efisiensi dan asas efektifitas, tetapi kecendenderungan yang terjadi
asas-asas tersebut diabaikan, karena seringkali kepala daerah menggunakan
pendekatan politis dalam rangka membangun jaringan dan memetakan konsolidasi
birokrasi sebagai cara membangun kekuatan politik dari dalam birokrasi. Siapa
mendukung siapa, adalah patron yang digunakan dalam rangka membentuk formatur
pejabat daerah.
Pola-pola seperti ini biasanya
dilakukan menjelang Pemilihan Kepala daerah atau setelah Pemilihan Kepala
Daerah. Asas timbal balik menjadi “kue” yang menjanjikan bagi para pejabat
publik daerah, karena secara instan jabatan tertentu sebagai pengembangan
karirnya di kepegawaian dapat diperoleh. Hal ini menjadi pertaruhan karir
tersendiri bagi para pejabat publik, karena menjelang Pemilukada blok-blok
dukungan yang sudah terpetakan sebelumnya akan bertarung menjagokan
masing-masing calonnya, Para pejabat dari mulai pejabat Dinas, Camat, Lurah dan
Kepala Desa seolah menjadi agen partai atau tim sukses calon kepala daerah
tertentu. Manakala calon yang didukungnya menang, asas timbal balik akan
dilakukan, artinya pengangkatan dan pemindahan yang diinginkan akan diberikan
dengan instan sebagai imbalan politik, akan tetapi manakala calon yang didukung
kalah, maka secara karir akan terkucil. Pengembangan karir pegawai negeri sipil
daerah seharusnya di dasari oleh pasal 133 UU Otonomi Daerah yang harus
mempertimbangkan integritas dan moralitas, pendidikan dan pelatihan, pangkat,
mutasi jabatan dan kompetensi. Analisa penulis mengenai polarisasi birokrasi
oleh para elite menjelang Pemilukada ini diklasifikasikan menjadi dua kelompok.
Pertama, kelompok loyal. Kelompok ini memiliki konsistensi yang tinggi ketika
mendukung seseorang calon, dan cenderung untuk terus menghimpun dan mencari
dukungan dari dalam. Kedua, kelompok oportunis. Kelompok ini adalah kelompok
yang cenderung ambigu dalam memberikan dukungan, ambiguitas ini dikarenakan
selalu menghitung-hitung keuntungan dan kerugian juga mencari keselamatan
posisi dan jabatan. Bisa dibayangkan kalau birokrasi dihadapkan pada persoalan
politis seperti ini, produktifitas dalam melakukan pelayanan publik akan
terganggu. Akan ada gap dan yang lebar antar pejabat, antar Dinas, karena
situasi yang serba politis akan menjadi pertimbangan utama dalam mengelola
birokrasi daerah, dan hal ini akan berpengaruh kepada ketidak-solidan struktur
birokrasi yang ada di daerah dalam melakukan pelayanan publik.
Peran elite lokal yang lain
dianggap tidak relevan dengan semagat otonomi daerah ialah pemekaran daerah
untuk menjadi suatu wilayah kekuasaan baik untuk yang menjadi kecamatan,
kabupaten maupun provinsi, di mana para elite berlomba untuk ikut
berpartisipasi “mempermainkan” kemauan aspirasi masyarakat. Hal yang terjadi
para elite yang hanya ingin mendapat keuntungan pribadi berjuang untuk
meyakinkan para warga agar bersatu menjadikan wilayah kekuasaannya menjadi
lebih baik denga melakukan pemekaran tentunya dengan asumsi ingin mengurus dan
mengolah rumah tangganya sendiri demi satu tujuan yakni kesejahtraan. Namun,
yang terjadi ialah sesuai dengan hasil diskusi yang didapatkan data bahwa
semenjak adanya beberapa daerah yang dimekarkan baik yang berubah menjadi
kabupaten maupun provinsi bahwa hampir
80% lebih wilayah pemekaran tersebut gagal dalam berotonomi. Data tersebut
menunjukkan bahwa pengaruh elite lokal
yang dulunya memperjuangkan aspirasi masyarakat utnuk membentuk suatu wilayah
baru dalam rangka kesejahtraan hanya sebagai kamuflase bagi mereka untuk
berkuasa, dan yang menangung beban dari semua itu ialah warga termasuk daerah
itu sendiri. Jangan heran hingga saat ini banyak daerah yang berjuang untuk
memekarkan wilayahnya yang notabene hanya diprakarsai oleh sebagian para elite
yang berasumsi bahwa itu aspirasi masyarakat walaupun daerah tersebut belum
mampu untuk memenuhi syarat administaratif, tehnis maupun fisik dalam rangka
membentuk wilayah baru sesuai dengan yang diamanatkan dalam UU pemerintahan
derah 32 tahun 2004.
Pertanyaan yang muncul selanjutnya
ialah peran elite lokal yang bagaimana yang harus ada di daerah saat ini yang
dapat dikatakan merupakan peran ideal dari para elite lokal dalam implementasi
otoda? Berangkat dari hakikat yang terkandung dalam UU NO.32 Tahun 2004 bahwa
ada beberapa hak, kewajiban dan kewenagan yang diberikan oleh pusat kepada
daerah dalam rangka menagtur dan mengurus pemerintahannya sendiri, secara objektif
kita tidak dapat menafikanbahwa pelayanan-pelayan kepada masyarakat secara
langsung dan bertanggungjawab sudah dilaksanakan menurut bidang masing-masing.
Namun hal ini kemudian menjadi wajar ketika kita memahami bahwa itulah tugas
yang harus dilaksanakan oleh seluruh elemen pemerintahan daerah termasuk para
elite lokal. Hal yang terpenting kemudian ialah masyarakat bukan hanya
merasakan kenyamanan pada saat mereka dilayani atau pada saat proses pelayanan
itu sendiri, tetapi yang menjadi tolak ukur dari semuanya itu ialah ketika
masyarakat sebagai objek dari pelaksanaan otoda dalam rangka mencapai
kesejahtraan merasa akan hal tersebut dan puas berotonomi.
Tentunya peran positif dan ideal
oleh para elite sangat dibutuhkan. Para elite lokal setidaknya melakukan
reaktualisasi dari visi dan misi pelaksanaan otoda bagi daerahnya, memberikan
kontribusi positif bagi daerah dengan menghilangkan sikap-sikap yang hanya
mementingkan kepentingan individu. Selanjutnya memberikan pendidikan politik
yang baik kepada masyarakat dalam berpartisipasi dalam bidang tersebut sehingga
tak ada lagi konflik-konflik horisontal yang terjadi di masyarakat. Selanjutnya
para elite lokal harus bersikap bijak dalam mengambil segala keputusan yang
berkaitan dengan pengembangan daerah. hal yang penting lainnya ialah kemauan
untuk membangun daerah karena hal inilah kunci dari berhasil tidaknya otonomi
daerah itu dilaksanakan. Jika kemauan dari para elite lokal baik, maka niscaya
daerah akan semakin mudah dalam meraih kesejahtaraan di segala aspek
kehidupannya. Ya semoga saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar