PARTISIPASI POLITIK MAYARAKAT DALAM
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
DI ERA
OTONOMI DAERAH
Oleh Muh. Firyal Akbar A
Pengantar
Peran serta warga masyarakat
sangatlah menentukan dalam melihat kemajuan suatu daerah ataupun negara, di
mana selain menjadi objek dari tujuan kesejahtraan, publik atau masyarakat juga
dapat menjadi subjek dari terciptanya suatu pembangunan yang baik. Peran
masyarakat atau yang lebih dikenal dengan partsispasi masyarakat sangat beragam
karena peran/partisipasi publik dapat direfleksikan dari segala aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara, baik itu peran dalam bidang politik, sosial, ekonomi,
budaya, maupun dalam pembangunan kehidupan manusia. Oleh sebab itu partisipasi
menjadi sangat penting. Dari berbagai peran serta masyarakat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara nantinya dalam tulisan ini akan dibahas mengenai peran
serta atau partisipasi politik masyarakat dalam pengambilan keputusan di era
otonomi daerah yang saat ini berjalan di Indonesia. Adapun ekspektasi dari
tulisan ini mencoba untuk memberikan gambaran mengenai implementasi partisipasi
politik masyarakat khususnya yang berkaitan dalam pengambilan-pengambilan
keputusan di daerah dalam era otonomi saat ini.
A. Definisi dan
Konsep Partisipasi politik
Bank Dunia (1996) telah merumuskan
definisi partisipasi sebagai suatu "proses dimana semua pihak yang
memegang andil dalam proses pembangunan ikut mengarahkan dan mengatur proses
pengembangan, serta keputusan-keputusan dan sumber daya yang
mempengaruhinya." Pendekatan-pendekatan partisipatif semakin dipandang
sebagai satu-satunya cara yang paling efektif untuk menyelaraskan pelayanan dan
program pemerintah dengan kebutuhan, aspirasi, kondisi dan kemampuan
masyarakat, sehingga dapat menciptakan suatu dinamika pembangunan yang langgeng
dan berkelanjutan. Secara konseptual, pendekatan partisipatif mendapat dukungan
yang kuat di tingkat tertinggi dalam pemerintahan Indonesia, sementara di
tingkat lapangan, hal yang sama dipromosikan oleh kader-kader lapangan dari
LSM-LSM, proyek-proyek bantuan luar negeri, dan beberapa instansi pemerintah
daerah yang telah memiliki komitmen menjalankannya.
Meminjam pendapat Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam
karya penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing
Countries, partisipasi yang bersifat mobilized (dipaksa) juga termasuk ke dalam
kajian partisipasi politik. Partisipasi sukarela dan mobilisasi hanya dalam
aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya baik sukarela ataupun dipaksa,
warganegara tetap melakukan partisipasi politik.
Ruang bagi partisipasi politik
adalah sistem politik. Sistem politik memiliki pengaruh untuk menuai perbedaan dalam
pola partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi politik di negara
dengan sistem politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan di negara dengan
sistem Komunis atau Otoritarian. Bahkan, di negara-negara dengan sistem politik
Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan, seperti yang ditunjukkan Oscar
Garcia Luengo, dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media and Political
Participation in Europe. Warganegara di negara-negara Eropa Utara (Swedia,
Swiss, Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi politiknya ketimbang
negara-negara Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia, Portugal, dan Yunani).
Bentuk-bentuk partisipasi politik
yang terjadi di berbagai negara dapat dibedakan dalam kegiatan politik yang
berbentuk konvensional dan nonkonvensional termasuk yang mungkin legal (seperti
petisi) maupun ilegal (cara kekerasan atau revolusi). Bentuk-bentuk dan
frekuensi partisipasi politik dapat dipakai sebagai ukuran untuk menilai
stabilitas sistem politik, integritas kehidupan politik, kepuasan atau
ketidakpuasan warga negara. Berikut ini adalah bentuk-bentuk partisipasi
politik menurut Almond.
-
Konvensional (Pemberian suara atau voting,
diskusi politik, kegiatan kampanye, membentuk dan bergabung dalam kelompok
kepentingan,komunikasi individual dengan pejabat politik atau administratif)
-
Nonkonvensional (Pengajuan petisi,
berdemonstrasi, konfrontasi, mogok, tindak kekerasan politik terhadap harta
benda: perusakan, pemboman, pembakaran,tindak kekerasan politik terhadap
manusia: penculikan, pembunuhan, perang gerilya, revolusi.
Dalam hal partisipasi politik,
Rousseau menyatakan bahwa “Hanya melalui partisipasi seluruh warga negara dalam
kehidupan politik secara langsung dan bekelanjutan, maka negara dapat terikat
ke dalam tujuan kebaikan sebagai kehendak bersama.”
Berbagai bentuk partisipasi politik
tersebut dapat dilihat dari berbagai kegiatan warga negara yang mencakup antara
lain:
a.
Terbentuknya organisasi-organisasi politik maupun organisasi masyarakat sebagai
bagian dari kegiatan sosial, sekaligus sebagai penyalur aspirasi rakyat yang
ikut menentukan kebijakan negara.
b. Lahirnya
lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai kontrol sosial maupun pemberi masukan
terhadap kebijakan pemerintah.
c.
Pelaksanaan pemilu yang memberi kesempatan kepada warga negara untuk dipilih
atau memilih, misalnya kampanye menjadi pemilih aktif, menjadi anggota DPR,
menjadi calon presiden yang dipilih langsung dan sebagainya.
d. Munculnya
kelompok-kelompok kontemporer yang memberi warna pada sistem input dan output
kepada pemerintah, misalnya melalui unjuk rasa, petisi, protes, demonstrasi,
dan sebagainya.
B. Implementasi
Partisipasi Politik Masyarakat/Publik
Saat
ini di Indonesia, muncul dorongan untuk menciptakan iklim yang lebih
partisipatif seiring struktur pemerintahan yang lebih terdesentralisasi.
Otonomi Daerah sendiri telah menjadi bentuk pengejawantahan sistem pemerintahan
yang desentralism. Gerakan untuk melakukan desentralisasi dan partisipasi
mendapat dorongan dari situasi ekonomi politik kini dimana kapasitas pemerintah
telah banyak berkurang baik dalam mempengaruhi kehidupan ekonomi dan pelayanan
maupun pembiayaan internal birokrasi. Krisis ekonomi dan gejolak sosial telah
mempercepat perubahan di dalam pemerintahan. Masyarakat yang kini lebih
berpendidikan (well inform), juga mempunyai akses yang leluasa terhadap
informasi dan pendapat, sehingga memunculkan harapan yang lebih tinggi dan
tuntutan-tuntutan baru terhadap pemerintahnya. Otonomi Daerah sendiri secara
substansial menuntut derajat yang tinggi adanya partisipasi. Sistem
pemerintahan yang didesain semakin dekat ke masyarakat (bawah) secara otomatis
memancing loncatan sambutan dari bawah, yang dalam bahasa kita dikonsepkan
menjadi partisipasi. Otonomi Daerah yang memberikan kesempatan kepada
pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangga sendiri secara tidak langsung
memberikan pembelajaran untuk menyerap dan merumuskan aspirasi masyarakat. Bagi
masyarakat sendiri, hal ini memberikan peluang dalam mengontrol jalannya
pemerintahan.
Antara
desentralisasi dan partisipasi menjadi saling melengkapi. Desentralisasi yang
meletakkan proses pengambilan keputusan lebih dekat dengan kelompok sasaran,
sementara partisipasi menempatkan suara masyarakat di dalam proses pengambilan
keputusan. Program-program yang disusun dengan cara ini biasanya lebih tepat
dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat bawah, sekaligus menanamkan
rasa memiliki dalam masyarakat. Hal ini menunjang semangat masyarakat dan
menciptakan dinamika pembangunan yang lebih efisien, transparan dan
berkelanjutan. Reformasi politik dan birokrasi yang kini diperdebatkan di
Indonesia, mengutamakan masalah efisiensi, transparansi, dan kepercayaan.
Undang-undang dan kebijakan baru menitikberatkan desentralisasi, privatisasi
dan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, manajemen dan
evaluasi proses pembangunan.
Meski
sistem pemerintahan telah menerapkan Otonomi Daerah dan pendekatan partisipatif
telah menjadi prasyarat utama program-program bantuan luar negeri, bukan berati
implementasinya tanpa rintangan. Rintangan yang dihadapi dalam menerapkan
pendekatan partisipatif di lembaga pemerintahan tak lepas dari warisan Orde
Baru yang telah menciptakan struktur pemerintahan yang sangat tersentralisasi,
dengan susunan administrasi yang hirarkis dan kaku, yang dipercayakan untuk
menuntun dan menguasai seluruh proses pembangunan. Hal ini tentu sangat
bertolakbelakang dengan sistem pemerintahan yang dikembangkan saat ini yaitu
desentralisasi yang secara subtantif mengharuskan adanya partisipasi rakyat
yang pada pola sebelumnya hanya menjadi objek. Permasalahan saat ini adalah
apakah mentalitas birokrasi lama mampu dengan cepat mengikuti perubahan jaman.
Meski secara konseptual, sistem sudah ditata sedemikian rupa, tanpa komitmen
yang kuat dari pelaksananya, tujuan mulia sulit untuk dicapai. Birokrasi yang
ada sebagian besar masih memiliki karakter lama yang sulit diubah. Dengan
dialihkannya tugas rancangan, pelaksanaan dan manajemen program kepada
masyarakat dan petugas-petugas lapangan yang langsung berbaur dengan
masyarakat, maka eselon menengah ini, yang seolah-olah bertugas sebagai
"pengurus pembangunan," mungkin akan merasa terancam.
Disisi
lain saat ini banyak proyek pembangunan terutama bantuan donor yang berupaya
melembagakan pendekatan-pendekatan partisipatif dalam pelaksanaan programnya.
Namun sejauh ini belum dapat dipastikan bahwa model-model inovatif yang
dikembangkan oleh proyek tersebut akan diterima, diterapkan dan direplikasikan
dalam proyek-proyek pembangunan selanjutnya pasca berhentinya program tersebut.
Sejumlah proyek bantuan luar negeri di Indonesia telah berhasil mempromosikan
pola perencanaan dan manajemen proyek yang partisipatif. Meskipun dampak dari
proyek-proyek ini positif, namun pada umumnya hanya terbatas pada masyarakat
dan lembaga yang terlibat langsung dalam proyek itu sendiri. Tantangan kita
adalah bagaimana proyek seperti itu mampu menunjukkan dampak yang lebih luas,
dimana model pendekatan dan prosedur proyek tersebut terus diterapkan
pemerintah dan masyarakat setempat. Lebih dari itu direplikasi dan
diseminasikan di daerah-daerah lain. Untuk itu langkah-langkah apa yang sudah
diambil dan prosedur apa yang sudah dikembangkan agar pemerintah daerah dan
masyarakat terus menerapkan pendekatan percontohan tersebut. Dan apakah telah
ada upaya reformasi kelembagaan yang dibutuhkan untuk menunjang proses ini.
Peran
serta masyarakat dalam partisipasi politik
secara umum tidak hanya dapat dilihat dalam ikut serta dalam memilih
pemimpin baik itu pemilihan Presiden, Gubernur maupun Bupati/Walikota, tetapi
peran politik yang sesungguhnya adalah bagaimana masyarakat dapat secara
langsung ikut dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang nantinya dikeluarkan
oleh pemerintah. Untuk konteks pemerintahan daerah saat ini kita dapat melihat
bertebarannya beberapa LSM maupun Ormas-ormas yang bergerak dalam berbagai
bidang, baik itu hukum,sosial maupun tentunya beberapa partai politik.
Perkembangannya kemudian sebagian warga masyarakat ikut serta dalam beberapa
LSM dan Ormas-ormas tersebut sebagian lagi mungkin apatis bahkan mungkin “cuek”
dan tidak memusingkan hal tersebut.
Fenomena
yang terjadi kemudian adalah beberapa warga dari LSM dan Ormas-ormas yang
berpartispasi tersebut saat ini mengalami disorientasi dalam menyalurkan
aspirasi-aspirasi mereka, di mana sebagian mereka yang berada di LSM maupun
ormas hari ini memiliki keinginan-keinginan individu yang tentunya menguntungkan
diri mereka saja. Dilain sisi beberapa dari mereka tentu saja merupakan orang
yang dipercayakan oleh sebagian masyarakat sebagai penyambung lidah mereka,
namun fakta yang terjadi adalah mereka tidak dapat menjalankan tugasnya dengan
baik. Sisi lain ketika kita melihat para wakil rakyat yang duduk di parlemen
yang hari ini oleh sebagian masyarakat termasuk penulis sendiri menganggap
sudah tidak refresentatif lagi, yang menandakan bahwa mereka sudah kurang
pantas menjadi wakil dari masyarakat.
Terlepas
dari mereka yang sudah berada pada suatu lembaga, peran atau partisipasi
masyarakat hari ini dalam pengambilan keputusan kurang maksimal atau hampir
tidak tersalurkan secara baik. Indikator yang dapat dilihat dari pernyataan itu
ialah baik dari masyarakat maupun pemerintah sendiri (legislatif ataupun
eksekutif), tidak mampu untuk menciptakan suatu produk kebijakan yang ideal
yang setidaknya dapat diterima oleh publik dengan lapang dada. Misalnya masalah
PKL, parkir, pengelolaan sampah, dan hal-hal kecil lain yang semestinya harus
dapat terselesaikan dengan baik. Terlepas dari sebagian masyarakat yang mungkin
awam dengan masalah kebijakan namun masyarakat setidaknya memiliki inisiatif
untuk berpartisipasi dalam memberikan saran dan kritiknya dalam pengambilan keputusan
akan suatu masalah. Namun secara ideal kita harus melihat ini secara objektif
bahwa sebenarnya kurangnya partispasi masyarakat bukan berasal dari mereka,
namun menurut penuli yang semestinya harus peka dalam hal ini ialah pemerintah
daerah itu sendiri, bagaimana menciptakan suatu konsep partisipasi untuk
masyarakat sehingga masyarakat mendapatkan aksesibilitas yang luas dalam
menyuarakan aspirasinya. Namun yang terjadi selama ini justru pemerintah daerah
sendiri yang cenderung menutup ruang tersebut dengan pertimbangan mungkin akan
tidak membawa manfaat individu kepada mereka yang berkepentingan. Hal inilah
yang terjadi dan tidak dapat kita pungkiri hampir sebagian daerah oleh
pemerintahnya dalam memproduksi sebuah kebijakan tidak mengikut sertakan masyarakat
atau publik dalam pengambilan keputusan tersebut setidaknya mempertimbangkan
masukan berupa kritikan maupun saran dari masyarakatnya.
Ironi,
ketika para wakil rakyat yang notabene sebagai perpanjangan tangan atau
penyambung lidah warga masyarakat ini tidak memiliki kemampuan ataupun itikad
baik dalam mengartikulasikan dan kemudian mengaregasikan aspirasi-aspirasi
masyarakat bahkan sebagian dari mereka melakukan “perselingkuhan” dengan para
elite-elite lokal dalam memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi. Tentunya
hal-hal semacam ini tidak diharapkan berkembang dalam penerapan otonomi daerah
di mana akan berdampak buruk bagi perkembangan dari pemerintah daerah itu
sendiri. Wajarlah jika sampai hari ini produk-produk kebijakan yang diciptakan
baik itu pemerintah daerah maupun DPRD tidak representatif dan cenderung
melahirkan konflik.
Nampaknya
partisipasi politik masyarakat akan sulit terwujud dengan baik di era otonom i
daerah dikarenakan perkembangan akan permainan elite juga mempengaruhi. Sulit
untuk melihat yang mana partisipasi masyarakat di sebagian daerah saat ini yang
murni berasal dari hati nurani mereka karena yang ada ialah partisipasi
masyarakat yang sengaja dihidupkan oleh sebagian mereka yang memiliki
kepentingan tertentu dengan jalan memfasilitasi dan memobilisasi para warga
masyarakat agar berpartisipasi dengan visi terntentu. Padahal jika partispasi
dapat terbangun tentunya akan terbangun sinergitas yang baik antara pemerintah
dengan masyarakat dalam melahirkan suatu produk kebijakan yang baik. Apa yang
seharusnya dilakukan dalam rangka membangkitakan gairah partispasi politik
masyarakat ini ialah dengan melakukan
reformasi mindset akan pentingnya kehadiran masyarakat dalam proses
pengembangan daerah. mindset yang diperlukan ialah bagaimana para elite, aparat
pemerintah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat dalam
berperan membangun daerah dengan melepaskan segala bentuk
kepentingan-kepentingan pribadinya.
%*SEKIAN*%
R E F E R E
N S I
Samuel P. Huntington dan Joan Nelson,
Partisipasi Politik di Negara Berkembang, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990)
Basri,seta. Pengertian Partisipasi Politik
dan Bentuk-bentuk Partisipasi Politik.www.google.com
http://www.melembagakan-pendekatan-partisipatif-di.html/