“ BUDAYA
MALU BAGI PEJABAT PUBLIK DALAM KISRUH LEMBAGA PENEGAK HUKUM (KPK VS POLRI)”
Oleh :
Muh. Firyal Akbar, S.IP,M.Si
(Dosen
Administrasi Negara Universitas Muhammadiyah Gorontalo)
Kisruh yang terjadi antara dua lembaga yang
notabene sebagai institusi penegak hukum di Negeri ini tengah disoroti, bukan
karena prestasi dari kinerja dari dua lembaga ini namun karena keputusan-keputusan
dari kedua lembaga yang kemudian melahirkan polemik yang hingga saat ini masih
berlangsung. Dimulai dengan keputusan penetapan status tersangka calon tunggal
Kapolri yang disodorkan Presiden Joko Widodo kepada DPR oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Komisaris Jenderal Budi Gunawan terkait dugaan
kasus “rekening gendut” yang kemudian seakan menjadi pukulan telak bagi
institusi Kepolisian, walaupun sehari setelah penetapannya DPR tetap
melaksanakan uji kepatutan dan kelayakan (fit and Propert test) dan seakan berbuntut
pada “Serangan” kepada pimpinan KPK yang juga ditetapkan sebagai tersangka,
dari penangkapan wakil ketua KPK Bambang Wijayanto oleh Bareskrim Polri dengan
dugaan kasus kesaksian palsu oleh seorang saksi pada sidang MK untuk perkara
Pilkada KotaWaringin Barat, yang dimana pada saat itu Bambang sebagai lawyer
dari pasangan salah satu calon Pilkada tersebut, penangkapannya juga atas
laporan dari mantan calon Kepala Daerah Kota Waringin Barat. Tak cukup sampai
disitu, beberapa pimpinan KPK termasuk Ketua KPK Abraham Samad tidak lama lagi
juga akan ditetapkan sebagai Tersangka dalam kasus berbeda, yakni pertemuannya
dengan para elite Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang diungkapkan PLT
Sekjen P-DIP Hasto Kristanto, yang didalamnya diduga berisi tawaran dari Ketua
KPK dalam menyelesaikan ataupun meringankan kasus yang sementara KPK periksa,
hingga dugaan kasus pemalsuan Dokumen Negara (KTP/Paspor) ketika Abraham Samad
masih aktif di Makassar
Etika Pejabat Publik Dalam Kisruh POLRI dan
KPK
Dalam tulisan yang akan penulis sajikan ini
tidak akan membahas lebih jauh dan terperinci dari apa yang telah terjadi
antara ke dua Lembaga penegak hukum ini, ataupun mengenai kronologinya lebih
mendalam, namun yang penulis sajikan adalah hal-hal yang berkaitan dengan
permasalahan Etika dari para pejabat Negara/Publik yang diduga terlibat dalam kekisruhan
ini. Konsep etika sangat berkaitan dengan tingkah laku dari seseorang, apalagi
untuk mereka yang diberi tugas sebagai
pejabat publik, dalam menjalankan tugas dan fungsinya secara baik dan benar,
melihat permasalahan mana yang salah dan mana yang benar, dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan kewajiban moral pejabat itu sendiri. Definisi Etika
sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) etika dibagi dalam tiga
definisi etika, yakni ilmu mengenai apa yang baik dan buruk, kumpulan azas atau
nilai, dan nilai mengenai benar dan salah. Sedangkan menurut K. Bertens, etika dalah nilai-nilai dan
norma moral, yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya. Selanjutnya dalam perkembangannnya secara historis Prof.Dr.
Jimly Asshiddiqie, SH, dalam tulisannya
mengenai sejarah etika profesi dan jabatan publik, mengatakan tradisi membangun
etika positif berupa prinsip-prinsip etika dan perilaku yang dirumuskan,
sebagai standar yang diidealkan bagi para anggota suatu komunitas profesi atau
jabatan tertentu yang membutuhkan kepercayaan publik, yang dimulai dari negara
inggris dan sampai ke amerika, dimulai dari kode etik kedokteran, kode etik
akuntan, sampai kepada kode etik hukum.
Dari penjelasan tersebut dapat terlihat bahwa
Etika adalah salah satu hal penting dalam kehidupan sosial kemasyarakatan
karena didalamnya terdapat nilai-nilai positif, yang tentunya Etika dari
seseorang khususnya bagi mereka yang diberikan wewenang dalam suatu jabatan
akan mencerminkan kemampuan dia sebagai seorang pemimpin dalam profesi kerja
yang diberikan kepadanya.
Budaya Malu Bagi Pejabat Publik Dalam Kisruh
Polri vs KPK
Kaitan dengan pembahasan Etika tentunya setiap
pejabat publik sudah semestinya mengetahui apa yang harus mereka lakukan ketika
ada permasalahan yang terjadi padanya baik secara pribadi maupun institusi,
semestinya sebagai pejabat publik mereka sudah mengetahui langkah apa yang akan
diambil yang akan menunjukkan sikap dia sebagai pemimpin yang mengerti etika,
dan sedikit memiliki “rasa malu”. Rasa malu atau “budaya malu” untuk pejabat
publik yang sedang terlibat masalah atau kasus yang menyebabkan dirinya menjadi
sorotan publik sebenarnya bukanlah hal yang kemudian dianggap rendah, justru
budaya malu harus ditujukkan sebagai sikap kesatria dari seorang abdi Negara.
Budaya malu yang dimaksud adalah sikap yang harus diambil oleh seorang pejabat
publik ketika dirinya diduga terlibat atau bahkan ditetapkan sebagai tersangka
dalam salah satu kasus, dengan melakukan pengunduran diri dari jabatan yang
diembannya (nonaktif).
Budaya malu sebenarnya sudah banyak yang
dilakukan oleh para pejabat publik di beberapa Negara maju ketika mereka
menganggap dirinya merasa bertanggung jawab atas jabatannya, bahkan sebagian
dari mereka mundur dari jabatannya hanya karena merasa dirinya gagal dalam
menjalankan tugasnya dengan baik atau maksimal. Misalnya Negara Korea Selatan, dimana
seorang Menteri ekonomi pengetahuan bidang energi mundur hanya karena hampir
dua juta rumah warga negara di korsel mati selama satu jam. Selanjutnya PM
Korea Chung Mong-Won juga menyatakan mengundurkan diri karena kejadian
tenggelamnya kapal feri Sewoul, dimana keputusan itu diambil sebagai bentuk
tanggung jawab kepala pemerintahan atas kejadian yang menewaskan 187 orang
tersebut. Ada juga PM Yunani pada november 2011 mengundurkan diri lantaran
merasa tidak mampu mengatasi keuangan negara dalam hal utang. PM jepang pada
juni 2010 beberapa tahun lalu mengundurkan diri karena tidak mampu memenuhi
janji politiknya. Negara Brasil yang baru tahun lalu sukses menggelar piala
dunia tahun 2014 juga mengalami pengunduran diri beberapa pejabatnya,
sedikitnya ada tujuh Menteri yang mengundurkan diri terkait dugaan kasus
korupsi, berkaitan dengan tugas mereka masing-masing. Namun kita tidak menutup
mata jika “budaya malu” juga terjadi di Indonesia dimana pada era kepemimpinan
Pak SBY beberapa Pejabat Negara juga mengundurkan diri dalam Kabinet Indonesia
Bersatu karena terlibat kasus Korupsi, seperti Menpora Andi Alfian Mallarangeng,
Menristek Jero Wacik yang notabene adalah kader dari Partai Demokrat Pimpinan
SBY sendiri, bedanya kemudian jika di Indonesia pejabatnya nanti mengundurkan
diri ketika dirinya sudah ditetapkan tersangka, bahkan sebagian dari para
pejabat yang berperkara masih tampil dengan tenang di depan layar kaca. Berbeda dengan beberapa Pejabat yang ada di
Negara lain yang mundur ketika mereka baru diisukan terlibat dalam suatu kasus.
Kisruh yang terjadi antara dua Lembaga
penegak hukum yakni POLRI vs KPK dalam beberapa hari terakhir, telah
menimbulkan kegaduhan-kegaduhan yang semestinya bisa dihindari, belum lagi
masyarakat/publik juga ikut bersuara dalam polemik yang terjadi di dua lembaga
ini, bahkan sudah terbentuk faksi-faksi dimana sebagian ada yang mendukung
langkah yang diambil KPK dalam penetapan tersangka calon Kapolri yang terlibat
dugaan kasus Korupsi yang direspon oleh pengacara BG (Budi Gunawan) dengan mem
pra peradilankan KPK, dan ada juga yang mendukung langkah POLRI dalam
menetapkan para pimpinan KPK yang terlibat beberapa kasus. Beberapa pengamat
pun juga sibuk memberikan pandangannya baik melalui tulisan di media cetak maupun tampil di beberapa stasiun TV.
Beberapa kalangan menilai bahwa kisruh POLRI vs KPK tidak terlepas dari
kepentingan politik dari para elite yang berada dibalik layar dari masalah yang
terjadi.
Sudah sepantasnya Bangsa ini memiliki Pejabat
Negara/Publik yang memiliki “budaya malu” dan harus mundur dari jabatannya
ketika ia tersandung masalah ataupun kasus, selain untuk menunjukkan tanggung
jawab moral ia sebagai pejabat yang beretika juga menghindari ketidakstabilan
penegakan hukum di Negara ini. Permintaan pengunduran diri para pejabat publik
yang tersandung masalah sudah disuarakan oleh beberapa pihak, baik itu menuntut
Komjen Budi Gunawan untuk mengundurkan diri sebagai calon Kapolri juga menuntut
para Pimpinan KPK untuk mundur dari jabatannya, khusus untuk Bambang Wijayanto,
langkah yang diambil setelah dirinya ditetapkan sebagai tersangka adalah
mengundurkan diri, selain karena inisiatif, aturan mengenai kode etik Pimpinan
KPK jika terlibat dalam suatu perkara statusnya harus dinon aktifkan.
Para pejabat dan beberapa kalangan semestinya
harus lebih bijak dalam melihat masalah ini, terutama bagi mereka yang
bersikukuh beranggapan bahwa ada asas praduga tak bersalah (Presumption of Innocence) yang sudah
lama dianut Bangsa ini, yang kemudian menjadi salah satu tameng kuat sehingga
para pejabat publik yang terlibat masih menganggap dirinya masih pantas dan
layak untuk tetap di posisinya. Mungkin sebagian pihak lupa atau bahkan tidak
tahu bahwa Pejabat publik/Negara harus mengundurkan diri bukan hanya karena ia
melanggar etika pejabat sebagai penyelenggara Negara tetapi sudah ada aturan
ataupun mekanisme yang menjelaskan bagaimana status bagi pejabat publik yang
sedang berperkara, dan melanggar etika . Sejak Tahun 2001 Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), memberi dua Ketetapan No VI/MPR/2001, tentang etika
kehidupan berbangsa dan TAP MPR No.VIII/MPR/2001 tentang arah dan rekomendasi
pemberantasan KKN. TAP MPR No VI mengatur
pejabat publik yang terkait atau terlibat kasus hukum, membuat kebijakan yang
meresahkan atau mendapat sorotan publik, harus mau mengundurkan diri (dan dapat
dimundurkan) tanpa harus dibuktikan lebih dulu oleh pengadilan. TAP MPR No
VIII/2001 menegaskan, pejabat yang terlibat kasus hukum dapat dibebaskan dari
jabatannya meski belum diputus pengadilan. Dalam salah satu tulisannya, Mantan
Ketua MK Machfud MD, menjelaskan bahwa instrument hukum (Ketetapan MPR
tersebut) dibuat berdasarkan pengalaman tentang banyaknya pejabat korup yang
tak pernah mau mengaku saat kasusnya
mulai diungkap, bahkan ikut bermain melalui judicial corruption, agar kasusnya
tidak masuk ke pengadilan.
Jika melihat dari apa yang telah ditetapkan,
sejatinya ketentuan itu sama sekali
tidak melanggar hukum,HAM atau asas praduga tak bersalah yang berlaku umum.
ketentuan ini merupakan tindakan administratif yang berlaku khusus bagi pejabat
publik yang bermasalah dengan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang
bersangkutan (pejabat publik yang bermasalah) dapat segera mundur atau
dimundurkan, sementara proses hukumnya terus berjalan.
Harapan penulis dan mungkin juga sebagian
besar masyarakat Indonesia semoga permasalahan yang terjadi antara dua lembaga
penegak hukum ini dapat segera teratasi dengan baik, untuk menjaga stabilitas
penegakan supremasi hukum, dan mengembalikan kepercayaan publik akan dua
lembaga yang kita cintai ini, dan semoga “budaya malu” bisa muncul dikalangan
para pejabat yang berperkara, untuk memperlihatkan bahwa mereka mengerti etika,
dan aturan yang berlaku di Indonesia.
·
Muh. Firyal Akbar
·
HP (085256265478)
·
Email : firyalakbar@yahoo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar