Selasa, 21 April 2015

LUNTURNYA FUNGSI PARTAI POLITIK “SARANA PENGATUR KONFLIK” DI PERPOLITIKAN INDONESIA



LUNTURNYA FUNGSI PARTAI POLITIK “SARANA PENGATUR KONFLIK”
 DI PERPOLITIKAN INDONESIA
Oleh : Muh. Firyal Akbar, S.IP,M.Si
(Dosen Adm. Negara UMG)

Sistem perpolitikan Indonesia saat ini dapat dikatakan sedang mengalami kemunduran khususnya dalam perkembangan kedewasaan partai, saat ini hampir setiap harinya dari sekian banyak berita yang ditampilkan media Indonesia di Negara ini baik cetak maupun elektronik membahas kisruh atau konflik internal yang sedang terjadi pada partai beringin dan yang berlambang ka’bah. Hal ini menunjukkan suatu proses kemunduran khususnya dalam penerapan demokrasi di sistem parpol di Indonesia. Dinamika yang terjadi di dua partai ini pada dasarnya bukan karena perbedaan ideologi secara prinsipil melainkan kepentingan para elite-elite partai sendiri dalam memperoleh legalitas siapa yang berhak mengurusi dan menjalankan tugas-tugas partai dalam struktur kepengurusan yang sah. Hingga penulispun membahas masalah ini permasalahan yang terjadi antar kedua partai ini masih berlanjut karena masing-masing pihak mengklaim bahwa kubunya lah yang sah.
Partai Politik Sebagai Sarana “Pengatur Konflik”
Partai politik sejatinya terlahir dari kebutuhan masyarakat akan pentingnya partisipasi maupun aspirasi mereka dalam sistem politik pemerintahan di Negara ini. Partai politik telah menjadi ciri penting politik modern, bahkan menjadi bagian tidak terpisahkan dari sistem politik, baik yang demokratis maupun otoriter sekalipun. Dalam hal ini, partai politik mengorganisasi partai politik, dan sistem kepartaian akan sangat mempengaruhi batas-batas sampai di mana partisipasi tersebut dapat diperluas. Menurut Huntington, stabilitas, kekokohan partai dan sistem kepartaian sangat bergantung pada tingkat pelembagaan dan partisipasinya. Lebih lanjut Huntington mengatakan bahwa partisipasi tanpa organisasi akan merosot menjadi gerakan massal, sementara organisasi yang tidak melahirkan partisipasi cenderung mengarah menjadi klik personal.  Jika melihat definisi  Partai politik sendiri, parpol terlahir atas dasar kesamaan kehendak maupun cita-cita dari sekelompok atau sebagian masyarakat, parpol terlahir sebagai wadah yang diharapkan  mampu menampung aspirasi dan artikulasi kepentingan masyarakat demi tercapainya tujuan yang diharapkan bersama. Definisi partai menurut bahasa undang-undang Parpol Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 ialah Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga Negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan Negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia. Beberapa ahli juga mendefinisikan tentang Parpol, seperti yang dijelaskan oleh R.H Soltau, partai politik adalah sekelompok warga Negara yang telah terorganisasi dan bertindak sebagai suatu kesatuan politik yang bertujuan memanfaatkan kekuasaan untuk memiliki dan menguasai pemerintahan serta melaksanakan kebijaksanaan umum. Sedangkan menurut Mac Iver Partai politik adalah suatu perkumpulan yang terorganisasi untk menyokong suatu prinsip atau kebijaksanaan politik yang diusahakan melalui cara-cara yang sesuai dengan konstitusi atau UUD.
Dari beberapa konsep dan definisi parpol yang telah dijelaskan menggambarkan bahwa keberadaan parpol sangat dibutuhkan dalam sistem politik indonesia, ini dikarenakan elain keberadaannya merupakan salah satu syarat struktur politik informal yang harus ada, juga parpol diharapkan mampu menampung artikulasi-artikulasi kepentingan masyarakat, sekaligus mampu untuk memperjuangkan dan membela kepentingan masyarakat bangsa dan Negara. Namun fenomena sistem perpolitikan di Indonesia kekinian justru menceminkan kemunduran partai politik dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat terutama konstituen masing-masing. Hal ini tidak lain disebabkan (conflict of interest)/konflik kepentingan yang terjadi di internal partai yang saat ini sedang terjadi di dua partai yang memiliki basis massa yang cukup banyak yakni Partai berlambang beringin dan partai berlambang Ka’bah. Padahal sejatinya Parpol dituntut bisa menjalankan fungsi-fungsi partai dengan baik terutama sebagai sarana pengatur konflik. Dalam kajian akademik ilmu politik parpol setidaknya mampu untuk menjalankan fungsi-fungsinya seperti sebagai sarana komunikasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekruitmen politik. Sebagai sarana pengatur konflik misalnya partai politik berperan dalam menjembatani berbagai konflik kepentingan yang ada dalam masyarakat, untuk selajutnya disalurkan dalam sistem politik.  Kestabilan partai politik sangat bergantung bagaimana peran elite dan anggota partai dalam melakukan manajemen konflik.
Fenomena Partai Politik Kekinian di Indonesia
Kisruh yang terjadi di dua partai besar di Indonesia saat ini menjadi refleksi lunturnya fungsi Parpol sebagai sarana pengatur konflik. Sebagai partai besar yang sudah lama berkecimpung di kancah politik Indonesia Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) seharusnya menjadi panutan dan contoh yang baik untuk mereka partai-partai yang relatif baru yang ada di sistem partai politik Indonesia saat ini. Kisruh Partai berlambang beringin misalnya mulai bersitegang dan bersuhu panas pasca Munas IX Partai Golkar di bawah kepemimpinan Abu Rizal Bakrie (ARB) yang dilaksanakan di Bali, dikarenakan sebagian besar pengurus inti lainnya yang dimotori oleh kubu Agung Laksono cs tidak ikut berpartisipasi dalam kegiatan Munas karena perbedaan pendapat mengenai pelaksanaan Munas hingga kemudian mereka membuat Munas tandingan yang kemudian dilaksanakan di Ancol Jakarta. Dua hasil Munas tersebut kemudian melahirkan dualisme di tubuh partai beringin yang hingga kini masih berlanjut dengan segala intrik dan manuver masing-masing kubu. Berbagai macam hal kemudian dilakukan dua faksi yang saling berseberangan untuk mencapai titik temu, mulai dari konsolidasi internal, rekonsialisasi hingga wacana islah antar keduanya namun tetap deadlock, hingga kemudian ada sedikit titik terang ketika masalah ini di bawah ke mahkamah partai sesuai dengan amanat UU Parpol dan AD/ART partai sendiri ketika terjadi masalah internal kepartaian. Sidang mahkamah partai sendiri yang dipimpin oleh Dr. Muladi, kemudian melahirkan beberapa putusan yang antara lain mengakomodir kepentingan-kepentingan dua kubu, namun yang menjadi polemik baru ketika dalam putusan mahkamah partai kemudian mengisyaratkan bahwa kubu Agung Laksono kemudian yang berhak atas partai beringin yang hal ini ditindaklanjuti dengan keputusan Menkumham yang “mengakui” keberadaan partai beringin dibawah kepemimpinan Agung Laksono. Hingga hal ini yang membuat kubu ARB tidak merasa puas dan merasa dizalimi hingga kemudian mengajukan ajuan ke PTUN Jakarta Selatan terkait keputusan Menkumham yang hasilnya putusan sela tersebut justru menunda putusan Menkumham dan otomatis menganggap bahwa pengurus sah Golkar adalah kembali ke Munas Golkar Riau.
Apa yang terjadi di Partai Golkar juga terjadi di Partai berlambang Ka’bah (PPP). Perbedaan pandangan tentang arah politik partai ini kemudian membawa pada lahirnya dualisme kepemimpinan di masing-masing partai. Surya Dharma Ali (SDA), sebagai Ketua umum sebelum lengser melakukan manuver politik dengan menyatakan secara tegas bahwa partai yang dipimpinnya masuk ke dalam Koalisi Merah Putih (KMP). Keputusan SDA kemudian tidak sepenuhnya didukung oleh para pengurus inti yang lain termasuk Sekjen PPP Romahurmuzy, yang justru menilai keputusan itu sebagai keputusan sepihak yang tidak berdasarkan hasil rapat partai. Kubu Romahurmuzy kemudian justru melakukan perlawanan yang menyatakan ketidak percayaannya lagi akan kepemimpinan SDA dalam memimpin PPP, dan pada akhirnya bersama elite-elite dan beberapa pengurus partai di daerah mengadakan Muktamar PPP di Surabaya yang melahirkan kepemimpinan baru oleh Romahurmuzy. Sedangkan kubu SDA tetap bersikukuh dengan keputusannya tetap masuk dalam KMP dan juga telah melaksanakan Muktamar di Jakarta dengan yang terpilih menjadi Ketua umum ialah Djan Fariz. Hingga konflik di kubu PPP terus berlanjut hingga keputusan Menkumham Yassona, mensahkan kubu Romahurmuzi.
Kekisruhan/konflik yang terjadi di dua partai ini tentunya melahirkan citra yang kurang baik di masyarakat terutama bagi konstituen partai masing-masing, apa yang ditampilkan oleh para elite-elite partai secara tidak langsung memberikan pendidikan politik yang tidak baik bagi publik. Publik disuguhkan dengan konflik/kisruh yang tak layak dikonsumsi khususnya bagi para generasi penerus bangsa. Adegan debat, perebutan kursi di masing-masing fraksi hingga adu jotos antara anggota parlemen sangat menjadi ironi di bangsa ini. Fungsi parpol sebagai sarana pengatur konflik tidak bisa dijalankan dan sangat menjadi kontradiktif dengan apa yang harusnya dijalankan oleh partai. Sebagai sarana pengatur konflik seharusnya para anggota partai memberikan pendidikan dan pendewasaan politik yang baik bagi publik. Tapi kemudian yang lahir adalah justru para elite dan oknum yang ada di partai ini kemudian yang menciptakan konflik hingga juga berdampak kepada ketidakpastian, kegaduhan hingga konflik konstituen di daerah.
Konflik internal yang terjadi saat ini di partai menurut penulis pada dasarnya dapat dihindari jika mindset para elite dapat berubah dari mereka yang memiliki kepentingan-kepentingan individu ke kepentingan partai lebih khusus lagi kepentingan publik dan Negara secara umum. Apa yang terjadi kemudian beberapa diantara para elite terkadang memaksakan kehendaknya tanpa mempertimbangkan asas maupun orientasi kepartaian yang telah ada. Pengaruh kekuasaan mutlak para elite telah melahirkan kader-kader partai yang berorientasi kepentingan kelompok. Hal yang terjadi kemudian beberapa elite partai cenderung memiliki sifat pragmatis yang berdampak pada kinerja yang dilahirkan hanya menguntungkan kepentingan sebagian orang. Sistem kaderisasi yang kurang berjalan dengan baik di Partai saat ini menjadi salah satu parameter citra negatif partai di masyarakat. Sistem kaderisasi yang semestinya merekrut kader-kader yang punya kapabilitas, integritas serta loyalitas yang mumpuni tidak berjalan. Kader-kader yang lahir adalah mereka yang secara instant masuk bergabung di partai dengan modal finansial dan kepopuleran semata. Sehingga partai hanya dimanfaatkan sebagian kader sebagai batu loncatan untuk mencapai kekuasaan. Semoga hal tersebut dapat menjadi bahan renungan bagi kita dalam rangka mewujudkan dan menciptakan kondisi kepartaian yang baik untuk Indonesia. Aminn

Tidak ada komentar:

Posting Komentar