Jumat, 14 Juni 2013

KEBIJAKAN KENAIKAN BBM : “ANTARA YANG MENYELEMATKAN DAN YANG DISELAMATKAN”



KEBIJAKAN KENAIKAN BBM :
 “ANTARA YANG MENYELEMATKAN DAN YANG DISELAMATKAN”

 

MUH. FIRYAL AKBAR A
Mahasiswa Pasca Sarjana (S2) Administrasi Pembangunan
FISIP UNHAS MAKASSAR

Isu kenaikan BBM kembali menjadi bahan perbincangan di kalangan khalayak ramai, masyarakat dan pembicara-pembicara baik yang ada di media cetak, maupun elektronik. Isu ini seakan menjadi bahan utama pembahasan khususnya untuk sebulan terakhir dikarenakan berbagai cerita-cerita tersendiri yang ada di dalamnya. Fenomena kabijakan kenaikan BBM yang rencananya akan dengan segera ditetapkan oleh pemerintah mendapat berbagai tanggapan dari beberapa pihak, baik yang pro maupun yang kontra, dengan asumsi dan statment dari masing-masing kelompok-kelompok tersebut. Pada saat sedang menulis pun saat ini beberapa pihak dalam hal ini kelompok-kelompok mahasiswa maupun LSM berkumpul dan bergerak mengumandangkan aspirasi mereka untuk menolak kenaikan harga BBM yang dianggap akan semakin menambah beban penderitaan rakyat. Pemerintah pun kali ini seakan  tidak bergeming dengan aksi yang dilakukan dihampir beberapa daerah di nusantara karena mereka juga berasumsi kuat jika kebijakan tentang kenaikan harga BBM tidak segera dilakukan akan membuat stabilitas perekonomian Indonesia terganggu.
Kata-kata menyelematkan dan diselamatkan kini menjadi hal yang sering terdengar di media elektronik oleh pemerintah, para politisi dan publik sendiri. Pihak pemerintah mengklaim jika saat ini tak ada pilihan lain selain menaikkan harga BBM untuk menyelamatkan perekonomian dan menyehatkan postur anggaran negara. Beberapa asumsi yang dijelaskan diantaranya bahwa subsidi yang diberikan oleh negara terhadap ketersediaan BBM untuk tahun ini sudah sangat membengkak mencapai Rp.120 Trilyun  lebih dan diperkirakan akan membuat APBN defisit hingga 3% lebih yang dapat berakibat buruk bagi stabilitas ekonomi. Asumsi lain dari Pemerintah adalah bahwa subsidi untuk BBM selama ini yang diperuntukkan bagi masyarakat menengah ke bawah dianggap tidak tepat sasaran karena yang menikmati justru mereka pemilik kendaraan yang mempunya ekonomi lebih, padahal bagi mereka dianjurkan untuk memakai BBM non subsidi. Hal lain yang saat ini menjadi perbincangan hangat bahwa dampak subsidi BBM yang harus dikeluarkan oleh Negara berpengaruh akan kurs mata uang rupiah saat ini yang terus melemah hingga menyentuh angka 10.000 per dollar. Berbagai asumsi tersebut maka Pemerintah baik dari beberapa Kementrian yang terkait dan Presiden SBY sendiri bersikukuh untuk mengambil kebijakan menaikkan BBM dari harga Rp.4.500 menjadi Rp.6.000 atau Rp.6.500 sesuai dengan hitungan kasar para analis ekonomi pemerintah, dan untuk itu Pemerintah selalu memposisikan diri sebagai pihak yang wajib “menyelamatkan” Negara dan warga Negaranya.
Kebijakan yang akan dilakukan Pemerintah tidak berhenti dengan hanya menaikkan harga BBM bersubsidi, tetapi kebijakan lain yang akan diambil adalah pemberian Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang akan dilakukan setelah proses naiknya harga BBM. Pemerintah kemudian juga  mengeluarkan KJS atau kartu Jaminan Sosial kepada mayarakat yang nantinya berhak menerima, di mana dengan KJS ini masyarakat berhak untuk menerima  tambahan bantuan beras untuk masyarakat miskin, tambahan untuk beasiswa untuk siswa-siswi miskin dan untuk keluarga sejahtera. Hal-hal yang akan dilakukan oleh pemerintah tentunya sangat membantu jika kebijakan BBM sudah dinaikkan, karena secara tidak langsung masyarakat akan sangat mengharapkan bantuan langsung dalam waktu dekat, apalagi menjelang puasa dan lebaran. Hal yang kemudian dipermasalahkan oleh beberapa pihak khususnya bagi yang menolak kebijakan kenaikan BBM adalah momentum dan dampak jangka panjang dari kebijakan BLSM dan KJS itu sendiri.
Bagi mereka yang kontra atau yang “diselamatkan” akan kebijakan kenaikan BBM secara umum menganggap bahwa kenaikan BBM nantinya akan sangat berdampak pada kehidupan sehari-hari mereka. Para  LSM, kelompok mahasiswa, sebagian politisi hingga beberapa kalangan akademisi misalnya menganggap bahwa kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah setelah kenaikan harga BBM nanti yakni pemberian BLSM dan KJS syarat akan kepentingan pihak tertentu. Tentunya yang dimaksudkan adalah pemerintah lebih khusus bagi partai penguasa. Hal ini terlihat dari konflik internal yang saat ini terjadi untuk partai koalisi pemerintah yakni Partai Demokrat dan PKS yang berbeda pandangan dalam kebijakan kenaikan BBM.BLSM dan KJS kemudian menjadi sesuatu yang dipertanyakan dikarenakan kebijakan yang dianggap tidak populis oleh Pemerintah ini seakan-akan menjadi jualan politik bagi partai penguasa untuk meraup suara rakyat menjelang Pemiliu 2014. Beberapa LSM dan kelompok-kelompok mahasiswa bereaksi keras akan kebijakan kenaikan BBM yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah di mana mereka kemudian menganggap bahwa kebijakan kenaikan BBM belum tepat dilaksanakanm di tengah kondisi perekonomian masyarakat di tingkat mikro belum stabil, dikarenakan kenaikan sebagian bahan-bahan makanan dan barang yang ada di pasaran. Asumsi lain adalah masih banyak hal lain yang dapat dilakukan oleh pemerintah, misalnya merestrukturisasi postur anggaran APBN yang sangat boros untuk belanja kementrian dan birokrasi, dan beberapa pos anggaran lain yang mengalami kebocoran anggaran untuk dialihkan ke pos tambahan untuk subsidi BBM sehingga subsidinya tidak membengkak. Selain itu, hal lain yang dapat dilakukan ialah dengan memanfaatkan sumber cadangan energi dan pemanfaatan sumber energi baru untuk konsumsi industri-industri yang sangat banyak memakai BBM.
“menyelamatkan dan “diselamatkan”
Kata-kata tersebut seakan menjadi tanda tanya dibenak penulis yang selalu bertanya siapakah yang sebenarnya yang menyelamatkan dan siapa yang diselamatkan. Jika kata menyelematkan diberikan ke pada Pemerintah dengan asumsi bahwa Pemerintah akan menyelamatkan Negara dari defisit karena subsidi BBM yang membengkak dan menyelamatkan Warga Negara dari kesulitan ekonomi jika Kebijakan kenaikan BBM terealisasi mungkin akan bisa diterima, namun jika melihatnya dari sisi yang berbeda mungkin kata menyelamatkan untuk Pemerintah dapat dipertimbangkan ulang, mengapa? Penulis mencoba memberikan gambaran bahwa ketika pemerintah mengambil kebijakan untuk menaikkan BBM dibarengi dengan pemberian BLSM dan KJS bukan berarti hal tersebut sebagai solusi terbaik, perlu diketahui bahwa dana BLSM dan KJS yang dipakai untuk diberikan ke pada masyarakat nantinya di luar dari perhitungan APBN sebelumnya dan tentunya pos untuk BLSM dan KJS akan diatur ulang dari APBNP, yang menjadi ironis ketika dana tersebut nantinya akan didapatkan dari pinjaman luar Negeri  sebesar Rp.60 Trilun, artinya dana yang didapatkan masyarakat adalah dana pinjaman yang diklaim Pemerintah sebagai pemberian bantuan oleh Negara ke pada rakyatnya. Selanjutnya, bahwa kebijakan BLSM dan KJS syarat akan makna politis, hal ini tentu saja dikarenakan bahwa fenomena “membagi-bagikan uang”  sangat identik dengan menarik simpati rakyat terlebih pada saat momentum menjelang Pemilu 2014. Realistis ketika saat ini partai penguasa atau partai Pemerintah mengalami sedikit badai masalah dikarenakan kasus korupsi yang menimpa beberapa kader penting partai Demokrat. Dari fakta tersebut tak ada jalan lain untuk partai Demokrat untuk mengembalikan citra partai yang saat ini sangat menurun, dari hasil survey dari beberapa lembaga survey menunjukkan elektabilitas partai Demokrat menurun drastis. Salah satu cara diantaranya ialah memanfaatkan program-program yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah yang pro rakyat termasuk diantaranya pemberian BLSM. Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa sebenarnya dengan kebijakan BLSM yang nantinya jika terealisasi diperkirakan akan “menyelamatkan” citra positif Pemerintah atau partai pemerintah di mata masyarakat.
Bagi yang “diselamatkan” dalam hal ini rakyat hanya bisa pasrah dan menunggu Pemerintah untuk membagi-bagi uang BLSM. Hal yang menarik ketika rakyat yang dianggap sebagai yang diselamatkan justru penulis anggap sebagai penyelamat pemerintah terutama para elite birokrat dan para pejabat-pejabat baik yang berada pada jajaran eksekutif, legislatif dan yudikatif. Diselamatkan dalam arti ketika kebijakan kenaikan BBM dinaikkan untuk mengurangi subsidi BBM yang membengkak, maka pos-pos anggaran khususnya untuk belanja birokrasi dan kementrian akan aman, dan tentunya yang menikmati adalah mereka yang mempunyai kepentingan. Padahal jika seandainya kita dapat berandai-andai pemerintah dapat memangkas belanja birokrasi yang terlalu banyak, maka pemerintah setidaknya dapat mengalihkan anggaran tersebut untuk penambahan subsidi BBM jika ada niatan baik untuk menyelamatkan rakyat. Hal tersebut memungkinkan saja terjadi karena jika kita melihat pos anggaran di APBN untuk belanja birokrasi sangat membengkak bahkan menurut survey mengenai belanja birokrasi 80% dari anggaran tersebut justru mengalami kebocoran yang tidak jelas ke mana peruntukannya, yang tidak sesuai dengan kinerja pemerintah khususnya apratur Negara yang saat ini terbentur dengan praktek-praktek KKN.
Saat ini yang diperlukan Pemerintah adalah kecerdasan dalam menentukan kebijakan menaikkan BBM itu sendiri. Permasalahan bukan terletak pada harus naik atau tidaknya karena segala hal yang berkaitan dengan kebijakan strategis pemerintah berada pada tangan Presiden sebagai kepala Pemerintahan dan kepala Negara yang mempunyai hak prerogatif untuk menentukan sesuatu termasuk menaikkan BBM. Menurut hemat penulis langkah menaikkan BBM saat ini belum tepat melihat kondisi Negara saat ini. Asumsi yang pertama menjadi pertimbangan adalah dari sisi masyarakat isu kenaikan BBM sangat berpengaruh terhadap pasar di mana saat ini harga barang dan bahan pokok sudah naik di pasaran, belum lagi menjelang puasa dan Lebaran tentunya harga-harga tersebut akan semakin melonjak. BLSM dan KJS, apapun bentuknya itu yang diadakan untuk meringankan beban masyarakat pastinya tidak akan berhasil untuk membantu warga, BLSM sendiri yang akan dikeluarkan hanya Rp.150 ribu/bulan yang mau tidak mau harus dicukupi oleh warga, dan menurut penulis tidak akan mencukupi kebutuhan warga. Selain itu pemberian BLSM yang akan diberikan dari sisi kemanusiaan sangat tidak mendidik warga, hal ini dikarenakan bahwa warga diajarkan untuk selalu menerima bantuan dari Pemerintah dalam bentuk uang. Beberapa hasil penelitian tentang efektifitas bantuan langsung yang dulu dikenal dengan BLT dan sekarang BLSM juga menunjukkan bahwa pemberian bantuan langsung justru mendidik masyarakat menjadi “malas” dan selalu menggantungkan nasibnya kepada pemerintah, bahkan seakan-akan warga menjadi”pengemis” ke pada pemerintah.
Hal lain adalah reaksi dari masyarakat LSM dan kelompok mahasiswa khususnya yang sangat keras menentang kebijakan kenaikan BBM perlu menjadi faktor pertimbangan sendiri untuk Pemerintah dalam mengkaji ulang niat untuk menaikkan BBM, khususnya yang terjadi di Makassar kelompok mahasiswa bereaksi keras bahkan melakukan tindakan anarkis hingga merusak fasilitas-fasilitas pemerintahan. Reaksi tersebut tentunya bukan semata-mata tak beralasan karena penulis meyakini bahwa kelompok mahasiswa yang turun ke jalan telah melakukan kajian yang mendalam mengenai pantas tidaknya BBM naik atau tidak.
Pertimbangan lain yang mungkin Pemerintah mengetahuinya tapi sengaja untuk diindahkan adalah bahwa banyak kebijakan lain yang bisa diambil, menurut penulis kebijakan yang mungkin dapat diambil selain menaikkan BBM dalam rangka penyelamatan ekonomi Indonesia adalah penegasan aturan mengenai penggunaan BBM non subsidi bagi mereka yang tidak berhak untuk menerima BBM subsidi, dengan jalan kendaraan roda empat atau sejenisnya wajib memakai BBM non subsidi, jika tidak ijin kendaraannya akan dicabut, atau pajak kendaraannya akan dinaikkan. Begitupun dengan SPBU yang jika kedapatan mengisi BBM bersubsidi bagi kendaraan yang tidak berhak menerima BBM bersubsidi ijin opersinya juga harus dicabut. Intinya terletak pada kemauan untuk menjalankan dan menegakkan aturan, dan hal itulah yang masih sangat sulit terealisasi di Negara kita.
Selanjutnya adalah penggunaan sumber energi baru yang ramah lingkungan selain BBM untuk digunakan dalam rangka penghematan BBM khususnya bagi indutri-industri yang ada di Indonesia yang menggunakan BBM bersubsidi. Hal lain adalah pemanfaatan potensi pajak yang ada di Indonesia sebagai salah satu sumber utama penerimaan Negara, selain itu hal lain yang realistis dilakukan  dalam upaya menyehatkan postur anggaran belanja Negara adalah pemangkasan belanja birokrasi pada pos-pos anggarana yang tidak efektif, yang performancenya kurang optimal. Kebijakan lain adalah pemerintah dituntut untuk menyediakan infrasturktur transportasi massal yang nyaman layaknya yang sudah dikembangkan oleh Negara-negara maju seperti Jepang dengan Sinkansennya, Singapura dengan MRT dan Negara-negara maju lainnya, yang berdampak pada penggunaan transportasi massal oleh para warga sehingga selain menghemat BBM karena banyak yang tidak menggunakan kendaraan pribadi, juga akan mengurangi kemacetan. Hal yang menjadi lucu yang terjadi di Negara kita bahwa Pemerintah selalu mendorong untuk melakukan penghematan energi khususnya BBM namun disatu sisi kendaraan yang masuk tiap harinya di Indonesia tak terhitung jumlahnya saking banyaknya yang ingin berkendara di Negara ini yang tentunya seakan dibiarkan oleh Pemerintah karena kepentingan-kepentingan tertentu, padahal justru kendaraan-kendaraan yang baru inilah yang sangat banyak menghabiskan BBM.
Pada akhirnya penulis berkesimpulan bahwa dibutuhkan kemauaan yang tinggi untuk membangun Negara, dan berupaya semaksimal mungkin untuk menghilangkan disorientasi yang terjadi selama ini oleh para elite, birokrat, pejabat, politis dan stakeholder yang ada di Negara ini. Sadarlah untuk “menyelamatkan” rakyat bukan yang justru “diselamatkan”/

Rabu, 15 Mei 2013

BERBAGAI PENDEKATAN DALAM ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK



BERBAGAI PENDEKATAN DALAM ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK
Oleh  Muh. Firyal Akbar A
             Dalam studi mengenai kebiajakan publik setidaknya ada beberapa pendekatan yang dikemukakan oleh para ahli di mana secara komprehensif menjelaskan mengenai pendekatan yang kemudian digunakan dalam merumuskan suatu kebijakan publik, setidaknya dari berbagai sumber didapatkan ada 14 pendekatan yang digunakan dalam analisis kebijakan publik. Adapun berbagai pendekatan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :
1.   Pendekatan Kelompok
         Beberapa kontributor utama dari pendekatan teoritik kelompok terhadap sistem politik dan kebijakan publik bisa disebutkan antara lain adalah: Arthur Bentley (1908), The Process of Government, David Truman (1951), The Government Process, Earl Latham (1952), The Group Basis of Politics. Di kalangan para teoretisi kelompok terdapat pandang­an yang sama tentang konsep kelompok. Menurut mereka, kelompok­kelompok adalah the ultimate "real" of politics. Secara garis besar pendekatan ini menyatakan bahwa pemben­tukan kebijakan pada dasarnya merupakan hasil dari perjuangan anta­ra kelompok-kelompok dalarn masyarakat. Suatu kelompok merupakan kumpulan individu-individu yang diikat oleh tingkah laku atau kepen­tingan yang sama. Mereka mempertahankan dan membela tujuan-tu­juan dalam persaingannya vis-a-vis kelompok-kelompok lain. Bila sua­tu kelompok gagal dalam mencapai tujuan-tujuannya melalui tindak­an-tindakannya sendiri, maka kelompok itu biasanya menggunakan politik dan pembentukan kebijakan publik untuk mempertahankan ke­pentingan kelompoknya. Berbeda dengan apa yang dimaksud suatu kelompok potensial, adalah sekumpulan individu-individu dengan pe­rilaku yang sama, berinteraksi untuk membentuk suatu kelompok, jika kelompok-kelompok lain mengancam kepentingan-kepentingan mereka.
         Dalam rangka memengaruhi kebijakan publik kelompok-kelompok kepentingan barangkali akan menggunakan berbagai macam sumber untuk'memengaruhi pembuatan kebijakan tersebut, seperti misalnya uang, prestise, informasi, perhatian media massa, kepemimpinan dan keahlian-keahlian pengelolaan politik. Sementara itu, kelompok-kelompok yang memiliki sumber-sumber keuangan yang cukup mungkin saja tidak mempunyai sumber lain yang memadai, seperti misalnya: akses terhadap media. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan publik akan mengarah kepada kepentingan kelompok besar yang berpengaruh baik secara ekonomis maupun non-ekonomis dan semakin jauh dari kepentingan kelompok-kelompok kecil.
         Pendekatan kelompok mempunyai anggapan dasar bahwa interaksi dan perjuangan antara kelompok-kelompok merupakan kenyataan dari kehidupan politik. Dalam pandangan kelompok, individu akan mempunyai arti penting hanya bila ia merupakan partisan dalam atau wakil kelompok-kelompok tertentu. Dengan melalui kelompok-kelompoklah individu-individu berusaha untuk mendapatkan pilihan-pilihan politik yang mereka inginkan. Dalam memperjuangkan kepentingan mereka masing-masing, kelompok-kelompok ini dapat menggunakan strategi membentuk koalisi dengan kelompok-kelompok lain dan tetap mengamati politik kebijakan bahwa koalisi-koalisi besar dapat digunakan untuk menundukkan koa lisi kecil. Kelompok-kelompok kepentingan dalam politik lebih memusatkan pada lembaga legislatif, ketimbang cabang-cabang pemerintahan lain dan birokrasi eksekutif menduduki tempat kedua sebagai pilihan-pilihan untuk mendapatkan akses. Kelompok-kelompok mengetahui dengan baik bahwa anggota-anggota dari lembaga legislatif dapat mencampuri kegiatan-kegiatan birokrasi untuk kepentingan mereka. Hal ini bisa ditunjukkan misalnya, dalam demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok mahasiswa, petani maupun buruh hampir selalu ditujukan kepada lembaga legislatif. Sementara itu, hu¬bungan-hubungan antara kelompok-kelompok dengan birokrasi cenderung semakin erat dan lebih baik, jika kedua kekuatan itu mempunyai struktur-struktur fungsional yang paralel.
         Namun demikian, seperti diungkapkan oleh Anderson, pendekatan ini mempunyai kelemahan, yakni terlalu meremehkan peran be-bas dan kreatif yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan publik. Ini disebabkan oleh perhatiannya yang terlalu berlebihan terhadap peran kelompok-kelompok dalam sistem politik. Oleh karena itu, menganalisis kebijakan publik hanya mendasarkan pada pendekatan kelompok menjadi agak kurang memadai tanpa memerhatikan faktor-faktor lain yang memengaruhi proses pembuatan kebijakan publik.
2.   Pendekatan Proses Fungsional
Harold Lasswell mengemukakan tujuh kategori analisis fungsional yang dapat digunakan sebagai dasar bagi pembahasan teori fungsional:
1.Inteligensi: Bagaimana informasi tentang masalah-masalah kebijakan mendapat perhatian para pembuat keputusan-keputusan kebijakan dikumpulkan dan diproses.
2.Rekomendasi: Bagaimana rekomendasi-rekomendasi atau alternatif-alternatif untuk mengatasi suatu masalah tertentu dibuat dan dikembangkan.
3.Preskripsi: Bagaimana peraturan-peraturan umum dipergunakan atau diterapkan dan oleh siapa?
4.Permohonan (invocation): Siapa yang menentukan apakah perilaku tertentu bertentangan dengan peraturan-peraturan atau undang-undang dan menuntut penggunaan peraturan-per¬aturan atau undang-undang?
5.Aplikasi: Bagaimana undang-undang atau peraturan-peraturan sebenarnya diterapkan atau diberlakukan?
6.Penilaian: Bagaimana pelaksanaan kebijakan, keberhasilan atau kegagalan itu dinilai?
7.Terminasi: Bagaimana peraturan-peraturan atau undang-un-dang semula dihentikan atau dilanjutkan dalam bentuk yang berubah atau dimodifikasi?
         Dalam tahap-tahap selanjutnya dari proses kebijakan, para pembuat kebijakan mungkin berusaha menggunakan informasi baru untuk mengubah proses kebijakan semula. Walaupun Lasswell mengatakan bahwa desain ini sebagai "proses keputusan (decision process)", desain ini berada di luar pembuatan keputusan yang berangkat dari pilihan-pilihan khusus dan sebenarnya mencakup "arah tindakan tentang suatu masalah".
         Desain analisis ini mempunyai beberapa keuntungan. Pertama, desain ini tidak terikat pada lernbaga-lembaga atau peraturan-peraturan politik khusus. Kedua, desain analisis ini memberi keuntungan untuk analisis komparasi pembentukan kebijakan. Untuk tujuan tersebut, orang bisa saja menyelidiki bagaimana fungsi-fungsi yang berbeda ini dilaksanakan, pengaruh apa dan oleh siapa dalam sistem politik atad unit-unit pemerintahan yang berbeda dilakukan. Namun demikian, desain ini juga mempunyai kelemahan. Penekanannya pada kategori-kategori fungsional mungkin akan menyebabkan pengabaian terhadap politik pembentukan kebijakan dan pengaruh variabel-variabel lingkungan dalam proses pembuatan kebijakan publik. Dalam bahasa yang lebih ringkas, kita dapat mengatakan bahwa pembentukan kebijakan lebih dari sekedar proses intelektual.
3.   Pendekatan Kelembagaan (Institusionalisme)
         Struktur-struktur dan lembaga-lembaga pemerintah telah lama merupakan fokus yang penting dari ilmu politik. Kajian ilmu politik tradisional memfokuskan studi pada lembaga-lembaga pemerintah. Dalam pandangan tradisional, kegiatan-kegiatan politik secara umum berpusat di sekitar lembaga-lembaga pemerintah tertentu, seperti kongres, kepresidenan, pengadilan, pemerintah daerah, partai politik dan sebagainya. Kegiatan individu-individu dan kelompok-kelompok secara umum diarahkan kepada lembaga-lembaga pemerintah dan kebijakan publik secara otoritatif ditentukan dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pemerintah.
         Hubungan antara kebijakan publik dan lembaga-lembaga pemerintah dilihat sebagai hubungan yang sangat erat. Suatu kebijakan tidak menjadi suatu kebijakan publik sebelum kebijakan itu ditetapkan dan dilaksanakan oleh suatu lembaga pemerintah. Lembaga-lembaga pemerintah memberi dua karakteristik yang berbeda terhadap kebijakan publik. Pertama, pemerintah memberi legitimasi kepada kebijakan-kebijakan. Kebijakan-kebijakan pemerintah secara umum dipandang sebagai kewaiiban yang sah yang menuntut loyalitas warga negara.  Kedua, kebijakan-kebijakan pemerintah membutuhkan universalitas. Hanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang menjangkau dan dapat menghukum secara sah orang-orang yang melanggar kebijakan tersebut. Sanksi-sanksi yang dapat dijatuhkan oleh kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi lain dalam masyarakat bersifat lebih terbatas dibandingkan dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Dengan demikian, keunggulan dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah bahwa kebijakan tersebut dapat menuntut loyalitas dari semua warganegaranya dan mempunyai ke-mampuan membuat kebijakan yang mengatur seluruh masyarakat dan memonopoli penggunaan kekuatan secara sah yang mendorong individu-individu dan kelompok membentuk pilihan-pilihan mereka dalam kebijakan.
Sekalipun demikian, pendekatan ini juga mempunyai kelemahan sebagaimana pendekatan-pendekatan yang lain. Kelemahan pendekatan tradisional yang paling mencolok adalah bahwa pendekatan lembaga dalam ilmu politik tidak mencurahkan perhatian yang banyak pada hubungan antar struktur lembaga-lembaga pemerintah dan substansi kebijakan publik. Sebaliknya, studi-studi lembaga biasanya lebih berusaha menjelaskan lembaga-lembaga pemerintah secara khusus, seperti misalnya struktur, organisasi, kewajiban dan fungsi-fungsi tanpa secara otomatis menyelidiki dampak dari karakteristik-karakteristik lembaga-lembaga tersebut pada hasil-hasil kebijakan. Aturan-aturan konstitusi dan undang-undang dijelaskan secara terperinci sebagaimana kantor-kantor dan badan-badan pemerintah yang banyak sekali jumlahnya, baik di pusat maupun di daerah-daerah. Kebijakan-kebijakan publik seringkali dijelaskan, tetapi jarang dianalisis dan hubungan antara struktur dan kebijakan publik secara luas tidak diselidiki.
4.   Pendekatan Peran Serta Warga Negara
         Penjelasan pembuatan kebijakan publik ini,didasarkan pada pemikiran demokrasi klasik dari John Locke dan pemikiran John Stuart Mill, yang menekankan pengaruh yang baik dari peran warganegara dalam perkembangan kebijakan publik. Dengan keikutsertaan warga-negara dalam masalah-masalah masyarakat, maka para warganegara akan memperoleh pengetahuan dan pemahaman, mengembangkan rasa tanggung jawab sosial yang penuh, dan menjangkau perspektif mereka di luar batas-batas kehidupan pribadi.
         Teori peran serta warganegara didasarkan pada harapan-harapan yang tinggi tentang kualitas warganegara dan keinginan mereka untuk terlibat dalam kehidupan publik. Menurut teori ini, dibutuhkan warganegara yang memiliki struktur-struktur kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai dan fungsi-fungsi demokrasi. Setiap warga negara harus memiliki cukup kebebasan untuk berperan serta dalam masalah-ma¬salah politik, mempunyai sikap kritis yang sehat dan harga diri yang cukup dan yang lebih penting adalah perasaan mampu, dan  di atas segala-galanya, para warganegara harus tertarik dalam politik dan menjadi terlibat secara bermakna.
         Dengan adanya peningkatan program-program kesejahteraan publik serta ditopang oleh tingkat pendidikan masyarakat yang semakin baik, banyak sekali warganegara yang semakin terlibat dalam kegiatan politik dan sering berhubungan langsung dengan birokrasi-birokrasi pemerintah. Selain itu, mereka biasanya juga memiliki pengetahuan yang terinci tentang program-program dan prosedur-prosedur pemerintah sejalan dengan usaha para warganegara. Beberapa penelitian berkenaan dengan peran serta warganegara mengungkapkan bahwa para pembuat kebijakan lebih responsif terhadap warganegara yang mempunyai peran serta daripada warganegara yang tidak mempunyai peran serta. Di samping itu, mereka cenderung menerima tuntutan-tuntutan dan pilihan-pilihan agenda yang diusulkan oleh kelompok warganegara yang berperan serta dalam rangka memecahkan masalah.
5.   Pendekatan Psikologis
         Pokok perhatian pendekatan ini diberikan pada hubungan antar pribadi dan faktor-faktor kejiwaan yang memengaruhi tingkah laku orang-orang yang terlibat dalam proses pelaksanaan kebijakan. Individu-individu selama dalam proses pelaksanaan kebijakan tidak kehilangan diri, tetapi sebaliknya mereka dianggap sebagai peserta yang sangat penting yang memainkan peran penting dalam pembentukan kebijakan. Menurut Amir Santoso pendekatan ini juga menjelaskan hubungan antarpribadi antara perumus dan pelaksana kebijakan. Hubungan tersebut menjadi variabel yang menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu program. Dengan merujuk pendapat McLaughlin, Amir Santoso menyatakan bahwa terdapat tiga jenis hubungan yang berbeda antara perumus kebijakan dengan pelaksana kebijakan, yakni adaptasi bersama, kooptasi dan non-implementasi.
6.   Pendekatan Proses
         Dalam pendekatan ini, masalah¬masalah masyarakat pertama-tama diakui sebagai suatu isu untuk dilakukan tindakan, dan kemudian kebijakan ditetapkan, diimplementasikan oleh para pejabat agensi, dievaluasi, dan akhirnya diterminasi atau diubah atas dasar keberhasilan atau kekurangannya. Tentu saja proses ini jauh lebih kompleks, ketimbang gambaran yang lebih sederhana ini. Namun demikian, pada saat kita bicara tentang siklus kebijakan, kita bicara suatu proses kebijakan melalui mana kebanyakan kebijakan publik melintas. Sekalipun, realitas dari proses kebijakan adalah sangat kompleks, proses ini bisa dipahami secara lebih baik dengan membayangkannya seolah-olah kebijakan itu melewati sejumlah tahap yang berbeda-beda.
7.   Pendekatan Subtantif
         Beberapa ilmuwan kebijakan berpendapat bahwa keahlian (ex-pertise) dalam bidang substantif sangat dibutuhkan dan memberikan kepada seseorang kredibilitas yang sangat besar, ketimbang seorang analis kebijakan "generic" yang merupakan seorang spesialis kebijakan kesejahteraan bulanan dan spesialis kebijakan penanggulangan kejahatan bulan berikutnya. Untuk memeroleh keahlian dalam suatu bidang substantif seringkali membutuhkan seseorang menjadi akrab de-ngan aspek-aspek teknik dan politik dari suatu bidang kebijakan. Misalnya, Charles O. Jones menulis sebuah buku klasik tentang kebijakan kualitas udara dalam tahun 1970-an; dia harus mempunyai hubungan yang sangat akrab dengan isu-isu teknik maupun isu-isu politik yang berkaitan dengan udara bersih. Dengan melakukan hal demikian, dia mampu menghasilkan sebuah buku yang sangat bagus yang mengom-binasikan keterampilan analisis kebijakan dengan keahlian substantif.
         Di lain sisi, beberapa ilmuwan kebijakan berpendapat bahwa pengetahuan substantif secara relatif tidak diperlukan untuk menjadi seorang analis kebijakan yang bagus. Sebaliknya, mereka berpendapat bahwa seseorang hanya membutuhkan keterampilan dalam proses dan metode kebijakan publik. Substansi secara relatif tidak penting.Namun demikian, dalam pandangan Lester dan Stewart, substansi adalah penting, karena bisa memberikan seseorang suatu wawasan tentang persoalan-persoalan yang ditanyakan dalam melakukan suatu analisis kebijakan. Pengetahuan tentang substansi ini dibutuhkan untuk memahami dan untuk menginterpretasikan penemuan-penemuan empirik dari seorang peneliti.

8.   Pendekatan Logical-Positivist
         Pendekatan logical-positivist, seringkali disebut sebagai pendekatan perilaku (behavioral approach) atau pendekatan keilmuan (scientific approach), menganjurkan penggunaan teori-teori yang berasal dari penelitian deduktif (deductively derived theories), model-model, pengujian hipotesis, data keras (hard data), metode komparasi, dan analisis statistik yang ketat. "Keilmuan" (scientific) dalam konteks ini mempunyai makna beberapa hal. Pertama, mempunyai makna mengklarifikasi konsep-konsep kunci yang digunakan dalam analisis kebijakan. Misalnya, konsep-konsep, seperti implementasi kebijakan harus didefinisikan lebih hati-hati, ketimbang pada masa lalu. Sebelumnya, implementasi didefinisikan sebagai dikotomi ya/ tidak, ketimbang sebagai suatu proses merancang garis-garis pedoman, menyediakan dana, memonitor kinerja, dan memperbaiki undang-undang. Kedua, mempunyai makna bekerja dari teori eksplisit tentang perilaku kebijakan, dan menguji teori ini dengan hipotesis-hipotesis. Ketiga, mempunyai makna menggunakan data keras, mengembangkan langkah-langkah yang baik terhadap berbagai fenomena, dan secara ideal, menyelidiki bermacam-macam penjelasan melewati waktu.
9.   Pendekatan Ekonometrik
         Pendekatan ekonometerik, kadangkala dinamakan pendekatan pilihan publik (the public choice approach) atau pendekatan ekonomi politik, terutama didasarkan pada teori-teori ekonomi politik. Pendekatan ini menjelaskan bahwa sifat alami manusia diasumsikan "rasional," atau dimotivasi oleh pencapaian secara pribadi murni. Pendekatan ini beranggapan bahwa orang mengejar preferensi-preferensi mereka yang berbobot tetap, terlepas hasil-hasil kolektif.Secara esensial, pendekatan ini mengintegrasikan wawasan umum tentang riset kebijakan publik dengan metode-metode keuangan publik. Misalnya, diasumsikan bahwa preferensi-preferensi individu adalah sempit dan beragam, yang membutuhkan individu mengagregasikan preferensi-preferensinya ke dalam masyarakat luas yang bisa meminta tindakan pemerintah. Pendekatan ini telah memperoleh respek dal am ilmu kebijakan, sekalipun dikritik sebagai pendekatan yang agak sempit terhadap analisis kebijakan. Secara khusus, ada yang berpendapat bahwa pendekatan ini tidak sama sekali salah, tetapi pendekatan ini dianggap tidak lengkap dalam asumsi-asumsinya tentang sifat manusia dan kekuasaan politik. Secara khusus, manusia adalah altruistik (tidak hanya rasional atau egois), dan dengan demikian, kadangkala dimotivasi untuk melayani kepentingan publik atau kepentingan kolektif.
10.Pendekatan Fenomenologik (Postpositivist)
         Pendekatan ini dinamakan pendekatan phenomologik, naturalistik, atau postpositivist. Pada intinya, pendekatan ini berpendapat bahwa para analis perlu mengadopsi" suatu respek bagi penggunaan intuisi yang sehat secara tertib, yang dirinya dilahirkan dari pengalaman yang tidak bisa direduksi ke model, hipotesis, kuantifikasi, dan data keras," Secara metodologik, para analis memperlakukan setiap potongan dari fenomena sosial sebagai suatu peristiwa yang unik, dengan indeks etnografik dan indeks kualitatif menjadi yang paling penting. Pandangan alternatif ini dideskripsikan oleh kepedulian-nya dengan pemahaman, ketimbang prediksi, dengan hipotesis-hipotesis kerja, ketimbang dengan pengujian hipotesis yang ketat, dan dengan hubungan timbal balik antara peneliti dan obyek studi, ketimbang observasi yang terpisah di pihak para analis. Untuk mengumpulkan "bukti," pendekatan ini lebih memanfaatkan penggunaan studi-studi kasus secara berkelanjutan, ketimbang menggunakan teknik-teknik analisis yang canggih. Singkatnya, pendekatan ini lebih menekankan kepeduliannya pada keketatan keilmuan dengan intuisi dan pem-benaman secara menyeluruh dalam informasi yang relevan.
11.Pendekatan Partisipatori
         Pendekatan partisipatori ini dikaitkan dengan pandangan Peter DeLeon, yang mempunyai kaitan erat dengan tantangan pospositivist, dan mencakup inklusi perhatian yang besar dan nilai-nilai dari berbagai stakeholders dalam proses pembuatan keputusan kebijakan. Pendekatan ini agaknya lebih dekat dengan apa yang disebut oleh Harold Lasswell, policy sciences of democracy, di mana populasi yang diperluas dari para warganegara yang dipengaruhi terlibat dalam perumusan dan implementasi kebijakan publik melalui serangkaian dialog yang tidak berkesinambungan. Pendekatan ini mencakup dengar pendapat terbuka secara ekstensif dengan sejumlah besar warganegara yang mempunyai kepedulian, di mana dengai pendapat ini disusun dalam suatu cara untuk mempercepat para individu, kelompok-kelompok kepentingan, dan para pejabat agensi memberikan kontribusi mereka kepada pembuatan desain dan redesain kebijakan. Tujuan yang dinyatakan dari analisis kebijakan partisipatori adalah mengumpulkan informasi sehingga para pembentuk kebijakan bisa membuat rekomendasi dan keputusan yang lebih baik.
         Di lain sisi, kritik-kritik terhadap pendekatan partisipatori seringkali mengatakan bahwa keterlibatan warganegara yang meningkat akan menimbulkan peningkatan pula dalam pertikaian kelompok atas program dan prosedur, dan hal ini akan menimbulkan penundaan yang tidak ada gunanya dalam perumusan dan implementasi, sehingga biaya pembuatan kebijakan dan implementasi akan meningkat pula secara dramatis, dan kepentingan-kepentingan yang tidak senang akan mencoba merusak program-program melalui litigasi atau minta per-lindungan kepada parlemen. Lebih dari itu, di mana eksperimen-eksperimen partisipatori telah dicoba sebelumnya, kebingungan dan konflik akan segera meningkat. Pendekatan partisipatori mungkin bermanfaat sebagai arahan kepada pembentukan agenda, perumusan kebijakan, dan implementasi kebijakan, ketimbang tahap-tahap lain dalam proses kebijakan publik. Dalam beberapa hal, pendekatan ini lebih merupakan preskripsi untuk desain atau redesain kebijakan atau, ketimbang sebagai suatu pendekatan empirik untuk memahami pembentukan kebijakan atau implementasi.
12. Pendekatan Normatif dan Perskriptif
         Dalam pendekatan normatif atau preskriptif, analis perlu men-definisikan tugasnya sebagai analis kebijakan sama seperti orang yang mendefinisikan "end state," dalam arti bahwa preskripsi ini bisa diinginkan dan bisa dicapai. Para pendukung pendekatan ini seringkali menyarankan suatu posisi kebijakan dan menggunakan retorika dalam suatu cara yang sangat lihai untuk meyakinkan pihak lain tentang manfaat dari posisi mereka. Beberapa contoh dari tipe analisis kebijakan ini bisa dilihat dari hasil-hasil studi yang dilakukan oleh Henry Kissinger, Jeane Kirkpatrick, atau para ilmuwan politik praktisi lainnya. Pada intinya, mereka menggunakan argumen-argumen yang lihai dan (kadangkala) secara selektif menggunakan data untuk mengajukan suatu posisi politik dan untuk meyakinkan pihak lain bahwa posisi mereka dalam suatu pilihan kebijakan yang layak. Kadangkala, tipe analisis ini mengarah kepada tuduhan bahwa para analis kebijakan seringkali menyembunyikan ideologi mereka sebagai ilmu.
13.Pendekatan Ideologik
         Thomas Sowell menamakan pendekatan ideologi ini "visi" (visions) dan mengidentifikasi dua perspektif yang bersaing. Pertama, "visi yang dibatasi" (the constrained vision) merupakan suatu gambaran manusia egosenttrik dengan keterbatasan moral. Oleh karenanya, tantangan moral dan sosial yang fundamental adalah untuk membuat yang terbaik dari kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam keterpaksaan/keterbatasan ketimbang menghamburkan energi dalam suatu upaya yang sia-sia untuk mengubah sifat manusia. Dengan logika ini, kemudian, orang seyogianya mengandalkan pada insentif, ketimbang disposisi, untuk mendapatkan perilaku yang pantas. Prospek dari ganjaran atau ketakutan terhadap hukuman memberikan insentif untuk memeroleh perilaku yang pantas. Secara fundamental, hal ini menghasilkan suatu pandangan konservatif tentang sifat manusia dan akan mengarah kepada posisi kebijakan yang lebih konservatif, jika orang beranggapan bahwa keterpaksaan utama berasal dari dalam individu, ketimbang pembebanan yang berasal dari lingkungan di luar individu.
         Kedua, "visi yang tidak dibatasi" (the unconstrained vision) memberikan suatu pandangan tentang sifat manusia di mana pemahaman dan disposisi manusia adalah mampu untuk memeroleh keuntungan-keuntungan sosial. Menurut perspektif ini, manusia mampu merasakan secara langsung kebutuhan-kebutuhan orang lain lebih penting, ketimbang kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri, dan karenanya mampu bertindak secara konsisten dan secara adil, bahkan pada saat kepentingan-kepentingan mereka atau keluarga mereka terlibat. Kemudian, pandangan tentang sifat manusia ini, seringkali dikaitkan dengan pandangan liberal bahwa sifat manusia adalah tidak mempunyai keterbatasan. Agaknya, keterbatasan justru dikenakan oleh lingkungan di luar individu.
14.Pendekatan Historis/Sejarah
Banyak sarjana kebijakan publik makin meningkatkan perhatian mereka kepada evolusi kebijakan publik melintasi waktu. Peneliti bisa melakukan penelitian tentang kebijakan-kebijakan publik dari perspektif lima puhih tahun atau lebih. Dengan demikian, peneliti bisa melihat pola-pola tertentu dalam bentuk kebijakan publik yang sebelumnya yang tidak dikenali karena analisis menggunakan kerangka waktu yang pendek (misalnya, analisis lintas sektional atau analisis terbatas pada kurun waktu satu dekade atau lebih). Hanya dengan meneliti kebijakan-kebijakan publik dari titik pandang kurun waktu yang panjang analis bisa memeroleh perspektif yang jauh lebih baik tentang pola¬pola yang ada dalam pembuatan kebijakan publik, baik misalnya di negara-negara maju, seperti di Amerika Serikat, maupun di negara-negara berkembang, seperti di Indonesia.
KESIMPULAN
Masing-masing pendekatan yang telah disampaikan di awal uraian, seperti telah ditunjukkan  sebelumnya mempunyai kelemahan dan keunggulannya masing-masing. Oleh karena itu, dalam tulisan ini tidak berpretensi untuk mengatakan bahwa suatu pendekatan adalah sangat memuaskan atau paling baik untuk melakukan analisis terhadap kebijakan publik dibandingkan dengan pendekatan yang lain. Hal ini terjadi karena bisa jadi suatu pendekatan akan sangat "mumpuni" untuk melakukan analisis terhadap suatu kebijakan tertentu, tetapi mungkin pendekatan tersebut tidak akan banyak membantu dalam melakukan analisis terhadap kebijakan lainnya. Masing-masing teori atau pendekatan lebih memusatkan pada aspek-aspek politik dan pembuatan kebijakan yang berbeda. Oleh karena itu, pendekatan-pendekatan seperti ini tampaknya lebih bermanfaat bagi beberapa tujuan dan beberapa situasi tertentu daripada bagi tujuan-tujuan dan situasi-situasi yang lain. Dengan demikian, secara umum orang tidak harus terikat secara ketat atau dogmatis kepada model atau pendekatan teoritik tertentu.





REFERENSI
Agustino, Leo. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Alfabeta. Bandung
Nugroho, Riant. 2002. Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang. PT Elex Media Komputindo. Jakarta
Subarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik : Konsep, Teori dan Praktek. Pustaka Belajar. Yogyakarta
Winarno, Budi. 2012. Kebijakan Publik (Teori, Proses dan Studi Kasus). CAPS. Jakarta