Kamis, 10 Januari 2013

PARTISIPASI POLITIK MAYARAKAT DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN DI ERA OTONOMI DAERAH



PARTISIPASI POLITIK MAYARAKAT DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN
 DI ERA OTONOMI DAERAH
Oleh  Muh. Firyal Akbar A
Pengantar
            Peran serta warga masyarakat sangatlah menentukan dalam melihat kemajuan suatu daerah ataupun negara, di mana selain menjadi objek dari tujuan kesejahtraan, publik atau masyarakat juga dapat menjadi subjek dari terciptanya suatu pembangunan yang baik. Peran masyarakat atau yang lebih dikenal dengan partsispasi masyarakat sangat beragam karena peran/partisipasi publik dapat direfleksikan dari segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, baik itu peran dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya, maupun dalam pembangunan kehidupan manusia. Oleh sebab itu partisipasi menjadi sangat penting. Dari berbagai peran serta masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara nantinya dalam tulisan ini akan dibahas mengenai peran serta atau partisipasi politik masyarakat dalam pengambilan keputusan di era otonomi daerah yang saat ini berjalan di Indonesia. Adapun ekspektasi dari tulisan ini mencoba untuk memberikan gambaran mengenai implementasi partisipasi politik masyarakat khususnya yang berkaitan dalam pengambilan-pengambilan keputusan di daerah dalam era otonomi saat ini.
A.      Definisi dan Konsep Partisipasi politik
            Bank Dunia (1996) telah merumuskan definisi partisipasi sebagai suatu "proses dimana semua pihak yang memegang andil dalam proses pembangunan ikut mengarahkan dan mengatur proses pengembangan, serta keputusan-keputusan dan sumber daya yang mempengaruhinya." Pendekatan-pendekatan partisipatif semakin dipandang sebagai satu-satunya cara yang paling efektif untuk menyelaraskan pelayanan dan program pemerintah dengan kebutuhan, aspirasi, kondisi dan kemampuan masyarakat, sehingga dapat menciptakan suatu dinamika pembangunan yang langgeng dan berkelanjutan. Secara konseptual, pendekatan partisipatif mendapat dukungan yang kuat di tingkat tertinggi dalam pemerintahan Indonesia, sementara di tingkat lapangan, hal yang sama dipromosikan oleh kader-kader lapangan dari LSM-LSM, proyek-proyek bantuan luar negeri, dan beberapa instansi pemerintah daerah yang telah memiliki komitmen menjalankannya.
            Meminjam pendapat  Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam karya penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries, partisipasi yang bersifat mobilized (dipaksa) juga termasuk ke dalam kajian partisipasi politik. Partisipasi sukarela dan mobilisasi hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya baik sukarela ataupun dipaksa, warganegara tetap melakukan partisipasi politik.
            Ruang bagi partisipasi politik adalah sistem politik. Sistem politik memiliki pengaruh untuk menuai perbedaan dalam pola partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi politik di negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan di negara dengan sistem Komunis atau Otoritarian. Bahkan, di negara-negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan, seperti yang ditunjukkan Oscar Garcia Luengo, dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media and Political Participation in Europe. Warganegara di negara-negara Eropa Utara (Swedia, Swiss, Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi politiknya ketimbang negara-negara Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia, Portugal, dan Yunani).
            Bentuk-bentuk partisipasi politik yang terjadi di berbagai negara dapat dibedakan dalam kegiatan politik yang berbentuk konvensional dan nonkonvensional termasuk yang mungkin legal (seperti petisi) maupun ilegal (cara kekerasan atau revolusi). Bentuk-bentuk dan frekuensi partisipasi politik dapat dipakai sebagai ukuran untuk menilai stabilitas sistem politik, integritas kehidupan politik, kepuasan atau ketidakpuasan warga negara. Berikut ini adalah bentuk-bentuk partisipasi politik menurut Almond.
-      Konvensional (Pemberian suara atau voting, diskusi politik, kegiatan kampanye, membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan,komunikasi individual dengan pejabat politik atau administratif)
-      Nonkonvensional (Pengajuan petisi, berdemonstrasi, konfrontasi, mogok, tindak kekerasan politik terhadap harta benda: perusakan, pemboman, pembakaran,tindak kekerasan politik terhadap manusia: penculikan, pembunuhan, perang gerilya, revolusi.
            Dalam hal partisipasi politik, Rousseau menyatakan bahwa “Hanya melalui partisipasi seluruh warga negara dalam kehidupan politik secara langsung dan bekelanjutan, maka negara dapat terikat ke dalam tujuan kebaikan sebagai kehendak bersama.”
            Berbagai bentuk partisipasi politik tersebut dapat dilihat dari berbagai kegiatan warga negara yang mencakup antara lain:
a. Terbentuknya organisasi-organisasi politik maupun organisasi masyarakat sebagai bagian dari kegiatan sosial, sekaligus sebagai penyalur aspirasi rakyat yang ikut menentukan kebijakan negara.
b. Lahirnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai kontrol sosial maupun pemberi masukan terhadap kebijakan pemerintah.
c. Pelaksanaan pemilu yang memberi kesempatan kepada warga negara untuk dipilih atau memilih, misalnya kampanye menjadi pemilih aktif, menjadi anggota DPR, menjadi calon presiden yang dipilih langsung dan sebagainya.
d. Munculnya kelompok-kelompok kontemporer yang memberi warna pada sistem input dan output kepada pemerintah, misalnya melalui unjuk rasa, petisi, protes, demonstrasi, dan sebagainya.

B.      Implementasi Partisipasi Politik Masyarakat/Publik
            Saat ini di Indonesia, muncul dorongan untuk menciptakan iklim yang lebih partisipatif seiring struktur pemerintahan yang lebih terdesentralisasi. Otonomi Daerah sendiri telah menjadi bentuk pengejawantahan sistem pemerintahan yang desentralism. Gerakan untuk melakukan desentralisasi dan partisipasi mendapat dorongan dari situasi ekonomi politik kini dimana kapasitas pemerintah telah banyak berkurang baik dalam mempengaruhi kehidupan ekonomi dan pelayanan maupun pembiayaan internal birokrasi. Krisis ekonomi dan gejolak sosial telah mempercepat perubahan di dalam pemerintahan. Masyarakat yang kini lebih berpendidikan (well inform), juga mempunyai akses yang leluasa terhadap informasi dan pendapat, sehingga memunculkan harapan yang lebih tinggi dan tuntutan-tuntutan baru terhadap pemerintahnya. Otonomi Daerah sendiri secara substansial menuntut derajat yang tinggi adanya partisipasi. Sistem pemerintahan yang didesain semakin dekat ke masyarakat (bawah) secara otomatis memancing loncatan sambutan dari bawah, yang dalam bahasa kita dikonsepkan menjadi partisipasi. Otonomi Daerah yang memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangga sendiri secara tidak langsung memberikan pembelajaran untuk menyerap dan merumuskan aspirasi masyarakat. Bagi masyarakat sendiri, hal ini memberikan peluang dalam mengontrol jalannya pemerintahan.
            Antara desentralisasi dan partisipasi menjadi saling melengkapi. Desentralisasi yang meletakkan proses pengambilan keputusan lebih dekat dengan kelompok sasaran, sementara partisipasi menempatkan suara masyarakat di dalam proses pengambilan keputusan. Program-program yang disusun dengan cara ini biasanya lebih tepat dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat bawah, sekaligus menanamkan rasa memiliki dalam masyarakat. Hal ini menunjang semangat masyarakat dan menciptakan dinamika pembangunan yang lebih efisien, transparan dan berkelanjutan. Reformasi politik dan birokrasi yang kini diperdebatkan di Indonesia, mengutamakan masalah efisiensi, transparansi, dan kepercayaan. Undang-undang dan kebijakan baru menitikberatkan desentralisasi, privatisasi dan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, manajemen dan evaluasi proses pembangunan.
            Meski sistem pemerintahan telah menerapkan Otonomi Daerah dan pendekatan partisipatif telah menjadi prasyarat utama program-program bantuan luar negeri, bukan berati implementasinya tanpa rintangan. Rintangan yang dihadapi dalam menerapkan pendekatan partisipatif di lembaga pemerintahan tak lepas dari warisan Orde Baru yang telah menciptakan struktur pemerintahan yang sangat tersentralisasi, dengan susunan administrasi yang hirarkis dan kaku, yang dipercayakan untuk menuntun dan menguasai seluruh proses pembangunan. Hal ini tentu sangat bertolakbelakang dengan sistem pemerintahan yang dikembangkan saat ini yaitu desentralisasi yang secara subtantif mengharuskan adanya partisipasi rakyat yang pada pola sebelumnya hanya menjadi objek. Permasalahan saat ini adalah apakah mentalitas birokrasi lama mampu dengan cepat mengikuti perubahan jaman. Meski secara konseptual, sistem sudah ditata sedemikian rupa, tanpa komitmen yang kuat dari pelaksananya, tujuan mulia sulit untuk dicapai. Birokrasi yang ada sebagian besar masih memiliki karakter lama yang sulit diubah. Dengan dialihkannya tugas rancangan, pelaksanaan dan manajemen program kepada masyarakat dan petugas-petugas lapangan yang langsung berbaur dengan masyarakat, maka eselon menengah ini, yang seolah-olah bertugas sebagai "pengurus pembangunan," mungkin akan merasa terancam.

            Disisi lain saat ini banyak proyek pembangunan terutama bantuan donor yang berupaya melembagakan pendekatan-pendekatan partisipatif dalam pelaksanaan programnya. Namun sejauh ini belum dapat dipastikan bahwa model-model inovatif yang dikembangkan oleh proyek tersebut akan diterima, diterapkan dan direplikasikan dalam proyek-proyek pembangunan selanjutnya pasca berhentinya program tersebut. Sejumlah proyek bantuan luar negeri di Indonesia telah berhasil mempromosikan pola perencanaan dan manajemen proyek yang partisipatif. Meskipun dampak dari proyek-proyek ini positif, namun pada umumnya hanya terbatas pada masyarakat dan lembaga yang terlibat langsung dalam proyek itu sendiri. Tantangan kita adalah bagaimana proyek seperti itu mampu menunjukkan dampak yang lebih luas, dimana model pendekatan dan prosedur proyek tersebut terus diterapkan pemerintah dan masyarakat setempat. Lebih dari itu direplikasi dan diseminasikan di daerah-daerah lain. Untuk itu langkah-langkah apa yang sudah diambil dan prosedur apa yang sudah dikembangkan agar pemerintah daerah dan masyarakat terus menerapkan pendekatan percontohan tersebut. Dan apakah telah ada upaya reformasi kelembagaan yang dibutuhkan untuk menunjang proses ini.

            Peran serta masyarakat dalam partisipasi politik  secara umum tidak hanya dapat dilihat dalam ikut serta dalam memilih pemimpin baik itu pemilihan Presiden, Gubernur maupun Bupati/Walikota, tetapi peran politik yang sesungguhnya adalah bagaimana masyarakat dapat secara langsung ikut dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang nantinya dikeluarkan oleh pemerintah. Untuk konteks pemerintahan daerah saat ini kita dapat melihat bertebarannya beberapa LSM maupun Ormas-ormas yang bergerak dalam berbagai bidang, baik itu hukum,sosial maupun tentunya beberapa partai politik. Perkembangannya kemudian sebagian warga masyarakat ikut serta dalam beberapa LSM dan Ormas-ormas tersebut sebagian lagi mungkin apatis bahkan mungkin “cuek” dan tidak memusingkan hal tersebut.
            Fenomena yang terjadi kemudian adalah beberapa warga dari LSM dan Ormas-ormas yang berpartispasi tersebut saat ini mengalami disorientasi dalam menyalurkan aspirasi-aspirasi mereka, di mana sebagian mereka yang berada di LSM maupun ormas hari ini memiliki keinginan-keinginan individu yang tentunya menguntungkan diri mereka saja. Dilain sisi beberapa dari mereka tentu saja merupakan orang yang dipercayakan oleh sebagian masyarakat sebagai penyambung lidah mereka, namun fakta yang terjadi adalah mereka tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Sisi lain ketika kita melihat para wakil rakyat yang duduk di parlemen yang hari ini oleh sebagian masyarakat termasuk penulis sendiri menganggap sudah tidak refresentatif lagi, yang menandakan bahwa mereka sudah kurang pantas menjadi wakil dari masyarakat.
            Terlepas dari mereka yang sudah berada pada suatu lembaga, peran atau partisipasi masyarakat hari ini dalam pengambilan keputusan kurang maksimal atau hampir tidak tersalurkan secara baik. Indikator yang dapat dilihat dari pernyataan itu ialah baik dari masyarakat maupun pemerintah sendiri (legislatif ataupun eksekutif), tidak mampu untuk menciptakan suatu produk kebijakan yang ideal yang setidaknya dapat diterima oleh publik dengan lapang dada. Misalnya masalah PKL, parkir, pengelolaan sampah, dan hal-hal kecil lain yang semestinya harus dapat terselesaikan dengan baik. Terlepas dari sebagian masyarakat yang mungkin awam dengan masalah kebijakan namun masyarakat setidaknya memiliki inisiatif untuk berpartisipasi dalam memberikan saran dan kritiknya dalam pengambilan keputusan akan suatu masalah. Namun secara ideal kita harus melihat ini secara objektif bahwa sebenarnya kurangnya partispasi masyarakat bukan berasal dari mereka, namun menurut penuli yang semestinya harus peka dalam hal ini ialah pemerintah daerah itu sendiri, bagaimana menciptakan suatu konsep partisipasi untuk masyarakat sehingga masyarakat mendapatkan aksesibilitas yang luas dalam menyuarakan aspirasinya. Namun yang terjadi selama ini justru pemerintah daerah sendiri yang cenderung menutup ruang tersebut dengan pertimbangan mungkin akan tidak membawa manfaat individu kepada mereka yang berkepentingan. Hal inilah yang terjadi dan tidak dapat kita pungkiri hampir sebagian daerah oleh pemerintahnya dalam memproduksi sebuah kebijakan tidak mengikut sertakan masyarakat atau publik dalam pengambilan keputusan tersebut setidaknya mempertimbangkan masukan berupa kritikan maupun saran dari masyarakatnya.
            Ironi, ketika para wakil rakyat yang notabene sebagai perpanjangan tangan atau penyambung lidah warga masyarakat ini tidak memiliki kemampuan ataupun itikad baik dalam mengartikulasikan dan kemudian mengaregasikan aspirasi-aspirasi masyarakat bahkan sebagian dari mereka melakukan “perselingkuhan” dengan para elite-elite lokal dalam memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi. Tentunya hal-hal semacam ini tidak diharapkan berkembang dalam penerapan otonomi daerah di mana akan berdampak buruk bagi perkembangan dari pemerintah daerah itu sendiri. Wajarlah jika sampai hari ini produk-produk kebijakan yang diciptakan baik itu pemerintah daerah maupun DPRD tidak representatif dan cenderung melahirkan konflik.
            Nampaknya partisipasi politik masyarakat akan sulit terwujud dengan baik di era otonom i daerah dikarenakan perkembangan akan permainan elite juga mempengaruhi. Sulit untuk melihat yang mana partisipasi masyarakat di sebagian daerah saat ini yang murni berasal dari hati nurani mereka karena yang ada ialah partisipasi masyarakat yang sengaja dihidupkan oleh sebagian mereka yang memiliki kepentingan tertentu dengan jalan memfasilitasi dan memobilisasi para warga masyarakat agar berpartisipasi dengan visi terntentu. Padahal jika partispasi dapat terbangun tentunya akan terbangun sinergitas yang baik antara pemerintah dengan masyarakat dalam melahirkan suatu produk kebijakan yang baik. Apa yang seharusnya dilakukan dalam rangka membangkitakan gairah partispasi politik masyarakat  ini ialah dengan melakukan reformasi mindset akan pentingnya kehadiran masyarakat dalam proses pengembangan daerah. mindset yang diperlukan ialah bagaimana para elite, aparat pemerintah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat dalam berperan membangun daerah dengan melepaskan segala bentuk kepentingan-kepentingan pribadinya.   

%*SEKIAN*%

R E F E R E N S I
Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990)
Basri,seta. Pengertian Partisipasi Politik dan Bentuk-bentuk Partisipasi Politik.www.google.com
http://www.melembagakan-pendekatan-partisipatif-di.html/