KEBIJAKAN KENAIKAN
BBM :
“ANTARA YANG MENYELEMATKAN DAN YANG
DISELAMATKAN”
MUH.
FIRYAL AKBAR A
Mahasiswa
Pasca Sarjana (S2) Administrasi Pembangunan
FISIP
UNHAS MAKASSAR
Isu
kenaikan BBM kembali menjadi bahan perbincangan di kalangan khalayak ramai,
masyarakat dan pembicara-pembicara baik yang ada di media cetak, maupun
elektronik. Isu ini seakan menjadi bahan utama pembahasan khususnya untuk
sebulan terakhir dikarenakan berbagai cerita-cerita tersendiri yang ada di
dalamnya. Fenomena kabijakan kenaikan BBM yang rencananya akan dengan segera
ditetapkan oleh pemerintah mendapat berbagai tanggapan dari beberapa pihak,
baik yang pro maupun yang kontra, dengan asumsi dan statment dari masing-masing
kelompok-kelompok tersebut. Pada saat sedang menulis pun saat ini beberapa
pihak dalam hal ini kelompok-kelompok mahasiswa maupun LSM berkumpul dan
bergerak mengumandangkan aspirasi mereka untuk menolak kenaikan harga BBM yang dianggap
akan semakin menambah beban penderitaan rakyat. Pemerintah pun kali ini
seakan tidak bergeming dengan aksi yang
dilakukan dihampir beberapa daerah di nusantara karena mereka juga berasumsi
kuat jika kebijakan tentang kenaikan harga BBM tidak segera dilakukan akan
membuat stabilitas perekonomian Indonesia terganggu.
Kata-kata
menyelematkan dan diselamatkan kini menjadi hal yang sering terdengar di media
elektronik oleh pemerintah, para politisi dan publik sendiri. Pihak pemerintah
mengklaim jika saat ini tak ada pilihan lain selain menaikkan harga BBM untuk
menyelamatkan perekonomian dan menyehatkan postur anggaran negara. Beberapa
asumsi yang dijelaskan diantaranya bahwa subsidi yang diberikan oleh negara
terhadap ketersediaan BBM untuk tahun ini sudah sangat membengkak mencapai
Rp.120 Trilyun lebih dan diperkirakan
akan membuat APBN defisit hingga 3% lebih yang dapat berakibat buruk bagi
stabilitas ekonomi. Asumsi lain dari Pemerintah adalah bahwa subsidi untuk BBM
selama ini yang diperuntukkan bagi masyarakat menengah ke bawah dianggap tidak
tepat sasaran karena yang menikmati justru mereka pemilik kendaraan yang
mempunya ekonomi lebih, padahal bagi mereka dianjurkan untuk memakai BBM non
subsidi. Hal lain yang saat ini menjadi perbincangan hangat bahwa dampak
subsidi BBM yang harus dikeluarkan oleh Negara berpengaruh akan kurs mata uang
rupiah saat ini yang terus melemah hingga menyentuh angka 10.000 per dollar.
Berbagai asumsi tersebut maka Pemerintah baik dari beberapa Kementrian yang
terkait dan Presiden SBY sendiri bersikukuh untuk mengambil kebijakan menaikkan
BBM dari harga Rp.4.500 menjadi Rp.6.000 atau Rp.6.500 sesuai dengan hitungan
kasar para analis ekonomi pemerintah, dan untuk itu Pemerintah selalu
memposisikan diri sebagai pihak yang wajib “menyelamatkan” Negara dan warga
Negaranya.
Kebijakan
yang akan dilakukan Pemerintah tidak berhenti dengan hanya menaikkan harga BBM
bersubsidi, tetapi kebijakan lain yang akan diambil adalah pemberian Bantuan
Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang akan dilakukan setelah proses naiknya
harga BBM. Pemerintah kemudian juga
mengeluarkan KJS atau kartu Jaminan Sosial kepada mayarakat yang
nantinya berhak menerima, di mana dengan KJS ini masyarakat berhak untuk
menerima tambahan bantuan beras untuk masyarakat
miskin, tambahan untuk beasiswa untuk siswa-siswi miskin dan untuk keluarga
sejahtera. Hal-hal yang akan dilakukan oleh pemerintah tentunya sangat membantu
jika kebijakan BBM sudah dinaikkan, karena secara tidak langsung masyarakat
akan sangat mengharapkan bantuan langsung dalam waktu dekat, apalagi menjelang
puasa dan lebaran. Hal yang kemudian dipermasalahkan oleh beberapa pihak khususnya
bagi yang menolak kebijakan kenaikan BBM adalah momentum dan dampak jangka
panjang dari kebijakan BLSM dan KJS itu sendiri.
Bagi
mereka yang kontra atau yang “diselamatkan” akan kebijakan kenaikan BBM secara
umum menganggap bahwa kenaikan BBM nantinya akan sangat berdampak pada
kehidupan sehari-hari mereka. Para LSM,
kelompok mahasiswa, sebagian politisi hingga beberapa kalangan akademisi
misalnya menganggap bahwa kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah
setelah kenaikan harga BBM nanti yakni pemberian BLSM dan KJS syarat akan
kepentingan pihak tertentu. Tentunya yang dimaksudkan adalah pemerintah lebih
khusus bagi partai penguasa. Hal ini terlihat dari konflik internal yang saat
ini terjadi untuk partai koalisi pemerintah yakni Partai Demokrat dan PKS yang
berbeda pandangan dalam kebijakan kenaikan BBM.BLSM dan KJS kemudian menjadi
sesuatu yang dipertanyakan dikarenakan kebijakan yang dianggap tidak populis
oleh Pemerintah ini seakan-akan menjadi jualan politik bagi partai penguasa
untuk meraup suara rakyat menjelang Pemiliu 2014. Beberapa LSM dan
kelompok-kelompok mahasiswa bereaksi keras akan kebijakan kenaikan BBM yang
akan dikeluarkan oleh Pemerintah di mana mereka kemudian menganggap bahwa
kebijakan kenaikan BBM belum tepat dilaksanakanm di tengah kondisi perekonomian
masyarakat di tingkat mikro belum stabil, dikarenakan kenaikan sebagian
bahan-bahan makanan dan barang yang ada di pasaran. Asumsi lain adalah masih
banyak hal lain yang dapat dilakukan oleh pemerintah, misalnya
merestrukturisasi postur anggaran APBN yang sangat boros untuk belanja
kementrian dan birokrasi, dan beberapa pos anggaran lain yang mengalami
kebocoran anggaran untuk dialihkan ke pos tambahan untuk subsidi BBM sehingga
subsidinya tidak membengkak. Selain itu, hal lain yang dapat dilakukan ialah
dengan memanfaatkan sumber cadangan energi dan pemanfaatan sumber energi baru
untuk konsumsi industri-industri yang sangat banyak memakai BBM.
“menyelamatkan
dan “diselamatkan”
Kata-kata
tersebut seakan menjadi tanda tanya dibenak penulis yang selalu bertanya
siapakah yang sebenarnya yang menyelamatkan dan siapa yang diselamatkan. Jika
kata menyelematkan diberikan ke pada Pemerintah dengan asumsi bahwa Pemerintah
akan menyelamatkan Negara dari defisit karena subsidi BBM yang membengkak dan
menyelamatkan Warga Negara dari kesulitan ekonomi jika Kebijakan kenaikan BBM
terealisasi mungkin akan bisa diterima, namun jika melihatnya dari sisi yang
berbeda mungkin kata menyelamatkan untuk Pemerintah dapat dipertimbangkan
ulang, mengapa? Penulis mencoba memberikan gambaran bahwa ketika pemerintah
mengambil kebijakan untuk menaikkan BBM dibarengi dengan pemberian BLSM dan KJS
bukan berarti hal tersebut sebagai solusi terbaik, perlu diketahui bahwa dana
BLSM dan KJS yang dipakai untuk diberikan ke pada masyarakat nantinya di luar
dari perhitungan APBN sebelumnya dan tentunya pos untuk BLSM dan KJS akan
diatur ulang dari APBNP, yang menjadi ironis ketika dana tersebut nantinya akan
didapatkan dari pinjaman luar Negeri
sebesar Rp.60 Trilun, artinya dana yang didapatkan masyarakat adalah
dana pinjaman yang diklaim Pemerintah sebagai pemberian bantuan oleh Negara ke
pada rakyatnya. Selanjutnya, bahwa kebijakan BLSM dan KJS syarat akan makna
politis, hal ini tentu saja dikarenakan bahwa fenomena “membagi-bagikan
uang” sangat identik dengan menarik
simpati rakyat terlebih pada saat momentum menjelang Pemilu 2014. Realistis
ketika saat ini partai penguasa atau partai Pemerintah mengalami sedikit badai
masalah dikarenakan kasus korupsi yang menimpa beberapa kader penting partai
Demokrat. Dari fakta tersebut tak ada jalan lain untuk partai Demokrat untuk
mengembalikan citra partai yang saat ini sangat menurun, dari hasil survey dari
beberapa lembaga survey menunjukkan elektabilitas partai Demokrat menurun
drastis. Salah satu cara diantaranya ialah memanfaatkan program-program yang
akan dikeluarkan oleh Pemerintah yang pro rakyat termasuk diantaranya pemberian
BLSM. Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa sebenarnya dengan kebijakan
BLSM yang nantinya jika terealisasi diperkirakan akan “menyelamatkan” citra
positif Pemerintah atau partai pemerintah di mata masyarakat.
Bagi
yang “diselamatkan” dalam hal ini rakyat hanya bisa pasrah dan menunggu
Pemerintah untuk membagi-bagi uang BLSM. Hal yang menarik ketika rakyat yang
dianggap sebagai yang diselamatkan justru penulis anggap sebagai penyelamat
pemerintah terutama para elite birokrat dan para pejabat-pejabat baik yang
berada pada jajaran eksekutif, legislatif dan yudikatif. Diselamatkan dalam
arti ketika kebijakan kenaikan BBM dinaikkan untuk mengurangi subsidi BBM yang
membengkak, maka pos-pos anggaran khususnya untuk belanja birokrasi dan
kementrian akan aman, dan tentunya yang menikmati adalah mereka yang mempunyai
kepentingan. Padahal jika seandainya kita dapat berandai-andai pemerintah dapat
memangkas belanja birokrasi yang terlalu banyak, maka pemerintah setidaknya
dapat mengalihkan anggaran tersebut untuk penambahan subsidi BBM jika ada niatan
baik untuk menyelamatkan rakyat. Hal tersebut memungkinkan saja terjadi karena
jika kita melihat pos anggaran di APBN untuk belanja birokrasi sangat
membengkak bahkan menurut survey mengenai belanja birokrasi 80% dari anggaran
tersebut justru mengalami kebocoran yang tidak jelas ke mana peruntukannya,
yang tidak sesuai dengan kinerja pemerintah khususnya apratur Negara yang saat
ini terbentur dengan praktek-praktek KKN.
Saat
ini yang diperlukan Pemerintah adalah kecerdasan dalam menentukan kebijakan menaikkan
BBM itu sendiri. Permasalahan bukan terletak pada harus naik atau tidaknya
karena segala hal yang berkaitan dengan kebijakan strategis pemerintah berada
pada tangan Presiden sebagai kepala Pemerintahan dan kepala Negara yang
mempunyai hak prerogatif untuk menentukan sesuatu termasuk menaikkan BBM.
Menurut hemat penulis langkah menaikkan BBM saat ini belum tepat melihat
kondisi Negara saat ini. Asumsi yang pertama menjadi pertimbangan adalah dari
sisi masyarakat isu kenaikan BBM sangat berpengaruh terhadap pasar di mana saat
ini harga barang dan bahan pokok sudah naik di pasaran, belum lagi menjelang
puasa dan Lebaran tentunya harga-harga tersebut akan semakin melonjak. BLSM dan
KJS, apapun bentuknya itu yang diadakan untuk meringankan beban masyarakat
pastinya tidak akan berhasil untuk membantu warga, BLSM sendiri yang akan
dikeluarkan hanya Rp.150 ribu/bulan yang mau tidak mau harus dicukupi oleh
warga, dan menurut penulis tidak akan mencukupi kebutuhan warga. Selain itu
pemberian BLSM yang akan diberikan dari sisi kemanusiaan sangat tidak mendidik
warga, hal ini dikarenakan bahwa warga diajarkan untuk selalu menerima bantuan
dari Pemerintah dalam bentuk uang. Beberapa hasil penelitian tentang
efektifitas bantuan langsung yang dulu dikenal dengan BLT dan sekarang BLSM
juga menunjukkan bahwa pemberian bantuan langsung justru mendidik masyarakat
menjadi “malas” dan selalu menggantungkan nasibnya kepada pemerintah, bahkan
seakan-akan warga menjadi”pengemis” ke pada pemerintah.
Hal
lain adalah reaksi dari masyarakat LSM dan kelompok mahasiswa khususnya yang
sangat keras menentang kebijakan kenaikan BBM perlu menjadi faktor pertimbangan
sendiri untuk Pemerintah dalam mengkaji ulang niat untuk menaikkan BBM,
khususnya yang terjadi di Makassar kelompok mahasiswa bereaksi keras bahkan
melakukan tindakan anarkis hingga merusak fasilitas-fasilitas pemerintahan.
Reaksi tersebut tentunya bukan semata-mata tak beralasan karena penulis
meyakini bahwa kelompok mahasiswa yang turun ke jalan telah melakukan kajian
yang mendalam mengenai pantas tidaknya BBM naik atau tidak.
Pertimbangan
lain yang mungkin Pemerintah mengetahuinya tapi sengaja untuk diindahkan adalah
bahwa banyak kebijakan lain yang bisa diambil, menurut penulis kebijakan yang
mungkin dapat diambil selain menaikkan BBM dalam rangka penyelamatan ekonomi
Indonesia adalah penegasan aturan mengenai penggunaan BBM non subsidi bagi
mereka yang tidak berhak untuk menerima BBM subsidi, dengan jalan kendaraan
roda empat atau sejenisnya wajib memakai BBM non subsidi, jika tidak ijin
kendaraannya akan dicabut, atau pajak kendaraannya akan dinaikkan. Begitupun
dengan SPBU yang jika kedapatan mengisi BBM bersubsidi bagi kendaraan yang
tidak berhak menerima BBM bersubsidi ijin opersinya juga harus dicabut. Intinya
terletak pada kemauan untuk menjalankan dan menegakkan aturan, dan hal itulah
yang masih sangat sulit terealisasi di Negara kita.
Selanjutnya
adalah penggunaan sumber energi baru yang ramah lingkungan selain BBM untuk
digunakan dalam rangka penghematan BBM khususnya bagi indutri-industri yang ada
di Indonesia yang menggunakan BBM bersubsidi. Hal lain adalah pemanfaatan
potensi pajak yang ada di Indonesia sebagai salah satu sumber utama penerimaan
Negara, selain itu hal lain yang realistis dilakukan dalam upaya menyehatkan postur anggaran
belanja Negara adalah pemangkasan belanja birokrasi pada pos-pos anggarana yang
tidak efektif, yang performancenya kurang optimal. Kebijakan lain adalah
pemerintah dituntut untuk menyediakan infrasturktur transportasi massal yang nyaman
layaknya yang sudah dikembangkan oleh Negara-negara maju seperti Jepang dengan
Sinkansennya, Singapura dengan MRT dan Negara-negara maju lainnya, yang
berdampak pada penggunaan transportasi massal oleh para warga sehingga selain
menghemat BBM karena banyak yang tidak menggunakan kendaraan pribadi, juga akan
mengurangi kemacetan. Hal yang menjadi lucu yang terjadi di Negara kita bahwa
Pemerintah selalu mendorong untuk melakukan penghematan energi khususnya BBM
namun disatu sisi kendaraan yang masuk tiap harinya di Indonesia tak terhitung
jumlahnya saking banyaknya yang ingin berkendara di Negara ini yang tentunya
seakan dibiarkan oleh Pemerintah karena kepentingan-kepentingan tertentu,
padahal justru kendaraan-kendaraan yang baru inilah yang sangat banyak
menghabiskan BBM.
Pada
akhirnya penulis berkesimpulan bahwa dibutuhkan kemauaan yang tinggi untuk
membangun Negara, dan berupaya semaksimal mungkin untuk menghilangkan
disorientasi yang terjadi selama ini oleh para elite, birokrat, pejabat,
politis dan stakeholder yang ada di Negara ini. Sadarlah untuk “menyelamatkan”
rakyat bukan yang justru “diselamatkan”/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar